Putusan MK untungkan KPK tetapkan Setya Novanto kembali jadi tersangka
Merdeka.com - Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan aturan baru soal proses penyidikan salah satunya penetapan tersangka kepada seorang yang menang dalam gugatan praperadilan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menampik putusan tersebut dapat menguntungkan pihaknya untuk kembali menjerat Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.
"Tentu saja akan semakin kuat ketika ada putusan MK. Kita akan jalan terus," kata Juru bicara KPK, Febri Diansyah di Gedung KPK, Kamis (12/10).
Febri belum merinci terkait apakah pihaknya akan menerbitkan sprindik baru untuk Setya Novanto dalam waktu dekat. Tetapi dia tidak menapik pihaknya sedang mengusut kembali kasus yang merugikan negara mencapai Rp 2,3 triliun.
-
Siapa yang ditetapkan tersangka dalam kasus gratifikasi Rp8 miliar? Sekadar informasi, Eddy Hiariej telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi sebesar Rp8 miliar.
-
Siapa yang mengajukan gugatan praperadilan? Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Bandung Eman Sulaeman mengabulkan permohonan gugatan sidang praperadilan oleh pihak pemohon yakni Pegi Setiawan terhadap Polda Jabar.
-
Kapan Kejaksaan Agung menetapkan tersangka? Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung menetapkan satu tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan importasi gula PT SMIP tahun 2020 sampai dengan 2023.
-
Siapa yang ditetapkan tersangka oleh KPK? Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait kasus Harun Masiku.
-
Siapa yang mengajukan gugatan ke MK? Diketahui, ada 11 pihak yang menggugat aturan batas usia capres dan cawapres ke MK. Dengan sejumlah petitum.
"Belum bicara kasus hukum. Tentu kita akan proses terkait pihak-pihak yang harus bertanggung jawab dalam kasus proyek e-KTP," tambah dia.
Febri menjelaskan pihaknya sedang mengendus sejumlah pihak dalam kasus tersebut. Dia juga menjelaskan selama terdapat bukti permulaan yang cukup pihaknya akan memproses.
"Siapapun itu selama bukti permulaannya cukup terpenuhi akan kita proses," ungkap Febri.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan penyidik aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti yang sudah dipakai untuk kembali menjerat tersangka yang statusnya gugur karena memenangkan praperadilan. Hal ini adalah salah satu pertimbangan MK dalam putusan uji materi terhadap Pasal 83 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Hal ini harus dipahami bahwa sepanjang prosedur penyidikan dipenuhi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, maka penyidikan baru tetap dapat dilakukan," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, kemarin, dikutip merdeka.com dari Antara, Rabu (11/10).
Selain itu MK juga tidak sependapat dengan argumentasi pemohon yang menyebutkan bahwa persyaratan penetapan tersangka adalah menyertakan dua alat bukti baru yang sah dan belum pernah diajukan dalam sidang praperadilan, serta berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara.
Mahkamah dalam hal ini berpendapat alat bukti yang digunakan pada penyidikan terdahulu dapat ditolak karena alasan formalitas belaka yang tidak terpenuhi.
"Alat bukti tersebut baru dapat dipenuhi secara substansial oleh penyidik pada penyidikan yang baru, dengan demikian sesungguhnya alat bukti dimaksud telah menjadi alat bukti baru," kata Anwar.
Oleh sebab itu, terhadap alat bukti yang telah disempurnakan oleh penyidik tersebut tidak boleh dikesampingkan dan tetap dapat dipergunakan sebagai dasar penyidikan yang baru dan dasar untuk menetapkan kembali seorang menjadi tersangka.
Adapun perkara ini diajukan oleh tersangka kasus restitusi pajak PT Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria yang pernah mengajukan permohonan praperadilan dan dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 November 2016.
Akan tetapi penyidik kemudian kembali menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) yang dinilai pemohon hanya dengan memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana.
Atas kejadian tersebut, pemohon merasa mengalami ketidakpastian hukum, sehingga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atas permohonan tersebut, amar putusan Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Agus Rahardjo sebelumnya menyebut pernah dipanggil ke Istana dan diminta presiden menghentikan kasus korupsi e-KTP melibatkan mantan ketua DPR Setya Novanto.
Baca SelengkapnyaMenurut Koordinator Stafus Presiden Ari Dwipayana, Presiden Jokowi sudah menjelaskan kasus korupsi yang menyeret mantan Ketua DPR Setya Novanto.
Baca SelengkapnyaAgus Rahardjo menyebut Presiden Jokowi pada 2017 pernah memintanya menghentikan kasus korupsi Setya Novanto.
Baca SelengkapnyaFredrich tetap dikenakan wajib lapor hingga 2025 mendatang pascabebas bersyarat.
Baca SelengkapnyaPresiden Joko Widodo (Jokowi) buka suara terkait pernyataan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang diminta di untuk memberhentikan kasus e-KTP.
Baca SelengkapnyaLelang akan dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta Ill.
Baca SelengkapnyaKPK angkat bicara dituding membohongi publik oleh mantan penyidiknya yang kini menjadi ASN Polri Novel Baswedan.
Baca Selengkapnya