Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Social Distancing Masih Gagal, Sederet Saran Buat Pemerintah

Social Distancing Masih Gagal, Sederet Saran Buat Pemerintah Penumpang KRL di Stasiun Tanah Abang. ©Liputan6.com/Angga Yuniar

Merdeka.com - Pemerintah tengah gencar mengkampanyekan social distancing demi mencegah penyebaran virus Corona atau Covid-19 yang kian memprihatinkan. Bahkan, pemerintah meminta masyarakat bekerja, belajar dan ibadah di rumah.

Namun sayangnya, social distancing tampak belum terlaksana dengan baik. Masih tampak kerumunan orang di sejumlah tempat, khususnya transportasi publik seperti KRL, Transjakarta dan terminal.

Penampakan di KRL Jabodetabek, Senin (23/3) lalu misalnya, Achmad Arifandy Nasution mengaku kereta dari Bogor-Jakarta Kota penuh sesak dengan masyarakat yang ingin berkerja. Bahkan sebelum kereta datang para pengguna sudah ramai untuk menunggu.

"Penuh kereta yang dari Bogor. Kemarin-kemarin sebelum pengurangan jam segini (08.00 WIB) sepi," kata Arifandy, Senin (23/3).

Hal yang sama juga dirasakan oleh Dinur Syafei sebagai pengguna rute Rangkas Bitung-Tanah Abang. Untuk keberangkatan pukul 07.29 WIB kereta sudah penuh dengan penumpang dari stasiun sebelumnya.

"Kaki gue saja melayang satu enggak bisa sentuh lantai. Padat banget, sumpek. Rata-rata pada pakai masker," jelasnya. Hal ini sebagai dampak pengurangan jam operasional KRL. Melihat terjadi penumpukan, pengurangan operasional akhirnya dibatalkan sore harinya.

Peran Serta Masyarakat

Melihat fenomena ini, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah mengatakan, pemerintah perlu menggunakan pendekatan kebijakan Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam melakukan sosialisasi, komunikasi dan edukasi. Nantinya, kepala daerah atau desa menggerakkan RT atau RW setempat untuk melakukan hal tersebut.

"Karena persoalannya ada tiga, sosialisasi yang minim, kedua komunikasi yang minim dan ketiga edukasi yang minim terkait corona. Ini, sosialisasi, komunikasi dan edukasi ini yang menjadi masalah di daerah. Karena itu RT/RW perlu mengumpulkan warganya, kemudian di situ karena di daerah kan paling pengaruh pula tokoh-tokoh masyarakat. Jadi di situ ada ulama, tokoh keagamaan, ada tokoh-tokoh tertentu itu perlu dilibatkan, jadi secara serentak," kata Trubus kepada merdeka.com, Jakarta, Selasa (24/3).

"Kemudian juga kelompok-kelompok muda seperti karang taruna itu dimasukan semua, jadi itu secara bersama-sama PSM. Atau dalam kebijakan publik namanya partisipasi publik gitu, itu tindakan yang pertama. Jadi itu lurah, intinya kepala daerah. Kalau ditanya anggarannya dari mana, kepala desa ada anggaran namanya anggaran desa. Jadi diambilkan dari dana desa untuk menggerakan itu semua supaya masyarakat peduli akan bahaya corona," sambungnya.

Selain itu, ia ingin adanya kebijakan yang bersifat kolaborasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta para pengusaha-pengusaha daerah. "Jadi, pengusaha-pengusaha itu diajak berkumpul, diajak diskusi atau digerakan untuk juga peduli mengenai corona. Jadi, biasanya pengusaha itu punya anggaran, punya biaya CSR. Jadi dia yang membantu juga untuk menggerakan warga di daerahnya," ujarnya.

"Selain itu juga kolaborasi itu, para anggota dewan DPRD itu mereka kan dipilih oleh rakyatnya itu, jadi mereka harus bertanggungjawab secara konstituen. Jadi konstitusinya dibebani supaya ikut mensosialisasikan, mengkomunikasikan dan mengedukasi soal corona," sambungnya.

Trubus ingin anggaran para anggota dewan itu dipotong tunjangan dinasnya untuk keperluan masyarakat dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas.

"Jadi, anggota dewan itu tidak hanya duduk keenakan gitu, jadi sekarang harus ini. Gimana, anggarannya dia harus anggarannya dipotong tunjangan dinas sama tunjangan studi banding, jadi diambil aja untuk keperluan menggerakan masyarakat. Jadi itu namanya kebijakan kolaboratif," ucapnya.

Bahasa Yang Tak Dimengerti Masyarakat

Lalu, terkait pemerintah yang meminta masyarakat untuk melakukan social distancing untuk menghindari virus corona. Menurutnya bahasa tersebut tak dapat dimengerti oleh masyarakat.

"Jadi gini, lockdown itu omongan politik. Lockdown itu kan sebenarnya karantina, jadi lockdown itu. Buka UU Karantina Kesehatan, cek itu di UU nomor 6 tahun 2018, itu di situ ada karantina. Jadi di situ ada pembatasan sosial dan karantina. Kalau karantina itu lockdown bahasnya, cuma ini pemerintah kita ini, enggak dimengerti orang, enggak dimengerti masyarakat."

"Ada sosial distancing lah, suspect, lockdown, ada lagi sekarang yang dikatakan Pak Mahfud Physical Distancing atau apa. Jadi masyarakat enggak ngerti, itu yang perlunya komunikasi, edukasi dan sosialisasi, supaya masyarakat paham dan maksudnya apa itu Covid, ngerti gitu, jadi ini persoalan di sini saja," jelasnya.

Kerjasama Dengan Para Pengusaha

Agar masyarakat tak melakukan aktifitas di luar rumah yang tak penting dan para pekerja dapat bekerja dari rumah. Pemda diminta untuk bekerjasama dengan para pengusaha dalam mengantisipasi virus corona.

"Jadi pengusahanya itu dipanggil gitu, jadi dipanggil diajak duduk bersama, namanya kolaborasi, diajak ngomong. Kamu itu gini, karena bahaya corona begini, nah terus pengusaha itu dikasih kepastian, apa kepastiannya. Dikasih kompensasi pajak, jadi misalnya pajaknya harus dibebasin selama satu tahun, nah mereka baru mau. Karyawan-karyawan harian lepas lah, buruh lepas lah, atau karyawan kontrak, semua itu harus diberi jaminan dapat bayaran," ungkapnya.

Kemudian, Pemda ini memberikan kompensasi kepada pengusaha, sekaligus kepada mereka yang bekerja itu dikasih kepastian bahwa kamu nanti akan tetap bekerja di sini, kalau perlu dikasih bayaran, dikasih gaji, jadi mereka enggak keluar rumah, tambah Trubus.

Lalu, untuk mereka yang bekerja dengan mendapatkan upah harian. Pemda diminta untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membeli bahan pokok untuk memberikan makan kepada keluarganya.

"Jadi harus pemda wajib menyediakan makanan. Jadi didalam UU Karantina nomor 6 tahun 2018 itu, di Pasal 52 atau 53 itu, itu ada Pemda dan pusat itu mereka wajib menyediakan makanan termasuk ternak-ternaknya juga tanggung jawab mereka, jadi itu UU enggak jelas di situ. Cuma, kenapa mereka enggak mau melaksanakan, nah ini masalahnya adalah Pemda itu tidak transparan, jadi ini persoalannya transparansi saja. Jadi selama mereka tidak transparan, ya akan seperti itu," ucapnya.

Mencontoh India

Menurutnya, hal itulah yang menjadi penyebab masyarakat terutama pekerja harian masih beraktifitas di luar, karena tidak adanya kepastian. Ia ingin agar Indonesia memberikan BLT serta mencontoh negara India.

"India itu orangnya enggak kemana-mana, tapi mereka itu disediakan makanan lengkap di situ. Jadi dikirim saja makannya itu, jadi sehari dia makan 3 kali, kasih saja 3 kali. Terus petugas paramedis datang ke rumah-rumah, door to door. Jadi dibantu lewat RT/RW itu, nah jadi di Indonesia bisa diterapkan seperti it door to door, jadi paramedisnya itu datang ke rumah-rumah yang terduga suspect ODP sama PDP," katanya.

"Jadi ODP itu kan baru terduga tidak virus corona, mereka ini disarankan untuk ikut test. Makanya masyarakat dilakukan test cepat itu. Itu juga membantu dalam rangka supaya masyarakatnya tenang, itu karena sampai hari ini masih diteka-teki apakah berbayar atau tidak. Maka pemerintah darah harus menjamin bahwa testnya itu gratis bertanggungjawab pemda," tambahnya.

Potong Anggaran Perjalanan Dinas Para Pejabat

Dia ingin, anggaran para pejabat yakni Pekerjaan Modal Daerah (PMD) yang melakukan dinas ke luar kota atau ke luar negeri segera dipotong. Hal itu dipakai untuk kepentingan corona. "Gampang, itu bisa dilakukan, cuma masalahnya kepala daerahnya itu enggak mau, masalah politik, ego sektoral. Jadi itu masalahnya, maka tertekan masyarakat bawah, makanya enggak mau," tuturnya.

Belajar dari Rumah Tambah Pusing

Dengan adanya belajar dari rumah, menurutnya membuat orangtua menjadi tambah pusing. Karena, justru lebih mengeluarkan uang banyak untuk biaya hidup keluarganya.

"Jadi, corona itu dianggap sepele, karena lebih utama bagaimana mereka bisa makan, karena mereka juga masyarakat Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), masyarakat yang sehari-hari seperti ojol, pedagang seperti itu. Jadi kalau itu dilockdown ya nangis mereka, yang paling menderita itu masyarakat MBR. Ini sekarang dengan kondisi sepi, ini para pedagang udah pada nangis, mau makan gimana dia," ujarnya.

"Jadi apalagi kalau dilockdown, pemerintahnya sanggup enggak, mau kasih duit, mau kasih makan mereka, kenyataannya kan enggak sanggup, pemerintah belum siap. Anggaran pemerintah pusat saja cuma Rp63 triliun, kalau segitu untuk mengcover dari Sabang-Merauke sampe klenger itu enggak bakal bisa, karena Indonesia itu negara besar bukan negara kecil," tutupnya.

(mdk/rnd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Jokowi: Jakarta Ada KRL, LRT, hingga MRT Tapi Masih Macet di Semua Titik
Jokowi: Jakarta Ada KRL, LRT, hingga MRT Tapi Masih Macet di Semua Titik

Kata Jokowi Jakarta telah memiliki sejumlah transportasi massal tapi masih aja macet

Baca Selengkapnya
Viral Momen Wanita Tetap Paksa Masuk KRL Meski Sudah Penuh, Aksinya Bikin Ngeri
Viral Momen Wanita Tetap Paksa Masuk KRL Meski Sudah Penuh, Aksinya Bikin Ngeri

Aksi tersebut seakan menggambarkan realita kehidupan di kota besar yang penuh tantangan.

Baca Selengkapnya
Macet Jabodetabek Kian Parah, Polisi: Indeksnya Sudah 53 Persen, Normal 35
Macet Jabodetabek Kian Parah, Polisi: Indeksnya Sudah 53 Persen, Normal 35

Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Latif Usman mengatakan, bila melihat dari indeks kemacetan, untuk kondisi ideal di Jabodetabek berada pada angka 35 persen.

Baca Selengkapnya
Pengguna Keluhkan Gangguan KRL Rute Jakarta Kota di Jam Kerja, Ini Penjelasan KCI
Pengguna Keluhkan Gangguan KRL Rute Jakarta Kota di Jam Kerja, Ini Penjelasan KCI

Dampaknya banyak pengguna mengaku terlambat masuk kerja di awal pekan ini.

Baca Selengkapnya
Baru Hari ke-3 Beroperasi, LRT Jabodebek Gangguan Telat Sampai 2 Jam
Baru Hari ke-3 Beroperasi, LRT Jabodebek Gangguan Telat Sampai 2 Jam

Pantauan merdeka.com terjadi penumpukan penumpang di Stasiun LRT Jatibening Baru, Kota Bekasi.

Baca Selengkapnya
Hari Kedua KTT ASEAN: Lalin Arah Senayan Macet, Penumpang Transjakarta Numpuk
Hari Kedua KTT ASEAN: Lalin Arah Senayan Macet, Penumpang Transjakarta Numpuk

Kondisi di dalam bus pun penuh seperti di jam pulang kerja.

Baca Selengkapnya
Jakarta Macet Parah Pagi Tadi, Polisi: Hanya Sebentar Saja
Jakarta Macet Parah Pagi Tadi, Polisi: Hanya Sebentar Saja

Selanjutnya, jalan HR Rasuna Said, mulai dari traffic light Cokroaminoto sampai Kuningan. Dan sepanjang jalan Gatot Subroto ke arah traffic light Slipi.

Baca Selengkapnya
Ini Penyebab Kemacetan Parah di Jakarta Kemarin dan Pagi Tadi Terasa Lengang
Ini Penyebab Kemacetan Parah di Jakarta Kemarin dan Pagi Tadi Terasa Lengang

Sebelumnya, dilansir dari akun Instagram @jktinfo, kemacetan membuat kendaraan tak bergerak sama sekali.

Baca Selengkapnya
Reaksi Heru Budi soal KTT ASEAN Bikin Macet Jakarta
Reaksi Heru Budi soal KTT ASEAN Bikin Macet Jakarta

Heru menyayangkan pihak yang tidak mengindahkan imbauan untuk melakukan WFH.

Baca Selengkapnya
Jokowi: 996 Ribu KendaraanMasuk DKI Setiap Hari, Sebabkan Macet dan Polusi
Jokowi: 996 Ribu KendaraanMasuk DKI Setiap Hari, Sebabkan Macet dan Polusi

Kondisi ini berakibat pada mengepulnya polusi di langit ibu kota.

Baca Selengkapnya
FOTO: Derita Warga Parung Panjang Imbas Protes Supir Truk: Jalanan Lumpuh dan Macet Berkilo-kilometer
FOTO: Derita Warga Parung Panjang Imbas Protes Supir Truk: Jalanan Lumpuh dan Macet Berkilo-kilometer

Sejumlah warga, khususnya pengguna sepeda motor, terpaksa selap-selip di antara truk-truk besar untuk menembus kemacetan.

Baca Selengkapnya
Ada Kampanye Akbar, Penumpang KRL di Stasiun Palmerah dan Ancol Membludak
Ada Kampanye Akbar, Penumpang KRL di Stasiun Palmerah dan Ancol Membludak

Ane mengatakan pihaknya akan melakukan antisipasi-antisipasi untuk tetap dapat melayani pengguna Commuter Line aman dan lancar pada hari ini.

Baca Selengkapnya