Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Pihak Kejagung dinilai bagian dari kolusi RJ Lino di Pelindo II

Pihak Kejagung dinilai bagian dari kolusi RJ Lino di Pelindo II Masinton Pasaribu. ©dpr.go.id

Merdeka.com - Anggota Pansus Pelindo, Masinton Pasaribu menilai fatwa dari Kejagung terkait perpanjangan konsesi pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta merupakan klaim dari Dirut PT Pelindo II Richard Joost Lino. Menurut dia, yang disebut pihak Lino sebagai fatwa dari Kejaksaan Agung itu sebenarnya hanya bersifat opini.

"Itu kan opini Jamdatun dijadikan dasar oleh Lino untuk perpanjangan konsesi kontrak JICT dan Hutchinson. Nah itu kan opini Jamdatun kan? Secara hukum kita tanyakan nanti, karena sebenarnya kan ada UU pelayaran 17 tahun 2008 yang mengatur regulasi dan operator," jelas Masinton, Selasa (27/10).

Dia melihat, pihak Kejagung tampak sengaja mengabaikan keberadaan Undang-undang 17 tahun 2008 yang bersifat lex specialis, dan hanya berpaku pada KUH Perdata. "Seharusnya yang lebih specialis adalah UU nomor 17 itu yang menjadi dasar opini jamdatun itu," imbuhnya.

Orang lain juga bertanya?

Masinton mengatakan, kuat dugaan bahwa ada kongkalikong dan kolusi diantara Lino dengan oknum di Kejaksaan Agung RI. Karena itulah pihaknya mengundang Jaksa Agung Prasetyo untuk menelusuri dugaan itu.

"Ya bisa saja ada pelanggaran hukum, tergantung temuan nanti," kata Masinton.

Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo batal hadir di rapat Pansus Pelindo 2 yang dijadwalkan pada hari ini. Namun, keengganan untuk hadir itu dinilai justru memperkuat kesan bahwa Oknum di Kejaksaan Agung adalah bagian dari kolusi dan rantai permainan Direktur Utama Pelindo 2, RJ Lino, yang kemudian menginspirasi pembentukan Pansus di DPR RI itu.

Ihwal keterkaitan Kejaksaan Agung itu sendiri adalah terkait perpanjangan konsesi pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta (Jakarta International Container Terminal/JICT) kepada perusahaan asal Hongkong, Hutchison Port Holdings pada 2014. Perpanjangan hingga 2039 itu dilakukan sebelum batas waktunya dan mendadak, dengan nilai kontrak yang lebih rendah dari nilai kontrak awal.

Perpanjangan juga dilaksanakan tidak sesuai dengan mekanisme yang diatur Undang-undang. Yakni syarat pendahuluan seperti dimuat dalam UU 17/2008. Belakangan, Lino berani memperpanjang kontrak itu karena yakin takkan ada masalah hukum setelah mendaatkan fatwa dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun).

Dokumen itu dikeluarkan oleh pejabat Direktur Pemulihan dan Perlindungan Hak, Agoes Djaja. Surat atau fatwa ini yang dijadikan dasar bagi perusahaan itu memperpanjang konsesi JICT.

(mdk/gil)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP