Revisi UU KPK & Proses Kilat DPR
Merdeka.com - Meski mendapat banyak penolakan dari publik, DPR tetap mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK pada rapat Paripurna hari ini, Selasa (17/9).
Banyak pihak yang menilai jika pemerintah dan DPR terlalu terburu-buru menyetujui revisi UU KPK. Namun Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas membantah jika pembahasan RUU KPK terburu-buru. Menurut Supratman, pembahasan itu sudah dilakukan sejak lama.
"Bahwa pembahasan RUU KPK ini itu sudah berlangsung lama juga di badan legislasi dulunya. Bahwa dulu pernah ditunda karena momentumnya yang belum begitu bagus akhirnya ditunda," ucapnya.
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Siapa yang memimpin rapat paripurna DPR? Ketua DPR Puan Maharani menjelaskan alasan rapat paripurna DPR tidak lagi menyebutkan jumlah kehadiran anggota dewan secara virtual.
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Siapa yang hadir di rapat pembahasan revisi UU Kementerian Negara? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Apa yang diminta DPR untuk KPK dan Polri? Lebih lanjut, Sahroni tidak mau kerja sama ini tidak hanya sebatas formalitas belaka. Justru dirinya ingin segera ada tindakan konkret terkait pemberantasan korupsi 'Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,' tambah Sahroni.
Benarkan Revisi UU KPK dilakukan terburu-buru? Berikut ulasannya:
Tidak Masuk Prolegnas
Di akhir periode DPR periode 2014-2019, rencana revisi UU KPK kembali muncul. Padahal revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019. Mencuatnya revisi UU KPK banyak mengalami penolakan, terlebih ada beberapa poin yang menjadi sorotan, di antaranya adanya Dewan Pengawas, izin penyadapan, tak ada lagi penyidik independen dan kewenangan menghentikan penyidikan sebuah perkara (SP3).
Komisi Nasional Perempuan heran di akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo terkesan serba terburu-buru tetapi tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Salah satunya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Ketua Komnas Perempuan, Azriana, revisi UU KPK tidak ada dalam program legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019.
"Revisi UU KPK itu yang tidak masuk Prolegnas 2014-2019 ataupun Prolegnas prioritas 2019. Ini tiba-tiba muncul jadi RUU yang dibahas, dan itu hanya 20 hari lagi menjelang berakhirnya anggota DPR periode ini," kata Azriana dalam memperingati hari Demokrasi Internasional di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (15/9).
Sementara itu Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menilai tidak masalah jika Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang UU KPK direvisi. Sebab, kata dia, hal itu perlu dilakukan sebagai check and balances dalam negara demokrasi.
"Sekarang kalau ada amandemen UU KPK dan sebagian kewenangannya dirampas itu enggak ada masalah," kata Fahri di pada wartawan, Minggu (8/9).
Fahri menjelaskan, dalam sistem demokrasi semua lembaga harus memiliki kekuatan yang sama. Maka, lanjutnya, jika ada lembaga yang terlalu kuat harus dilemahkan.
"Dalam teori sistem demokrasi, semua lembaga harus punya kekuatan yang sama dalam konsep check and balances jadi kalau ada lembaga yang terlalu kuat ya memang harus dilemahkan," ujar Fahri Hamzah.
Presiden Setuju Revisi UU KPK
Walau banyak penolakan, Presiden Jokowi dan DPR sepakat untuk revisi UU KPK. Hal ini dibuktikan dengan Surat Presiden Jokowi yang telah dikirim ke DPR terkait revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Surat tersebut kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno sudah diberikan kepada DPR pada Rabu (11/9) untuk segera dimulainya pembahasan.
Tidak perlu waktu lama Presiden Jokowi mempelajari terkait Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan menyetujui revisi UU KPK. Presiden Jokowi memiliki alasan dirinya tidak butuh waktu banyak untuk menyetujui revisi UU KPK. Padahal, Jokowi mempunyai waktu 60 hari untuk merespons usulan tersebut.
"DIM (Daftar Inventaris Masalah) nya kan hanya 4-5 isu. Cepat kok. Tapi ya itu, kalau sudah di sana, urusannya di sana. Jangan ditanyakan ke saya. Setiap lembaga memiliki kewenangan sendiri-sendiri," tegas Jokowi usai jumpa pers di Istana Negara, Jumat (13/9).
Ada beberapa poin yang disetujui dan ditolak Presiden Jokowi. Beberapa poin disetujui Presiden Jokowi dalam RUU KPK. Di antaranya terkait keberadaan dewan pengawas. Jokowi mengatakan ini perlu karena harus diawasi.
Terkait keberadaan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Jokowi menyetujuinya. Menurutnya hal ini diperlukan karena penegakan hukum juga harus memenuhi prinsip perlindungan HAM dan memberikan kepastian hukum. Presiden Jokowi setuju jika pegawai KPK merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu PNS. Menurutnya, penyelidik dan penyidik KPK yang masih menjabat tentunya melakukan proses transisi menjadi ASN.
Hanya Dua Kali Rapat Panitia Kerja Baleg dengan Pemerintah
Hanya perlu dua kali rapat Badan Legislasi (Baleg) dengan pemerintah mencapai kesepakatan untuk revisi UU KPK. Tercatat pada hari Jumat, 13 September 2019 dan Senin 16 September 2019. Dalam rapat Baleg pada Senin, 16 September, 10 fraksi memberikan pandangan terkait revisi UU KPK.
Dalam pandangan mini fraksi, PKS dan Gerindra memberikan catatan terhadap revisi UU KPK terutama menyangkut dewan pengawas. PKS tidak setuju dewan pengawas sepenuhnya ditunjuk Presiden. Sementara Gerindra akan menyampaikan catatan dalam paripurna.
Tujuh fraksi; PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, PAN dan Hanura bulat sepakat revisi UU KPK. Sementara, fraksi Demokrat belum bersikap karena masih konsultasi dengan pimpinan fraksi.
Poin yang disepakati, pertama, soal kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada rumpun eksekutif dan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap independen. Kedua, terkait pembentukan dewan pengawas. Ketiga, mengenai pelaksanaan fungsi penyadapan oleh KPK.
Keempat, mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh KPK. Kelima, koordinasi kelembagaan KPK dengan aparat penegak hukum yang ada dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Keenam, terkait mekanisme penyitaan dan penggeledahan. Ketujuh, sistem kepegawaian KPK.
Disahkan DPR
Dalam rapat Paripurna pada Selasa (17/9) DPR mengesahkan revisi UU KPK. Pimpinan sidang, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengetuk palu pengesahan setelah anggota dewan menyatakan setuju. Tiga kali Fahri menegaskan persetujuan terhadap revisi UU KPK menjadi undang-undang.
"Apakah pembicaraan tingkat dua pengambilan keputusan terhadap rancangan UU tentang perubahan kedua atas UU 30/2002 tentang KPK, dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?" ujar Fahri dalam sidang paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
"Setuju," jawab anggota dewan serentak.
Laporan terhadap hasil keputusan tingkat pertama dibacakan oleh Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas. Supratman menyebutkan enam poin revisi yang telah dibahas dan disetujui bersama.
Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga hukum berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam kewenangan dan tugas bersifat independen dan bebas dari kekuasaan. Kedua, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kewenangan dan tugas dan tugas KPK agar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan pengawas telah disepakati mayoritas fraksi dan pemerintah ditunjuk oleh presiden.
Ketiga, revisi terhadap kewenangan penyadapan oleh KPK di mana komisi meminta izin kepada dewan pengawas. Berikutnya, mekanisme penggeledahan dan penyitaan yang juga harus seizin dewan pengawas. Kelima, mekanisme penghentian dan atau penuntutan kasus Tipikor. Terakhir terkait sistem pegawai KPK di mana pegawai menjadi ASN.
Dalam pengambilan keputusan tingkat pertama, tujuh fraksi; PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, PAN, PKB, dan Hanura menerima revisi tanpa catatan. Dua fraksi, Gerindra dan PKS menerima dengan catatan tidak setuju berkaitan pemilihan dewan pengawas yang dipilih tanpa uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Terakhir, Demokrat belum memberikan sikap karena menunggu konsultasi pimpinan fraksi.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Pemerintah dengan Komisi II DPR menyetujui penetapan revisi PKPU Nomor 8 tahun 2024 terkait keputusan Mahkamah Konstitusi.
Baca SelengkapnyaFraksi PKS menjadi satu-satunya partainya yang menolak revisi UU IKN.
Baca SelengkapnyaKesepakatan itu diambil dalam rapat kerja dengan pemerintah di Ruang Baleg, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8)
Baca SelengkapnyaRapat Paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 diikuti 271 anggota dewan, dan empat pimpinan DPR.
Baca SelengkapnyaMenkum HAM Supratman Andi Agtas menegaskan, RUU Pilkada yang bakal disahkan besok bukan menganulir putusan MK.
Baca SelengkapnyaRapat tersebut sedianya digelar pada Senin, 26 Agustus 2024, namun dimajukan ke Minggu (25/8).
Baca SelengkapnyaPengesahan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna ke-10 masa sidang II tahun sidang 2023-2024.
Baca SelengkapnyaAnggota DPR menyuarakan setuju terkait RUU Kementerian Negara, RUU TNI dan RUU Polri.
Baca SelengkapnyaDasco menyatakan, aturan berkaku soal Pilkada tetap mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaDPR mengesahkan RUU tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi UU dalam rapat paripurna ke-14.
Baca SelengkapnyaKeputusan tersebut diambil dalam rapat pleno bersama Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas dan Menpan RB Azwar Anas.
Baca SelengkapnyaKata Dasco saat ini hanya menunggu waktu lantaran sudah selesai di pengambilan keputusan tingkat I.
Baca Selengkapnya