Satgas Covid-19: Pesan Berantai Bahaya Vaksin terhadap Respons Imun, Hoaks
Merdeka.com - Satgas Penanganan Covid-19 menegaskan bahwa pesan berantai di whatsapp yang berupa video dengan narasi 'Potensi bahaya vaksin Covid-19' merupakan konten yang menyesatkan.
Dalam pesan berantai itu, disebutkan bahwa efek samping vaksinasi Covid-19 yakni munculnya fenomena ADE atau Antibody-dependent Enhancement.Satgas penanganan Covid-19 memastikan hingga saat ini belum ada bukti terjadinya ADE.
"Konten yang menyesatkan. Video tentang respon imun ADE, berdasarkan hasil penelitian hingga saat ini tidak ditemukan karena penyakit virus corona pada manusia tidak memiliki atribut klinis, epidemiologis, biologis, atau patologis dari penyakit ADE," dikutip dari keterangan resmi Satgas Covid-19, Senin (8/3).
-
Apa yang ditemukan peneliti? Para peneliti menggambarkan spesies baru dari genus Calotes di Tiongkok selatan dan Vietnam utara.
-
Mengapa beberapa orang kebal terhadap Covid-19? Meskipun vaksin dan booster secara radikal mengurangi risiko kematian dan komplikasi berat dari COVID-19, mereka tidak banyak membantu menghentikan virus dari memasuki lapisan hidung dan sistem pernapasan.
-
Apa yang menyebabkan beberapa orang tidak terinfeksi Covid-19? Berdasarkan analisis aktivitas genetik dalam jaringan hidung dan darah orang yang tidak berhasil terinfeksi SARS-CoV-2, tim peneliti yang dipimpin oleh Wellcome Sanger Institute dan University College London di Inggris menemukan respons kekebalan baru yang memberikan pertahanan garis depan yang kuat.
-
Apa yang ditemukan oleh peneliti? Para peneliti yang dipimpin oleh Shuhai Xiao di Virginia Tech menemukan fosil spons laut berusia 550 juta tahun, menjelaskan kesenjangan 160 juta tahun dalam catatan fosil.
-
Apa yang ditemukan dalam penyelidikan? Media Fars yang berafiliasi dengan Pasukan Garda Revolusi melaporkan, sebuah penyelidikan menyiratkan Haniyeh dihantam rudal dan menyimpulkan Israel terlibat dalam aksi pembunuhan ini.
-
Apa yang ditemukan oleh para peneliti? Puluhan petroglief berusia ribuan tahun ditemukan terukir di atas bebatuan di balik semak-semak di daerah pedesaan di Tanum, Provinsi Bohusian, Swedia.
Dalam keterangan Satgas tersebut, terdapat beberapa referensi penjelasan fenomena ADE terhadap vaksinasi Covid-19. Yang pertama yakni dari jurnal PubMed.gov yang diterbitkan oleh Oxford University Press untuk Infectious Diseases Society of America tahun 2020.
“Mungkinkah vaksin COVID-19 membuat manusia peka terhadap infeksi terobosan yang bergantung pada antibodi (ADE)? Ini tidak mungkin karena penyakit virus corona pada manusia tidak memiliki atribut klinis, epidemiologis, biologis, atau patologis dari penyakit ADE yang dicontohkan oleh virus dengue (DENV). Berbeda dengan DENV, SARS dan MERS CoVs terutama menginfeksi epitel pernapasan, bukan makrofag. Selain itu, Satgas juga memaparkan penjelasan lainnya berdasarkan Children’s Hospital of Philadelphia (CHOP).
"Baik penyakit Covid-19 maupun vaksin Covid-19 baru tidak menunjukkan bukti penyebab ADE. Orang yang terinfeksi SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19, kemungkinan tidak mengembangkan ADE setelah terpapar berulang Ini juga berlaku untuk virus Corona lainnya".
Selain itu, CHOP juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian vaksin di laboratorium dengan hewan maupun uji klinis pada manusia, bukti adanya ADE belum ditemukan.
Diketahui, pesan berantai tersebut sebelumnya juga sudah pernah beredar dan Satgas juga sudah mengklarifikasi narasi yang menyesatkan ini. Pada 6 Oktober 2020, Juru Bicara Satgas Covid-19, Wiku Adisasmito menyatakan, berdasarkan hasil penelitian para ahli, fenomena ADE tidak ditemukan di manusia.
"Fenomena ADE di SARS-CoV-2 sudah diselidiki sejak percobaan pra-klinis dan dinyatakan aman dan baik. Namun karena adanya perbedaan antara hewan percobaan dan manusia, tentu risiko ADE pada manusia juga harus diinvestigasi," sebut Wiku.
Wiku mengatakan fenomena ADE hanya terlihat pada penyakit dengue dan sejenisnya.
"Terkait dengan efek samping ADE, sejauh ini hanya terlihat pada penyakit dengue dan sejenisnya dan tidak pada virus lain. Fenomena ADE terlihat pada MERS, SARS, Ebola, HIV, semata-mata ditemukan in silico dan in vitro dan tidak menggambarkan fenomena di manusia," lanjut Wiku
Selain itu, pada 12 Oktober 2020, Guru Besar Fakultas Kedokteran & Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 Universitas Padjajaran, Kusnandi Rusmil juga mengklarifikasi isu tersebut.
“Hingga saat ini belum ada bukti terjadinya ADE (pada kandidat vaksin Covid-19). Kewaspadaan dan monitoring terhadap keamanan vaksin tetap harus dilakukan," tegasnya.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Beredar penyebaran virus mpox merupakan efek samping vaksin Covid-19
Baca SelengkapnyaBeredar klaim penerima vaksin Covid-19 mRNA akan meninggal dalam 3 atau 5 tahun
Baca SelengkapnyaHinky mengatakan, vaksin AstraZeneca sudah melewati tahap uji klinis tahap 1 hingga 4.
Baca SelengkapnyaJamie Scott, seorang pria beranak dua mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu p
Baca SelengkapnyaKomnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaPemerintah berupaya mencegah penyebaran Mpox dengan melakukan vaksinasi yang sudah disetujui WHO dan BPOM.
Baca SelengkapnyaIndonesia merupakan negara dengan peringkat keempat terbesar di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19.
Baca SelengkapnyaBelakangan, vaksin AstraZeneca disebut-sebut memicu kejadian trombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) atau pembekuan darah.
Baca SelengkapnyaSebelumnya, Budi menyatakan vaksin cacar monyet masih menyasar kelompok tertentu, seperti penderita HIV.
Baca SelengkapnyaBeredar video yang mengklaim larangan konsumsi sayap dan leher ayam pedaging karena sudah disuntik hormon.
Baca SelengkapnyaBenarkah filter rokok mengandung darah babi? Simak penelusurannya
Baca SelengkapnyaBahkan, muncul narasi menyatakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak ada.
Baca Selengkapnya