Saiful Mujani: Sentimen anti China muncul karena mobilisasi politik
Merdeka.com - Belakangan, banyak isu disebar di media sosial tentang tulisan yang menyudutkan etnis China. Sentimen anti China ini dinilai terjadi karena telah dipolitisasi oleh kelompok tertentu.
Peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani mengatakan, tindakan kolektif anti-china telah menjadi sebuah gerakan sosial. Saiful menyebut, ada upaya dari mobilisasi politik untuk menciptakan opini anti China demi kepentingan tertentu.
"Jadi saya melihat bahwa rasialisme muncul bukan karena faktor rasialisme, tapi ada mobilisasi politik ada menggunakan ras untuk kepentingan politik," kata Saiful dalam diskusi 'Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina?' di LBH, Jakarta, Kamis (29/12).
-
Apa dampak dari ujaran kebencian di media sosial? Media sosial menjadi salah satu aspek yang ditekankan, karena berpotensi disalahgunakan lewat ujaran kebencian.
-
Apa yang dilakukan polisi China? Sang polisi bahkan tak segan turun tangan mempromosikan dagangan sang penjual dengan pengeras suara. 'Enam mao per setengah kilogram,' katanya. Saat salah seorang calon pembeli melirik, sang polisi turut menggiring sosoknya ke lapak.'Silakan kalau mau lihat dulu,' ungkapnya.
-
Siapa yang aktif dalam isu ini? Rieke Diah Pitaloka juga aktif dalam isu ini, membuat video untuk menjelaskan pentingnya mengawal putusan MK lengkap dengan pasal-pasal yang relevan.
-
Siapa bos China yang membuat pernyataan kontroversial? Dalam perkembangan terbaru, ia telah meminta maaf atas komentarnya yang kontroversial.
-
Kenapa polisi China mengusur pedagang? Dia diberi imbauan agar tak berjualan di lokasi. Sebab, hal tersebut diungkap sang polisi dapat memicu kecelakaan bagi diri sendiri dan pengguna jalan raya lainnya. 'Anda tidak bisa berjualan semangka di sini. Ini bisa mengganggu lalu lintas,' terangnya.
-
Apa tujuan serangan siber menurut China? Kementerian Keamanan Nasional China menuduh kelompok hacker yang diduga didukung oleh militer Taiwan, yaitu Anonymous 64, melakukan serangan siber dengan tujuan sabotase antipropaganda terhadap sejumlah target di China.
Tren ini terlihat dari hasil yang dibuatnya dimana sikap intoleransi terhadap etnis China relatif kecil hanya sekitar 0,8 persen dan stabil dalam kurun waktu 2001 hingga 2016. Meski dalam tren rendah dan stabil, tetapi sikap anti China bervariasi. Sebab, menurutnya, sikap anti China bukan berada pada tingkat massa, tapi pada kelompok tertentu.
"Selama 15 tahun begini terus, tapi kesan anti China itu bervariasi. Tapi anti China berubah-ubah berarti yang buat bukan tingkat massa tapi kelompok tertentu," terangnya.
Saiful menjelaskan, gerakan sosial, bukanlah tindakan spontan karena kemarahan massa, tapi lebih terkait dengan faktor-faktor tertentu. Di antaranya, political opportunity structure, mobilizing structure dan framing process.
Faktor pertama, gerakan sosial anti China muncul ketika kelompok tertentu melihat bahwa pejabat yang berkuasa tidak sesuai harapan sehingga membutuhkan dukungan massa untuk menciptakan opini buruk.
"Peluang itu muncul ketika elite politik dilihat tidak solid dan bersaing, sehingga membutuhkan dukungan massa," jelas dia.
Sementara untuk mobilizing structure, dia memaparkan, gerakan anti China muncul hanya apabila dimobilisir oleh suatu kelompok yang memiliki kekuatan.
"Gerakan sosial hanya mungkin bila ada organisasi yang memobilisasi sumber daya (manusia, materi, jaringan, skill, dan simbol). Ada organisasi (meskipun longgar) dan ada kepemimpinan," tambah Saiful.
Terakhir, faktor framing menunjukkan kelompok ini berupaya menyebarkan doktrin dan menciptakan opini kolektif terhadap etnis China di Indonesia.
"Ada ide, semangat, sentimen, jargon, ajaran, doktrin yang memberi makna, dan menarik orang hingga terbentuk solidaritas kolektif, dan bahkan membentuk semacam identitas sosial baru," sambungnya.
Dalam survei SMRC, masyarakat Indonesia disebut lebih benci dengan ISIS dan LGBT ketimbang etnis China.
Survei pada November 2016, kelompok yang tidak disukai oleh paling banyak warga adalah ISIS sebesar 25,5 persen, kemudian LGBT 16,6 persen, dan Komunis 11,8 persen. Sementara Kristen/Katolik sebagai kelompok yang paling tak disukai sebesar 2,6 persen, dan China/Tionghoa sebesar 0,8 persen.
Untuk diketahui, survei soal tingkat toleransi warga Indonesia terhadap etnis China dilakukan dalam kurun waktu 2001-2016, dengan masing-masing menggunakan teknik probability sampling. Sementara, ukuran sampel tiap survei selalu di atas 1000. Survei ini memiliki Magin of error tiap survei rata-rata +/- 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Beredar video yang mengklaim adanya penganiayaan yang dilakukan oleh tenaga kerja asing (TKA) Chi
Baca SelengkapnyaLaporan AS mengklaim ada genosida di Xinjiang dan pembatasan kegiatan keagamaan tertentu serta menunjukkan peningkatan "anti-Semitisme" secara daring.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaLangkah hukum akan diterapkan Kominfo apabila ditemukan kasus hoaks yang memiliki intensitas berat dan berpotensi memecah belah bangsa.
Baca SelengkapnyaMenteri Pertahanan Taiwan Wellington Koo mengatakan bahwa China adalah pelaku serangan siber di seluruh dunia.
Baca SelengkapnyaPengusasaan platform asing terutama dari China cepat atau lambat bakal mengancam usaha kecil-menengah.
Baca SelengkapnyaAjakan ke Suriah sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab
Baca SelengkapnyaBeredar tangkapan layar yang mengeklaim PM Singapura menyebut Indonesia sebagai negara yang tidak akan maju karena gila agama
Baca SelengkapnyaPerusahaan raksasa dunia yang lain bisa melihat ini menjadi celah atau dipandang sebagai buruknya tata kelola birokrasi di Indonesia.
Baca SelengkapnyaJulid Fi Sabilillah, Perang Netizen Indonesia Melawan Israel di Dunia Maya
Baca SelengkapnyaBahkan, banyak negara di dunia yang mengalami kekacauan karena tidak bisa menyaring konten hoaks di dunia digital.
Baca SelengkapnyaIndonesia harus kuat dari berbagai upaya destabilisasi gencar dilakukan khususnya dari kelompok dan jaringan teror.
Baca Selengkapnya