Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Sejarawan Harap Masyarakat Indonesia Tak Terjebak Politik Rasialis Era Kolonialisme

Sejarawan Harap Masyarakat Indonesia Tak Terjebak Politik Rasialis Era Kolonialisme imlek. ©2012 Merdeka.com

Merdeka.com - Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, perayaan Imlek atau tahun baru China bisa terjadi karena etnis Tionghoa mempunyai sejarah panjang keberadaan di Indonesia. Menurutnya, etnis Tionghoa terbukti ikut menghiasi wajah masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Bonnie menuturkan, pada tahun 1932, didirikan Partai Tionghoa Indonesia. Partai ini ikut terlibat dalam politik pra kemerdekaan Indonesia.

"Pada tahun 1932 ada Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian. Dia seorang etnis Tionghoa yang berwawasan nasionalis Indonesia. Dia juga berkawan dengan Bung Karno," katanya saat 'Imlekan Bareng Banteng' PDIP, Jumat (12/2).

Bahkan, kata dia, ada seorang perwira TNI AL beretnis Tionghoa bernama John Lie. John sendiri sudah ditetapkan menjadi pahlawan nasional.

"Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi penting, berdampingan dengan sejarah kita," jelasnya.

Bonnie menyebut, isu rasial terhadap WNI etnis Tionghoa terjadi sudah dari masa kolonialisme Belanda. Penjajah saat itu mengelompokan masyarakat di Hindia Belanda berdasarkan segregasi ras atau yang disebut dengan Regering Reglement pada tahun 1854.

Pertama, kata dia, orang kulit putih atau Eropa, kemudian orang Timur Asing dan orang Cina, serta Inlander atau pribumi. "Ini sangat diskriminatif. Politik rasial yang sangat diskriminatif," ujarnya.

Menurutnya, masyarakat yang masih menganggap isu rasial terhadap etnis Tionghoa masih terjadi saat ini disebut sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran 'pra ke-Indonesian. Atau sebelum awal abad 2020. Titik perlawanan terhadap kebijakan rasialis Kolonial itu, kata dia, adalah ketika para pemuda bersatu pada tahun 1928 atau peristiwa Sumpah Pemuda.

"Jadi waktu ada wakilnya. Orang Tionghoa, orang Ambon, Orang Sumatera, dan dari mana-mana sudah mewakili daerahnya kemudian berikrar untuk menjadi Indonesia. Jadi meninggalkan kesadaran pra Indonesia yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan segregasi ras," ungkap Bonnie.

Keinginan bersatu ini, lanjut dia, selain pada saat Sumpah Pemuda, juga diperkuat oleh pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Bung Karno mengatakan Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.

"Pahamnya nasionalisme modern yang tidak tersekat latang belakang agama, etnis, maupun, ras," tutur Bonnie.

Selain itu, dia menambahkan, perayaan Imlek di era Presiden Soekarno diperbolehkan dan tidak dilarang. Di masa Orde Baru, masa Presiden Soeharto, Imlek dilarang melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967.

Setelah dilarang hampir 30 tahun, cerita Bonnie, masa kepemimpinan Soeharto berakhir dan Imlek kembali boleh dirayakan di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tahun 2000. Kebijakan ini lalu disempurnakan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2002.

"Sehingga orang tidak hanya warga Tionghoa tapi non Tionghoa ikut merayakannya sebagai satu rasa kebersamaan, sebagai satu rasa dan bangsa yang tidak membeda-bedakan ras dan etnis," kata Bonnie.

Bonnie menegaskan, bila ada orang saat ini masih berpikiran rasis kepada etnis Tionghoa, mereka adalah orang yang terjebak dalam pemikiran kolonialisme.

"Itu kita kategorikan orang yang berada dalam kesadaran orang di bawah kesadaran pra Indonesia atau di bawah kolonialisme. Jadi udah tidak keren," tutur Bonnie.

Padahal, lanjut Bonnie, jika mengacu sejarah, pada 4.000 tahun lalu ada yang masuk ke Nusantara dari Yunnan, wilayah China saat ini.

"Masuk ke Indonesia dan kemudian sudah bermukim di kepulauan Nusantara. Jadi kalau dites DNA gitu, kita pasti punya sisi genetik dari Yunnan," ungkap Bonnie.

Atas dasar tersebut, dia meminta seluruh masyarakat tetap belajar sejarah untuk mengenal kebudayaan Indonesia sendiri.

"Sehingga kita sebagai sebuah bangsa tidak bisa dipecah belah oleh sentimen-sentimen yang sempit, bernada hasutan yang bersifat rasial," pungkas Bonnie.

PDIP Pastikan Komitmen Menjaga Keberagaman

Politikus PDI Perjuangan (PDIP), Charles Honoris mengungkapkan, partai politik yang menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga keberagaman adalah PDI Perjuangan. Sebagai warga keturunan Tionghoa, dia mengaku, merasakan bagaimana PDIP memberikan ruang sebesar-besarnya setiap orang tanpa memandang latar belakang etnis maupun golongan.

"Sebagai seorang WNI suku Tionghoa saya bangga sekali menjadi bagian dari keluarga besar PDI Perjuangan. Partai inklusif yang tidak pernah membedakan suku, agama maupun ras dalam memberikan kesempatan kepada setiap kadernya untuk berbakti kepada bangsa dan negara," katanya.

Wakil Ketua Komisi IX itu menyebut PDIP konsisten memberikan kesempatan kepada semua anak bangsa terlepas dari suku agama dan ras, untuk bisa mengabdi kepada bangsa.

"Ada juga orang Tionghoa yang duduk di pimpinan komisi," ujarnya.

Charles menyadari banyak partai politik yang mengaku dirinya sebagai Pancasilais. Namun, Charles melihat praktik di lapangan bahwa PDIP yang benar-benar merealisasikannya.

"Kalau lihat track record PDI Perjuangan adalah satu partai yang mengusung, bukan hanya itu, tetapi memperjuangkan ideologi Pancasila dan ajaran Bung Karno. Kata-kata Bung Karno bahwa Indonesia bukan milik satu golongan, satu agama, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Karena itu, PDI Perjuangan adalah rumah besar kaum nasionalis," jelasnya.

Senada dengan Charles, Wali Kota Singkawang, Tjhai Cui Mie dan Me Hoa Ketua DPRD Kab Bangka Tengah yang juga tionghoa juga menceritakan pengalamannya.

Ia menegaskan bangga dipercaya Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk maju di Pilkada Singkawang meski isu perempuan lalu Tionghoa yang dipakai lawan politik untuk menyerangnya.

"Pasti ada sebelum pencalonan. Tapi begitu selesai, kita menjalankan dengan baik. Yang penting kita buktikan kita mampu dan bisa bekerja," papar Tjhai.

Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Keagamaan, Hamka Haq, memaknai perayaan Imlek sebagai momentum merajut gotong royong sesama anak bangsa.

"Jadi saya yakin bahwa tidak ada satu agama, kepercayaan yang mengajarkan umat yang untuk bermusuhan. Terutama katakan Islam, ada ajaran rahmatan lil alamin. Dalam Kristen ada ajaran cinta kasih, dalam Hindu- Budha ada ajarannya juga dan seterusnya," kata Hamka.

Pria yang akrab disapa Prof Hamka itu, bangsa ini berdiri bukan karena andil satu kelompok atau golongan tertentu.

"Pernah saya menjabat Sekretaris Umum Majelis Ulama Sulawesi Selatan, mengantarkan seorang Tionghoa yang beragama Katolik untuk mendaftar calon wali kota. Orang semua heran. Kenapa sekretaris umum?,” kenang Hamka.

(mdk/fik)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Hendropriyono Minta Masyarakat Tolak Rasisme
Hendropriyono Minta Masyarakat Tolak Rasisme

Hendropriyono mengingatkan, rasialisme bisa muncul dengan sendirinya di masyarakat.

Baca Selengkapnya
Sejarawan: Pleidoi Indonesia Menggugat Bung Karno Relevan dengan Situasi saat Ini
Sejarawan: Pleidoi Indonesia Menggugat Bung Karno Relevan dengan Situasi saat Ini

Dia menyakini belum ada yang bisa menandingi pemikiran Bung Karno dalam pleidoi Indonesia Menggungat tersebut.

Baca Selengkapnya
OPINI: Indonesia Untuk Bangsa Indonesia
OPINI: Indonesia Untuk Bangsa Indonesia

Mewakili para orang tua pribumi Indonesia, kami ingin mengingatkan agar para putera puteri bangsa Indonesia dapat hidup aman, tenteram dan sejahtera.

Baca Selengkapnya
BPIP: Bangsa Ini Sudah Biasa Bertindak dengan Menghargai Perbedaan
BPIP: Bangsa Ini Sudah Biasa Bertindak dengan Menghargai Perbedaan

Dengan perilaku toleransi tinggi, Indonesia diyakini kebal dengan serangan paham radikal terorisme ingin pecah belah NKRI.

Baca Selengkapnya
Bedah Buku Merahnya Ajaran Bung Karno, Hasto Sindir Kekuasaan untuk Kedaluatan Rakyat Diubah untuk Keluarga
Bedah Buku Merahnya Ajaran Bung Karno, Hasto Sindir Kekuasaan untuk Kedaluatan Rakyat Diubah untuk Keluarga

Hasto juga menyinggung bagaimana di Rangkasbitung ada sosok petani yang berani melawan kolonialisme Belanda.

Baca Selengkapnya
Memaknai Hari Kemerdekaan dengan Merangkul Perbedaan
Memaknai Hari Kemerdekaan dengan Merangkul Perbedaan

Kemerdekaan yang dirayakan bangsa Indonesia adalah untuk mengingat lepasnya Indonesia dari penjajahan negara asing.

Baca Selengkapnya
Prabowo: Jangan Termakan Cuci Otak Indonesia Negara Miskin dan Tidak Mampu
Prabowo: Jangan Termakan Cuci Otak Indonesia Negara Miskin dan Tidak Mampu

Prabowo mengaku kagum dengan negara barat, tapi masalahnya mereka tidak mencintai Indonesia.

Baca Selengkapnya
Hasto ke Caleg Terpilih dari PDIP: Kita Mewarisi Hukum Kolonial dalam Bentuk Arogansi Kekuasaan!
Hasto ke Caleg Terpilih dari PDIP: Kita Mewarisi Hukum Kolonial dalam Bentuk Arogansi Kekuasaan!

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut Indonesia masih mewarisi semangat kolonial dalam sektor hukum.

Baca Selengkapnya
Menag Yaqut Respons Senator Bali Arya Wedakarna: Tak Boleh Ada Rasisme di Indonesia
Menag Yaqut Respons Senator Bali Arya Wedakarna: Tak Boleh Ada Rasisme di Indonesia

Menag mengingatkan, bangsa Indonesia dibangun oleh berbagai macam ras, suku, budaya, hingga agama.

Baca Selengkapnya
Anies: Negeri Ini Bukan Milik Sekelompok Orang, Tapi Milik Kita Semua
Anies: Negeri Ini Bukan Milik Sekelompok Orang, Tapi Milik Kita Semua

Anies menegaskan tidak akan membiarkan bangsa jatuh terhadap kelompok tertentu yang berusaha berkuasa.

Baca Selengkapnya