Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Sapardi: Sastra mau tidak mau masuk ke dalam kapitalisme

Sapardi: Sastra mau tidak mau masuk ke dalam kapitalisme Sapardi Djoko Damono. ©2014 Merdeka.com

Merdeka.com - Sapardi Djoko Damono menjadi salah satu dari ’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh’ menurut versi Tim 8, juri sekaligus penulis buku yang menghebohkan itu. Pusat keriuhan itu adalah munculnya nama Denny JA, yang lebih dikenal sebagai konsultan politik, di antara nama-nama sastrawan besar lainnya.

Oleh Tim 8, karya puisi esai Denny lewat buku ‘Atas Nama Cinta’ (2012) dianggap sebagai genre baru sastra Indonesia dan mempengaruhi banyak penulis. Di buku itu juga Sapardi menuliskan pengantar bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Ignas Kleden.

Kepada merdeka.com di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu, penyair 73 tahun yang terkenal dengan karya 'Hujan Bulan Juni' (1994)  itu menyampaikan pandangannya soal buku '33 Tokoh Sastra' dan polemik yang ditimbulkannya.

Berikut wawancara merdeka.com dengan Sapardi:

Denny JA masuk dalam ’33 Tokoh Sastra’ telah memunculkan polemik. Tanggapan Anda?

Karya seni itu biasa menimbulkan polemik, biarkan saja semua ngomong, berbeda pendapat kan boleh saja. Yang tidak boleh itu orang lain harus berpendapat sama.

Bagi para penentang, buku '33 Tokoh Sastra' yang memasukkan Denny JA dianggap menyesatkan publik. Tanggapan Anda?

Banyak buku begitu, buku pelajaran SMA menyesatkan semua. Kalau teman-teman punya pandangan lain, tulis saja sehingga terjadi dialog, lebih berguna, berkesinambungan. Kalau mulai melarang, ya gak setuju.

Alasan Tim 8 memasukkan Denny JA sebagai '33 Tokoh Sastra' adalah karena dia dianggap memunculkan genre baru dalam sastra Indonesia: puisi esai. Anda setuju?

Kalau (puisi esai) sekadar ada catatan kaki itu biasa. Tidak selalu penyair. Tapi ini ada data-data lengkap. Itu sesuatu yang belum pernah saya lihat. Ini menurut pandangan saya.

Kalau menurut Anda pribadi, apakah Denny JA layak masuk kategori ’33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh?’

Saya tidak berpendapat untuk itu. Tapi bagi saya yang tidak layak itu ukuran berpengaruh atau tidak berpengaruh. Berpengaruh itu opo karepe? (apa maunya?). Itu ukuran mereka (juri). Menurut saya sih tidak, kalau orang lain nilai (berpengaruh), saya tidak usah marah. 

Bagaimana saya bisa membuktikan Chairil Anwar berpengaruh? Di dalam dunia kesenian, sastra, yang penting adalah konsep intertekstualitas. Intertekstualitas itu satu teks ada keterkaitan dengan teks lain, dan itu bukan pengaruh. Seorang mengatakan berpengaruh, itu agak aneh di pemikiran modern itu.

Soal pernyataan seorang anggota Tim 8 bahwa Denny JA yang ikut mensponsori buku itu. Apakah etis?

Tidak apa-apa, yang buat mau kok. Misalnya saya punya duit, bikin film masuk oscar, menang, itu sesuatu yang tidak masalah. Kesenian mau tidak mau pasti masuk ke dalam kapitalisme. Apakah itu bentuknya film, lukisan, sastra, dan teman-teman harus siap.

Jadi memang sastra harus tunduk terhadap bentuk kapitalisme model begitu?

Bukan perkara tunduk dan tidak tunduk. Hegemoninya kapital, kalau dulu kan hegemoninya penguasa, raja. Jadi berpikirnya agak luas dikit begitu. Sekarang keadaannya kapitalisme kok, sudah susah.

Artinya, saya kira kita harus memandang agar bersihlah dari angan-angan bahwa sastra atau kesenian itu di awang-awang, kesenian itu ajaib, kesenian itu unggul, enggak sama sekali. Kan mau dibaca orang.

Seandainya benar ada uang Denny di balik buku itu, apakah sama mensponsori untuk sebuah karya dengan mensponsori buku agar nama pemodalnya dimasukkan ke dalam barisan sastrawan besar?

Sama saja. Apalagi yang biayai orang sudah kenal, sama saja. Ya, biarkan saja mereka. Anda setuju ga? Kalau tidak setuju ya sudah. Dengan demikian sehat. Justru saya bertahan sebagai sebagai penulis karena saya berpandangan seperti itu.

Kalau ada penobatan 'tokoh sastra paling berpengaruh', bagaimana dengan adanya kanonisasi (penobatan karya sastra sebagai kitab wajib/kanon)?

Saya tidak setuju, saya selalu melawan itu. Kanonisasi itu gombal. Orang mengagungkan Siti Nurbaya, itu jelek banget. Saya mengagungkan Pram (Pramoedya Ananta Toer), oke hanya menghargai satu karya Pram, yang lain enggak. Bukan Pasar Malam, itu karya Pram, bebas dari segala macam. Kalau kalau karena dia masuk penjara dia jadi pahlawan, itu gombal.

Lantas apa yang produktif untuk publik sastra sekarang ini?

Kita menulis, ada yang kurang bagus ya kita bikin sayembara. Kaya Ini DKJ bikin sayembara (kritik sastra), berarti penulisan sekarang tidak bagus, jika tidak diadakan sayembara. Di luar sayembara banyak novel bagus.

Lewat sayembara, akan muncul novel-novel bagus. Banyak novel tidak lewat sayembara, bagus juga. Apa alasannya. Itu semuanya berjalan dengan baik. Tapi jangan melarang-larang karyanya.

(mdk/ren)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Wacana Sastra Masuk Kurikulum, Kemendikbudristek Buka Kritik dan Saran
Wacana Sastra Masuk Kurikulum, Kemendikbudristek Buka Kritik dan Saran

Salah satu masukan terkait Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra

Baca Selengkapnya
‘Pendidikan Kini Menjadi Komoditas yang Diperdagangkan’
‘Pendidikan Kini Menjadi Komoditas yang Diperdagangkan’

Orientasi keuntungan mengabaikan kualitas pendidikan untuk memanusiakan manusia.

Baca Selengkapnya
Debat Pilpres, Ganjar Singgung Pentas Seni Butet: Masa Takut, Pemerintah Harus Tahan Dikritik
Debat Pilpres, Ganjar Singgung Pentas Seni Butet: Masa Takut, Pemerintah Harus Tahan Dikritik

Pemerintah cukup memberikan fasilitas kepada para pelaku seni budayawan.

Baca Selengkapnya