Revisi UU Terorisme di DPR dinilai terlalu lama
Merdeka.com - Revisi Undang-Undang (UU) Terorisme masih terus dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) DPR. Awalnya revisi dijadwalkan selesai Januari 2017, namun terus mundur sampai saat ini.
Pakar Hukum Syaiful Bakhri menilai pembahasan revisi undang-undang ini terlalu lamban. Akibatnya, banyak kasus terorisme yang belum bisa terjerat oleh hukum.
"Sebagai rakyat kita berharap dalam koridor politik hukum perundang-undangan. UU Terorisme harus segera disahkan karena memang sudah terlalu lama," kata Syaiful di Jakarta, Kamis (2/2).
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Apa definisi terorisme menurut UU 5/2018? Sementara, menurut pasal 1 angka 2 perpu 1/2002 UU 5/2018, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas serta menimbulkan korban yang bersifat massal.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Siapa yang hadir di rapat pembahasan revisi UU Kementerian Negara? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Aturan apa yang DPR dorong? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendorong Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk membuat aturan yang bisa mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
Syaiful melihat dalam rancangan yang dibahas Pansus UU Terorisme sudah mulai integrated. Dia juga yakin Pansus sudah tahu poin-poin atau substansi yang ingin diatur. Menurutnya, revisi harus mengacu UU Terorisme yang tersebar di seluruh dunia karena masalah terorisme bukan masalah lokal, tapi global.
Terlebih saat ini terorisme telah berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin modern. Mereka (teroris) melakukan aksinya dengan menggunakan alat-alat canggih. Artinya kejahatan dan terorisme ini akan terus meningkatkan akselerasinya sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
"Untuk kejahatan biasa KUHP masih bisa menangani, tapi karena dunia berubah dan kasus terorisme ini makin sistemik antarnegara, maka UU Terorisme harus segera disahkan," terang pria yang juga dekan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini.
Ia mencontohkan seperti di Eropa, Amerika, Australia sudah ada UU Anti Terorisme. Tentunya Indonesia harus mengikuti pola itu karena ancaman terorisme akhir-akhir ini semakin meresahkan. Apalagi pemerintah telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang bertanggungjawab menanggulangi terorisme.
"BNPT sebagai lembaga baru tentu sedang mencari pondasi kewenangannya. Selama ini BNPT dibentuk atas dasar perintah presiden (kekuasaan). Kalau nanti dalam UU Anti Terorisme nanti memberikan mandat, kewenangan, dan otorisasi kepada BNPT, maka BNPT akan menjadi lembaga negara dalam arti sesungguhnya," jelasnya.
Saat ini, lanjut Syaiful, ada dua perimbangan dalam program penanggulangan terorisme yang dilakukan BNPT yaitu pencegahan dan penindakan. Menurutnya, dua hal itu penting, namun pencegahan lebih diutamakan, bukan penindakan. Ia mencontohkan, selama ini sudah banyak penindakan hukum yang dilakukan terhadap kasus kejahatan, khususnya terorisme, tapi faktanya kejahatan itu masih terus terjadi.
"Itu berarti penindakan itu gagal. Maka upaya pencegahan ini lebih mempunyai nilai, apalagi dilakukan sejak dini. Memang tugas pencegahan ini sangat mulia, tapi butuh waktu panjang karena masyarakat harus terlibat secara penuh."
Dia melanjutkan, bila pencegahan dilakukan pada porsi yang proporsional maka penindakan akan berkurang dengan sendirinya. Pencegahan bisa menjadi payung bagi masyarakat dalam mencegah terorisme.
"Seperti kata pepatah, 'sedia payung sebelum hujan'. Kalau masyarakat memiliki payung yang kuat, maka mereka juga pasti bisa membendung dan mencegah terorisme dari tingkat paling dini," tandasnya. (mdk/did)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dasco menyatakan, aturan berkaku soal Pilkada tetap mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaBambang mengaku, belum mengetahui apakah revisi UU Polri akan dibahas di Komisi III DPR RI atau tidak.
Baca SelengkapnyaKendati demikian, pemerintah menilai beberapa daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan saat itu sudah tidak relevan.
Baca SelengkapnyaPuan ingin DPR fokus dengan hal-hal yang harus diselesaikan lebih dahulu sebelum tanggal 1 Oktober mendatang.
Baca SelengkapnyaMemasuki akhir periode DPR mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Baca SelengkapnyaWihadi belum menjelaskan mengapa pembahasan RUU tersebut dibatalkan.
Baca SelengkapnyaProses pembahasan yang cepat juga berpeluang terjadi jika pemerintah tak keberatan dengan perubahan tersebut.
Baca SelengkapnyaSembilan fraksi telah menyampaikan pendapatnya masing-masing atas keempat RUU.
Baca SelengkapnyaAnggota Baleg Fraksi PDIP Sturman Panjaitan, mengatakan terdapat lima hingga enam RUU yang belum turun daftar inventarisasi masalah (DIM)
Baca SelengkapnyaMenteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas mengatakan pihaknya akan berkomunikasi dengan DPR.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan terbuka peluang revisi UU pilkada disahkan pada DPR selanjutnya atau periode 2024-2029.
Baca SelengkapnyaRapat tersebut menghasilkan keputusan setuju atas RUU Pilkada sehingga layak untuk dibawa ke rapat paripurna yang dijadwalkan pada Kamis ini.
Baca Selengkapnya