Pesan kebinekaan dari gang sempit di Bandung
Merdeka.com - Indonesia ditakdirkan Tuhan lahir dengan keberagaman. Bahkan semboyan negeri ini adalah Bhinneka Tunggal Ika yang diterjemahkan berbeda-beda tetap satu. Meski berbeda, hakikatnya Indonesia tetap satu kesatuan.
Indonesia belakangan tengah diuji dengan perbedaan, paling kentara ketika Pilkada DKI 2017 beberapa waktu lalu. Isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) seolah menjadi senjata untuk saling serang hanya demi kepentingan kelompok tertentu. Hingga akhirnya mengancam kesatuan yang selama lebih 70 tahun terjaga.
Namun, kondisi berbeda ditunjukan dari gang sempit yang ada di Kota Bandung, Gang Ruhana RT02/RW02, Kelurahan Paledang, Kecamatan Lengkong. Vihara yang merupakan tempat ibadah umat Budha justru berdiri tegak berdampingan dengan masjid tempat ibadahnya umat muslim. Vihara itu bernama Vihara Girimetta.
-
Kapan Masjid Agung Banten didirikan? Dalam laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, disebutkan bahwa masjid besar ini mulai dibangun atas perintah Sultan Maulana Hasanuddin, Putra dari Sunan Gunung Jati, sekitar tahun 1552 – 1570 M.
-
Kapan situs keagamaan itu dibangun? 'Menurut penilaian pertama yang kami buat, tempat suci ini berasal dari abad ke-8 hingga ke-7 SM, yaitu Periode Frigia Tengah,' kata Polat.
-
Kapan Masjid Agung Bangkalan dibangun? Masjid Agung Bangkalan dibangun pada tahun 1819.
-
Dimana Masjid Agung Bangkalan berada? Potret Masjid Agung Bangkalan, Masjid Pertama yang Didirikan Sultan Keraton untuk Masyarakat
-
Kapan masjid itu dibangun? Situs arkeologi Alto da Vigia, di dekat Praia das Maçãs di garis pantai Sintra, mengungkap keberadaan masjid kedua yang berasal dari abad ke-11 dan ke-12 ini.
Vihara ini sudah berdiri sejak 1946 silam. Umat Budha di kawasan tersebut menerima hadirnya Masjid Al-Amanah yang baru dibangun pada 2014 lalu. Dua sarana ibadah beda keyakinan itu menunjukkan betapa sejuknya perbedaan.
Jika umat muslim ingin beribadah, sudah menjadi tradisi aktivitas vihara 'mengalah' sementara waktu. Begitu juga sebaliknya di mana masjid harus menghargai ibadah umat Budha. Apalagi ketika memasuki hari-hari besar.
"Memang seharusnya seperti ini-kan sejak Indonesia merdeka. Kita semua berbeda. Dengan perbedaan, kebinekaan itu harusnya kita menjadi kuat dan indah. Pelangi kita lihat ada tujuh perbedaan warna. Tapi kalau lihat dari satu kesatuan pelangi itu indah," kata Koh Ahoy pemilik Vihara Girimetta saat berbincang dengan merdeka.com, Jumat (19/5) lalu.
Meski vihara sudah lebih dahulu berdiri, bukan berarti tempat ibadah lain tidak bisa dibangun berdampingan. Sejak wacana ingin dibangun masjid pada 1980-an, Koh Ahoy menyambut baik dengan tangan terbuka. Kini Masjid Al-Amanah sudah berdiri bersandingan dengan kapasitas sekitar 350 jamaah.
"Saya senang justru, lewat kampung ini kami warga di sini ingin memperlihatkan keragaman budaya dengan perbedaan agama jadi lebih bagus. Ini bisa buat contoh yang lain. Bahwa jangan lagi ada perdebatan dengan perbedaan yang ada. Kita tetap bisa jalan bersama-sama," ujar pria berusia 62 tahun ini.
Dengan adanya dua sarana ibadah ini, Koh Ahoy mengungkapkan, justru warga setempat kerap dukung satu sama lain. "Kalau puasa, saya suka datang ke masjid. Ikut partisipasi saja buka puasa dengan orang Islam. Itu enggak masalah-kan, karena silaturahmi tetap dijaga," ungkap pria yang mengidolai almarhum Abdurrahman Wahid alias Gusdur itu.
"Kalau lebaran kami juga suka mengucapkan selamat pada orang Islam. Begitu juga sebaliknya kalau ada hari besar, atau ulang tahun vihara, mereka mengucapkan selamat. Bahkan suka membantu juga. Jadi seharusnya kita memang harus saling menghargai. Apalagi kita makan dan minum di air tanah sama, tanah Pasundan, tanah Indonesia," tambah Koh Ahoy.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Mimin Aminah (52) pengurus DKM Al Amanah. Aminah mengatakan, berdirinya masjid di Gang Ruhana ini menunjukkan perbedaan itu harus dijaga. Sadar hidup di lingkungan yang menjadi minoritas, Mimin harus bisa menghargai agama-agama lainnya.
"Kita memang berbeda-beda. Tapi tetap satu tujuan. Keberagaman di sinilah yang ingin ditonjolkan bahwa kita juga bisa hidup bertoleransi," ujar perempuan yang rumahnya berhadapan dengan masjid ini.
Dia mengaku, pengurus vihara dan pengurus masjid memiliki hubungan harmonis. "Waktu ulang tahun atau perayaan. Pernah dari pihak vihara ngasih dodol ke warga di sini. Inikan menunjukkan bahwa kita bersaudara," tutup Mimin.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Vihara ini jadi salah satu bangunan cagar budaya di Kota Bandung.
Baca SelengkapnyaKampung ini berhasil menjaga toleransi meski terdiri dari beragam penganut agama, etnis, adat dan budaya.
Baca SelengkapnyaLokasi ini juga jadi salah satu tempat wisata religi yang ada di Kota Tangerang.
Baca SelengkapnyaMasjid itu sudah eksis bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Baca SelengkapnyaMasjid ini membawa misi toleransi di Kota Tangerang.
Baca SelengkapnyaMasjid ini menawarkan daya tarik arsitektur kuno dan percampuran budaya Jawa dengan Sunda
Baca SelengkapnyaBangunan yang hampir seluruh bagiannya menggunakan kayu itu menjadi bagian dari sejarah masuknya Islam di Sumbar yang berlangsung sejak ratusan tahun.
Baca SelengkapnyaAksi sekelompok mahasiswa muslim 'ngabuburit' ke Kapel Biara Ursulin ini viral, tuai komentar warganet.
Baca SelengkapnyaDulunya masjid ini menjadi salah satu rumah ibadah terbesar di Minangkabau dan menjadi sentra pengembangan dakwah Islam.
Baca SelengkapnyaSelain mengadopsi budaya Thailand, di vihara ini jua terdapat masjid yang diperuntukkan bagi pengunjung Muslim.
Baca SelengkapnyaMasjid ini dulunya jadi tempat rahasia bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaKong Fuk Miau, kelenteng yang berdampingan dengan Masjid Jami yang menjadi simbol nyata toleransi sesama umat beragama.
Baca Selengkapnya