RUU Terorisme masih tak berpihak pada korban, ini penjelasannya
Merdeka.com - Pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus berlarut-larut. Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu mengatakan ada tiga hal yang menjadi kekurangan dari RUU Terorisme, terutama masalah hak-hak korban.
Salah satu hak korban yang harus didorong untuk dimasukkan dalam revisi UU Terorisme adalah kompensasi. Selama ini, mekanisme pemberian kompensasi terlalu berbelit karena harus melalui putusan pengadilan. Seharusnya, kata dia, kompensasi adalah tanggung jawab langsung dari pemerintah.
"Satu masalah kompensasi, kompensasi dalam konteks RUU terorisme adalah kompensasi dalam konteks pengadilan. Jadi bukan kompensasi dalam artian state compensation. Tanggung jawab negara. Kalau tanggung jawab pelaut itu namanya retitusi. Kalau tanggung jawab negara namanya kompensasi," kata Erasmus di Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Sabtu (14/1).
-
Siapa yang terkena dampak terorisme di Indonesia? Di Indonesia, aksi terorisme telah menyebabkan banyak kerugian dan korban. Mereka menjadi korban terorisme mengalami disabilitas seumur hidupnya, bahkan tak sedikit juga yang harus meregang nyawa.
-
Apa yang dialami korban? 'Dia alami luka cukup serius. Setelah kejadian, korban kemudian dilarikan ke RSUD Dekai, guna mendapatkan penanganan medis,' kata Kapolres Yahukimo AKBP Heru Hidayanto.
-
Siapa yang mengalami trauma berat? Dua anak Aiptu FN mengalami trauma berat dan harus mendapat pendampingan karena selalu teringat peristiwa perampasan mobil ayahnya oleh 12 debt collector.
-
Apa yang terjadi pada korban? Korban pun akan terpanggang di dalamnya. Sebagai bagian dari desain hukuman yang kejam, saat perunggu yang panas membakar korban dan membuatnya berteriak.
-
Siapa yang menjadi korban? Renu Singh, salah satu korban yang terjebak, telah melapor ke polisi dengan klaim bahwa ia telah ditipu sebesar USD 21.000 dan mengungkapkan bahwa ratusan orang lainnya juga mengalami kerugian total mencapai USD 4,1 juta.
Sayangnya, selama ini penindakan polisi terhadap teroris selalu dilakukan dengan menembak mati di lokasi. Dengan tindakan ini, tentu korban tidak akan mendapatkan kompensasi karena tidak diproses di pengadilan.
"Kenapa enggak pelakunya ditangkap enggak dibunuh di tempat bukan karena kita dukung terorisme tapi karena kita dasar kalau pelaku enggak ditangkap korban enggak dapat hak. Makanya kita berharap tidak ada lagi syarat putusan pengadilan untuk berikan kompensasi," terangnya.
Permasalahan hak lainnya yakni soal penanganan medis baik dari segi fisik atau pun psikis. Dalam kasus terorisme, Pemerintah belum mengatur secara detail aturan soal lembaga bertugas memulihkan korban.
"Kedua, hak-hak yang sifatnya medis psikologis, fisik dan lain-lain itu harus diberikan secara otomatis dan cepat. Penanganan cepat harus dilakukan secara sistem. Terserah nanti dari AIDA kan dibikin sistemnya assignment negara. Kita terserah mau Polisi kek mau LPSK kek mau Kemensos kek bebas apa saja," jelasnya.
Pihaknya juga mengusulkan adanya perluasan definisi korban tindak pidana terorisme. Pemerintah bersama DPR, lanjutnya, harus mendorong klasifikasi korban secara definitif. Korban aksi terorisme selalu dipandang sebagai korban fisik. Padahal banyak korban yang secara psikis mengalami traumatik mendalam.
"Siapa saja yang namanya korban gitu. Selama ini konteks korban selalu dipandang korban fisik. Korban Psikis sangat susah diatur. Padahal banyak korban psikis dari kejadian terorisme," tandas Erasmus.
"Tapi kalau Anda di situ Anda tidak luka fisik Anda enggak luka tapi trauma terjadi segala macam. Begitu Anda lapor ke polisi susah membuktikannya karena secara psikologis," tambahnya.
Dia menyebut masalah besaran kompensasi pun harus dikaji lebih dalam. Besaran kompensasi harus dipikirkan. Alasannya, para korban terorisme berpotensi kehilangan pekerjaannya karena pemulihan luka fisik membutuhkan waktu yang lama.
"Gimana korban bekerja kehilangan potensi pekerjaan juga. Jadi enggak bisa dibilang masalah reimburse, reimburse itu enggak masuk akal. Ada potensial lost yang bakal terjadi. Saya pemain bola kena bom kakinya patah saya kalau dikasih 2,5 juta perbulan terus gaji bisa 10 juta perbulan ini yang jadi masalah. Dan negara harus tanggung jawab," pungkasnya.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ini mempertimbangkan kerugian dan dampak negatif yang dialami korban dan tidak jarang bersifat permanen.
Baca SelengkapnyaDeretan kasus di atas hanya segelintir. Tentu kondisi tersebut sungguh miris. Pelajar seorang tak lagi menunjukkan sikap sebagai seorang anak terpelajar.
Baca SelengkapnyaPemerintah memprioritaskan penanganan penyintas bukan hanya dari aspek fisik, melainkan juga psikis dan keberlanjutan finansial.
Baca SelengkapnyaTrauma perlu segera ditangani dengan untuk meminimalisir berbagai dampak.
Baca SelengkapnyaKDRT merupakan masalah yang masih terus terjadi hingga saat ini. Ketahui sejumlah dampak dan bahayanya.
Baca Selengkapnya