TGIPF: Penggunaan Gas Air Mata Kedaluwarsa saat Tragedi Kanjuruhan Pelanggaran
Merdeka.com - Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menyebutkan penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa oleh polisi merupakan pelanggaran. Penggunaan gas air mata kedaluwarsa itu ditemukan Komnas HAM dan dibenarkan polisi.
"Tentu itu adalah penyimpangan, tentu itu adalah pelanggaran," kata anggota TGIPF Rhenald Kasali di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (10/10), seperti dikutip Antara.
Menurut dia, polisi sekarang ini bukan military police atau bukan polisi yang berbasis militer, melainkan civilian police. Oleh karena itu, penggunaan senjata seharusnya untuk melumpuhkan, bukan mematikan.
-
Apa yang dicurigai dalam pengadaan gas air mata? Dalam laporan yang dilayangkan oleh koalisi sipil, Agus Sunaryanto yang merupakan peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut pengadaan alat pelontar gas air mata tersebut ada mark up alias penggelembungan harga di tahun 2022 dan tahun 2023 hingga mencapai Rp26 miliar.
-
Bagaimana modus dugaan korupsi gas air mata? 'Dugaan persekongkolan tender yang mengarah kepada merk tertentu. Itu satu hal,' ucap Agus juga mendesak agar KPK mengusut dugaan kasus korupsi pada pelontar gas air mata tersebut.
-
Dimana semburan gas terjadi? Beredar di media sosial semburan gas bercampur air di lahan belakang bangunan kontrakan, Kampung Leuwi Kotok, Desa Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/10).
-
Dimana kejadian ini berlangsung? Sebuah video memperlihatkan prajurit TNI yang memberi kejutan di HUT Bhayangkara. Sejumlah TNI tiba-tiba datang ke kantor Polisi Tuban dengan membawa massa yang cukup banyak.
-
Dimana gasing dimainkan? Biasanya, anak-anak Betawi di zaman dulu memainkannya di lahan terbuka dengan tekstur tanah yang padat seperti lapangan, bekas tanah persawahan ataupun halaman rumah.
-
Dimana peristiwa kebakaran terjadi? Peristiwa tersebut terjadi di ibu kota Kerajaan K'anwitznal dekat lokasi pemakaman.
"Jadi, bukan senjata untuk mematikan, melainkan senjata untuk melumpuhkan supaya tidak menimbulkan agresivitas. Yang terjadi adalah justru mematikan. Jadi, ini harus diperbaiki," kata Rhenald Kasali.
Mata Korban Menghitam
Penggunaan gas air mata yang sudah kedaluwarsa merupakan salah satu kecurigaan tim pencari fakta. Itu sudah dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.
Dia mengungkapkan bahwa kecurigaan itu terlihat dari para korban yang matanya mulai menghitam dan memerah.
"Ini sedang dibahas di dalam (tim). Jadi, memang ada korban yang hari itu dia pulang tidak merasakan apa-apa, tetapi besoknya matanya mulai hitam. Setelah itu, matanya menurut dokter perlu waktu sebulan untuk kembali normal. Itu pun kalau bisa normal," kata Rhenald Kasali.
Polri Akui Ada Gas Air Mata Kedaluwarsa yang Dipakai di Stadion Kanjuruhan
Polri membenarkan ada gas air mata kedaluwarsa yang digunakan anggota polisi saat tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu. Gas air mata tersebut diketahui sudah kedaluwarsa sejak 2021.
"Ya ada beberapa yang ditemukan ya (kedaluwarsa). Yang tahun 2021, ada beberapa ya," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo kepada wartawan, Senin (10/10).
Namun, Polri tidak merinci berapa banyak gas air mata kedaluwarsa yang dipakai saat kejadian. Jenderal bintang dua ini menegaskan, tim labfor masih mendalami jumlah gas air mata yang dipakai di Kanjuruhan.
"Saya belum tahu jumlahnya, tapi masih didalami oleh labfor tapi ada beberapa. Ya tahun 2021 (yang kedaluwarsa)," tutupnya.
Temuan Komnas HAM
Sebelumnya, Komnas HAM mendapatkan informasi gas air mata yang dipakai polisi dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang sudah kedaluwarsa. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pihaknya akan mendalami kebenaran informasi tersebut.
"Iya jadi soal yang apa (gas) kedaluwarsa itu informasinya memang kita dapatkan. Tapi memang perlu pendalaman," kata Anam, Senin (10/10).
"Yang penting sebenarnya kalau perkembangan sampai hari ini, sepanjang informasi yang kami dapatkan, Senin hari ini tanggal 10 itu yang harus dilihat dinamika di lapangan," sambungnya.
Dia menegaskan pemicu utama tewasnya ratusan suporter Aremania dalam tragedi Kanjuruhan tersebut adalah gas air mata. Tembakan gas air mata itu membuat para suporter menjadi panik mencari jalan keluar. Sehingga mereka berdesakkan, ada yang terinjak-injak sampai sesak napas akibat gas tersebut.
"Dinamika di lapangan itu pemicu utama memang gas air mata yang menimbulkan kepanikan, sehingga banyak suporter atau Aremania yang turun berebut untuk masuk ke pintu keluar dan berdesak-desakan dengan mata yang sakit, dada yang sesak, susah napas dan lain sebagainya," tegasnya.
Kondisi suporter yang panik itu diperparah dengan pintu keluar Stadion Kanjuruhan sempit. Padahal, menurut Anam, kondisi di lapangan saat ini bisa terkendali apabila tidak ada tembakan gas air mata.
"Sedangkan pintunya juga yang terbuka juga pintu kecil. Sehingga berhimpit-himpitan, kaya begitulah yang sepanjang hari ini yang mengakibatkan kematian. Jadi eskalasi yang harusnya sudah terkendali ya, kalau kita lihat dengan cermat itu kan terkendali sebenarnya terkendali tetapi semakin memanas ketika ada gas air mata. Lah gas air mata ini lah yang penyebab utama adanya kematian bagi sejumlah korban," tutupnya.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Gas air mata adalah senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan kerumunan atau dalam situasi penegakan hukum sebagai alat non-mematikan.
Baca SelengkapnyaPolri harus membuka diri dengan melakukan evaluasi pelaksanaan operasi pengamanan massa.
Baca SelengkapnyaIa juga menegaskan bahwa pengadaan gas air mata dialokasikan secara efisien.
Baca SelengkapnyaTemuan tersebut dilakukan berdasarkan pengumpulan informasi berbasis sumber terbuka.
Baca SelengkapnyaJuru Bicara (Jubir) KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, laporan terkait dugaan korupsi yang mereka terima dapat diproses kurang lebih dua hari.
Baca Selengkapnya"Bila ada laporan/pengaduan yang masuk akan dilakukan verifikasi dan bila sudah lengkap akan ditelaah dan pengumpul info," kata Tessa
Baca SelengkapnyaKapendam mengatakan apabila dalam insiden ini ada unsur dari kelalaian maka seharusnya ada korban jiwa.
Baca SelengkapnyaMenurut Panglima TNI, amunisi itu memiliki masa berlaku maksimal 10 tahun sebelum disposal (dibuang) dan diledakkan.
Baca SelengkapnyaBentrokan antara suporter dan aparat keamanan terjadi, memaksa polisi untuk menggunakan gas air mata guna menghindari eskalasi lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaKPK mengaku sedang menelaah laporan yang dilayangkan koalisi masyarakat sipil termasuk ICW.
Baca SelengkapnyaPenyebab kebakaran tersebut diduga di faktor usia munisi yang telah berusia 10 tahun lebih menjadi lebih berbahaya.
Baca SelengkapnyaKasad Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengatakan, proses disposal terbilang cukup panjang mulai dari pendataan hingga pelaporan.
Baca Selengkapnya