Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tahun 2020, LBH Pers Temukan Peretasan Media Online Terkait Pemberitaan Obat Covid

Tahun 2020, LBH Pers Temukan Peretasan Media Online Terkait Pemberitaan Obat Covid Aksi Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis. ©2019 Merdeka.com/Erwin Yohanes

Merdeka.com - Tahun 2020 menandai pola baru serangan terhadap dunia pers di Indonesia. Serangan itu dalam bentuk peretasan terhadap laman situs media massa online.

Lembaga Bantuan Hukum Pers mengungkap, di tahun 2020 serangan itu menyasar media seperti Tempo dan Tirto.id. Direktur LBH Pers, Ade Wahyudi menduga serangan tersebut berkaitan dengan pemberitaan media-media tersebut.

"Terjadi serangan digital pada Tempo, Tirto dan beberapa media lainnya. Dan diduga serangan ini berkaitan dengan pemberitaan obat Covid," kata Ade dalam Rilis Tahunan LBH Pers melalui daring pada Selasa (12/1).

Dugaan itu bukan tanpa alasan, Ade menuturkan bahwa setiap kali media yang mengalami peretasan selalu saja artikel berita soal obat Covid-19 menghilang.

"Setiap berita yang diretas ada berita yang hilang terkait dengan obat Covid," katanya.

LBH Pers memandang peretasan tersebut jelas ada kaitannya dengan pemberitaan soal obat Covid-19.

"Kesimpulan sementara ini ada kaitannya dengan pemberitaan terkait obat Covid," tuturnya.

Ade mengungkapkan terjadi peningkatan serangan terhadap awak media selama 2020. LBH Pers mencatat peningkatan sebanyak 32 persen dibanding tahun sebelumnya. Hingga total serangan pada 2020 sebanyak 117 kasus.

Dari 117 kasus itu sebagian besar berupa serangan verbal maupun intimidasi, yakni sebanyak 51 kasus. Sementara serangan digital berupa peretasan sebanyak 12 kasus.

Dua Kasus Kriminalisasi Jurnalis

Selanjutnya, LBH Pers juga menemukan 10 jurnalis yang diskriminalisasi. Dua di antaranya sudah mendapatkan vonis penjara.

"Kemudian kriminalisasi ada dua kasus, kriminalisasi ini dua kasus itu divonis oleh pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri Buton dan Pengadilan Negeri Kota Baru," kata Ade.

Ade menganggap pemenjaraan terhadap dua jurnalis tersebut merupakan sebuah preseden buruk bagi dunia pers Tanah Air.

"Dan semuanya itu dipenjara, divonis bersalah. Ini menjadi preseden yang sangat buruk bagi tahun 2020 karena ada dua jurnalis yang divonis pidana," ujar Ade.

Dampaknya, kata Ade bakal mengganggu kerja-kerja jurnalistik jika pers dapat dikriminalisasi. Sementara untuk delapan kasus lainnya masih dalam proses.

"Dari 10 kasus ini semuanya menggunakan Undang-Undang ITE, Pasal 27 Ayat 3 (tentang) pencemaran nama baik dan penghinaan dan Pasal 28 Ayat 2 terkait dengan ujaran kebencian," kata dia.

Peningkatan 117 Kasus Kekerasan Jurnalis

LBH Pers mengungkap jumlah kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2020. Tahun ini disebut menjadi tahun terburuk bagi dunia pers Tanah Air sejak era reformasi.

Pada tahun ini kekerasan terhadap jurnalis meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya. Tak tanggung-tanggung peningkatannya pun disebut cukup signifikan jika dibanding 2019.

"Tahun 2020 jumlah kekerasannya paling banyak pasca reformasi, jadi ya artinya tahun 2020 tahun yang terburuk pasca reformasi bukan hanya di era Jokowi saja. Memang dari 1998 sampai sini yang melebihi angka 100 (kasus) itu tahun 2020," tuturnya.

Ade mengungkap, tahun 2020 LBH Pers mencatat adanya 117 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan hingga 32 persen ketimbang tahun 2019.

"Meningkat drastis dari tahun sebelumnya, yaitu (lebih dari) 30 persen," katanya.

Arena demonstrasi merupakan tempat paling rawan bagi jurnalis untuk mengalami kekerasan. Menurut Ade, dari 117 kasus kekerasan tersebut sebagaimana besar terjadi di dalam demonstrasi.

"Meliput demonstrasi Omnibus Law gitu ya itu menjadi kasus yang terbanyak, bahkan lebih dari 70 kasus itu berasal dari meliput demonstrasi Omnibus Law," ucapnya.

Dijelaskan Ade, alasan jurnalis kerap mendapatkan kekerasan saat meliput dalam demonstrasi lantaran mereka mengabadikan tindak kekerasan yang dilakukan aparat terhadap massa aksi.

Menurut Ade sebenarnya polisi di lapangan tidak menargetkan jurnalis, tetapi karena jurnalis sedang mendokumentasikan sebuah peristiwa kekerasan, maka mereka pun kerap turut menjadi sasaran kekerasan.

"Baik itu menghapus (file), alatnya dirampas, atau bahkan ditangkap itu terjadi. Dan di sebelumnya (2019) gak ada penangkapan, tapi di tahun 2020 ada penangkapan dan saya pikir ini jadi hal yang cukup berbahaya ya," ujar Ade.

Reporter: Yopi MakdoriSumber : Liputan6.com

(mdk/rhm)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Alasan Pemerintah dan DPR Pertahankan 'Pasal Karet' dalam Revisi UU ITE
Alasan Pemerintah dan DPR Pertahankan 'Pasal Karet' dalam Revisi UU ITE

DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU ITE dalam pengambilan keputusan tingkat pertama.

Baca Selengkapnya
Menkominfo soal Warga Takut Dikriminalisasi di Revisi UU ITE: Takut sama Bayangan Sendiri
Menkominfo soal Warga Takut Dikriminalisasi di Revisi UU ITE: Takut sama Bayangan Sendiri

Menkominfo meyakinkan revisi UU jilid II, bukan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang menyampaikan kritik dan pendapat.

Baca Selengkapnya
Henri Subiakto Nilai Penangkapan Palti Hutabarat Keliru, Karena Salah Menerapkan Pasal UU ITE
Henri Subiakto Nilai Penangkapan Palti Hutabarat Keliru, Karena Salah Menerapkan Pasal UU ITE

"Pengkapan Palti Hutabarat memakai pasal tersebut jelas keliru. Saya harus mengoreksi kesalahan polisi ini," kata Henri

Baca Selengkapnya
Menkominfo Budi Arie Akui Hoaks Makin Merajalela Jelang Pemilu
Menkominfo Budi Arie Akui Hoaks Makin Merajalela Jelang Pemilu

Daftar platform ini paling banyak sebar hoaks terlebih jelang pemilu.

Baca Selengkapnya
Ngomongin Bos Sendiri di Medsos Ternyata Dilarang oleh Hukum, Begini Penjelasannya
Ngomongin Bos Sendiri di Medsos Ternyata Dilarang oleh Hukum, Begini Penjelasannya

Ternyata, ngomongin bos lewat media sosial adalah tindakan yang melanggar hukum, begini penjelasannya dari pengacara terkenal.

Baca Selengkapnya