Presiden Jokowi persilakan kelompok masyarakat gugat ambang batas capres di MK
Merdeka.com - Sejumlah praktisi dan akademisi senior menggugat Pasal 222 tentang ambang batas calon presiden (Presidential Threshold) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu mendapat tanggapan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia tak khawatir dan mempersilakan masyarakat menguji aturan tersebut.
"Saya kira dipersilakan saja," kata Jokowi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Kamis (21/8/2018).
Menurut Jokowi, setiap warga negara harus menghormati hukum berlaku di Indonesia. Termasuk saat masyarakat menguji sebuah undang-undang. Dirinya menyerahkan ketentuan pasal tentang Presidential Threshold ke MK.
-
Apa gugatan yang dilayangkan ke Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Siapa yang menggugat Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
-
Siapa yang mengajukan gugatan sengketa Pilpres? Sementara gugatan sengketa Pilpres yang diajukan oleh Paslon nomor urut 2 ataupun 3 tidak menyentuh kepada perkara sengketa pemilu sebagaimana yang dimaksudkan di dalam undang-undang.
-
Mengapa Jokowi digugat? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Kenapa Ganjar gugat hasil Pilpres ke MK? 'Tim akan segera mendaftarkan itu, dan mudah-mudahan ini akan membuka tabir, dan tentu saja harapan kita MK-lah yang nanti mengadili ini dengan baik, dan bisa mengembalikan marwah demokrasi kita agar sesuai dengan harapan dan aturan,' kata Ganjar dalam konferensi pers di Posko Pemenangan, Kamis (21/3).
-
Siapa saja yang mengajukan gugatan usia capres-cawapres? Sejumlah gugatan yang dicabut antara lain gugatan nomor 105/PUU-XXI/2023, gugatan nomor 109/PUU-XXI/2023, dan gugatan nomor 111/PUU-XXI/2023. Untuk gugatan nomor 105/PUU-XXI/2023 diketahui dilayangkan pemohon Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.
"Ya kita harus menghormati hukum, dari masyarakat untuk mengajukan uji materi kepada MK," ucap Jokowi.
Sebelumnya, mantan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay bersama beberapa praktisi dan akademisi mendaftarkan gugatan sejak 13 Juni 2018. Hadar mengatakan, pihaknya memiliki alasan berbeda dari beberapa gugatan lalu. Salah satu alasannya adalah dalam pasal 222 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menggunakan frasa 'syarat' pencalonan presiden, sedangkan di UU Dasar 1945 pasal 6A ayat 5 hanya mendelegasikan 'tata cara'.
"Pengaturan di Pasal 222 itu bukan pengaturan tata cara yang sebetulnya dimandatkan dari UUD kita, tapi justru itu mengenai syarat," ungkap Hadar.
"Jadi di pasal 222 itu, parpol atau gabungan parpol yang bersyarat yaitu punya syarat 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari pemilu 2014. Jadi itu bukan tata cara padahal konstitusi memerintahkan pengaturan tata cara diatur pada UU selanjutnya," Lanjutnya.
Alasan lainnya, Pasal 222 ini bertentangan dengan Pasal 6 ayat 2 UU Dasar 1945. Kemudian, tambah Hadar, penghitungan Presidential Threshold berdasarkan pemilu DPR ini sudah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu serta melanggar Pasal 22E ayat 1 dan 2.
Presidential Treshold juga ditakutkan bisa menghilangkan esensi pemilihan presiden karena berpotensi menghadirkan calon tunggal. Hal itu, lanjutnya juga bertentangan dengan Pasal 6A ayat 1, 3 dan 4.
"Kalau dalam pemilihan hanya ada satu pemilihan calon itu bukan pemilihan. Jadi pengaturan Presidential Treshold 20 persen berpotensi sangat bertentangan dengan konstitusi kita," ujarnya.
Permasalahan Presidential Threshold ini, kata Hadar, bisa terus digugat jika memiliki alasan yang berbeda di setiap gugatannya. Karena itu dia berharap MK bisa segera memberikan keputusan dari gugatan ini terutama untuk membatalkan keberadaan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Kami juga memohonkan agar pembatalan Pasal 222, yang menghapuskan syarat ambang batas capres dapat diberlakukan segera, atau paling lambat sejak Pilpres 2019. Bukan diberlakukan mundur untuk pilpres selanjutnya, sebagaimana putusan terkait pemilu serentak di putusan MK 2014," ucapnya.
Gugatan ini diajukan oleh 12 orang praktisi dan akademisi seperti, M. Busyro Muqoddas, M. Chatib Basri, Faisal Basri, Hadar N. Gumay, Bambang Widjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Feri Amsari, Angga D. Sasongko, Hasan Yahya, Dahnil A. Simanjuntak, dan Titi Anggraini. Berikut alasan lengkap berbeda pengajuan permohonan yang diajukan adalah:
1. Pasal 222 UU 7/2017 mengatur "syarat" capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan "tata cara".
2. Pengaturan delegasi "syarat" capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur "syarat" capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan "Pemilu anggota DPR sebelumnya", sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.
7. Presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan pasal 6A ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
8. Kalaupun pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, tetapi potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
9. Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 22E ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Reporter: Hanz
Sumber: Liputan6.com (mdk/ang)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mereka menggugat KPU, Hakim MK Anwar Usman, Presiden Jokowi dan Menteri Sekretariat Negara Pratikno.
Baca SelengkapnyaTim Hukum pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD resmi menyerahkan kesimpulan Sengketa Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Baca SelengkapnyaPDIP tidak fokus pada selisih perolehan suara paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud dengan paslon pemenang.
Baca SelengkapnyaIsu hak angket digulirkan untuk mengusut kecurangan Pemilu. Bermula dan berujung ke mana?
Baca SelengkapnyaPKB menyarankan masyarakat untuk mendorong DPR agar melakukan hak angket.
Baca SelengkapnyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Baca SelengkapnyaGanjar Pranowo menanggapi Petisi Bulaksumur yang disampaikan sejumlah civitas akademisi UGM
Baca SelengkapnyaHasan tak ingin putusan MK itu menjadi prasangka buruk karena ketidaksukaan semata.
Baca SelengkapnyaSahabat Ganjar menghormati putusan MK tersebut dan mengakui bahwa putusan tersebut bersifat binding (mengikat) dan final.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi buka suara mengenai rapat baleg DPR RI yang disorot karena diduga untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pilkada
Baca SelengkapnyaDalam petitumnya meminta usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara.
Baca SelengkapnyaKapten Timnas AMIN, M Syaugi Alaydrus menilai sah-sah saja dilakukan.
Baca Selengkapnya