Saksi ahli hukum beberkan sejarah Pasal KUHP yang jerat Ahok
Merdeka.com - Penasihat hukum terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama menghadirkan C Djisman Samosir sebagai saksi ahli hukum pidana. Pada saat di persidangan, Djisman sempat menceritakan sejarah pasal yang menjerat mantan Bupati Belitung Timur itu.
Basuki atau akrab disapa Ahok itu dijerat dengan Pasal 156 dan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Alasannya karena mantan politisi Gerindra itu telah menyinggung surat Al-Maidah ayat 51 kala menyampaikan pidato di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 lalu.
Djisman menjelaskan, KUHP merupakan aturan hukum dari masa kolonial Belanda di mana awalnya hanya mencantumkan Pasal 156. Baru kemudian pemerintah melalui Penetapan Presiden (PNPS) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 memasukkan pasal 156 a.
-
Kenapa hukum dibuat? Hukum memiliki tujuan untuk mewujudkan keadilan, ketentraman sekaligus keamanan.
-
Siapa yang sebut hukum di Indonesia terguncang? Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Chico Hakim menyebut, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal batas usia capres-cawapres menjadi persoalan serius terkait hukum di Indonesia.
-
Kapan hukum Goo Hara disahkan? Setelah perjuangan yang panjang dan perhatian dari masyarakat, akhirnya pada Agustus 2024, Majelis Nasional Korea Selatan secara resmi mengesahkan revisi undang-undang ini.
-
Siapa yang diperiksa Komnas HAM? Komnas HAM memeriksa mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, Usman Hamid untuk menyelidiki kasus pembunuhan Munir yang terjadi 20 tahun lalu.
-
Bagaimana Komnas HAM mengungkap pelaku? 'Ada penggalian fakta tentang peran-peran Pollycarpus atau peran-peran orang lain yang ada di tempat kejadian perkara atau yang terlibat dalam perencanaan pembunuhan Munir atau yang menjadi alasan TPF ketika itu untuk melakukan prarekonstruksi, melacak percakapan nomor telepon dan lain-lain lah,' kata Usman di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (15/3).
-
Bagaimana Kejagung mengusut kasus ini? “Iya (dua penyidikan), itu tapi masih penyidikan umum, sehingga memang nanti kalau clear semuanya kita akan sampaikan ya,“ tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (15/5/2023). Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Kuntadi mengatakan, dua kasus tersebut berada di penyidikan yang berbeda. Meski begitu, pihaknya berupaya mendalami temuan fakta yang ada.
"Ada kondisi-kondisi di negara ini, yang menurut penglihatan pemimpin negara, ada persoalan-persoalan keagamaan. Sehingga disisipkan lah 'a'-nya untuk membedakan antara Pasal 156 dengan 156 a," katanya di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).
Dia menambahkan, pemerintah mengeluarkan PNPS karena KUHP tidak secara tegas mengatur hukum untuk tindakan penodaan agama. Walaupun sebenarnya sudah ada pasal-pasal yang membahas tindakan penodaan atau terkait kebencian terhadap suatu golongan.
"Ada sebenarnya pasal yang mengatur (hukuman untuk tindakan) penodaan agama, tetapi saya berpendapat, tidak diatur secara tegas, secara eksplisit. Sementara hukum pidana itu harus gramatikal, mengatur secara tegas," tutup Djisman.
Untuk diketahui, pasal 156 mengatur hukuman pidana penjara paling lama empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Sementara, Pasal 156a mengatur pidana penjara paling lama lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Selain itu, Djisman juga terang-terangan mengkritik Majelis Hakim lantaran saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Djisman mengatakan, saksi yang dihadirkan ke persidangan seharusnya sesuai dengan hukum yang ada. Karena berdasarkan Pasal 184 KUHP, saksi haruslah yang benar-benar melihat, mendengar dan merasakan langsung.
"Saya tidak bermaksud mengajarkan yang mulia. Tetapi saksi yang sesuai dengan KUHP adalah saksi yang benar-benar orang langsung," katanya.
Dia mengungkapkan, setidaknya ada sekitar 15 orang saksi pelapor dalam kasus dugaan penodaan agama ini yang hadir ke persidangan. Namun sayangnya, dalam keterangan yang disampaikan di depan Majelis Hakim, tak ada satupun yang melihat pidato Basuki atau akrab disapa Ahok di Pulau Pramuka pada 27 September 2016 lalu.
Djisman mengungkapkan, saksi pelapor yang hadir kebanyakan hanya menyaksikan pidato tersebut melalui situs Youtube ataupun video kiriman. Seharusnya hal tersebut tidak bisa membuat mereka lantas menyandang saksi pelapor.
"Itu tidak boleh. Itu namanya penilaian ahli," tegasnya.
Dia mengaku, alasannya menyampaikan kritikan tersebut hanya agar jalannya sidang kasus dugaan penodaan agama berlaku adil. Karena Djisman khawatir jika prosedur keliru dijalankan maka jalannya persidangan akan ke arah sesat.
"Tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Jika tidak, muncullah peradilan yang sesat," tutupnya.
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurut Yusril, undang-undang yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi itu lahir dari hasil pembelajaran dari pengalaman Afrika Selatan.
Baca SelengkapnyaMenurutnya, mulai dipelajarinya KUHP Nasional itu sangat penting untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
Baca SelengkapnyaPDI Perjuangan menjadikan Sekolah Partai sebagai tempat belajar menciptakan hukum.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut Indonesia masih mewarisi semangat kolonial dalam sektor hukum.
Baca Selengkapnya"Setelah 79 tahun merdeka, akhirnya kita memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru sebagai upaya memodernisasi hukum Indonesia," kata Presiden Jokowi.
Baca SelengkapnyaKecintaannya dalam mengkaji hukum adat hingga hukum tata negara di Hindia Belanda membuat dirinya dijuluki sebagai "Bapak Hukum Adat".
Baca SelengkapnyaDi masa kerajaan, masyarakat dibebani pajak tanah dan pajak tenaga kerja.
Baca Selengkapnya