Tinggalkan Papua Tercinta Demi Menggapai Cita
Merdeka.com - Saya berusaha mendapat penilaian tentang kota Malang dari kacamata mahasiswa asal Propinsi Papua. Karena itu, saat berbincang dengan Saidin Patiran (18), saya bertanya tentang kesannya tentang kota bertagline 'Kota Bermartabat' itu.
Pria asal Fakfak, Papua Barat itu pun sejenak berpikir sebelum terlontar kalimat pendek yang mewakili pikirannya. "Orangnya ramah-ramah. Senang (kuliah) di sini," kata Saidin Patiran di Kota Malang, Kamis (22/8).
Saya mendengarkan kisah Saidin yang masuk melalui jalur mandiri di jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang. Ia mengaku baru sebulan menginjakkan kaki di Kota Malang, dan dua minggu tinggal di ma'had (asrama) kampus.
-
Kapan MA Goes to Campus di UIN Jakarta berlangsung? Acara ini sendiri berlangsung di Auditorium Hasan Nasution, Kampus I UIN Jakarta, Rabu (27/09/2023) lalu.
-
Dimana Mutiara Baswedan kuliah? Mutiara merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
-
Di mana Inaya Wahid kuliah? Inaya merupakan alumni salah satu universitas bergengsi di Indonesia, Universitas Indonesia. Ia diketahui pernah menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Budaya kampus ini.
-
Siapa yang kuliah di Bandung? Kika, anak dari Ersa, dan Jema, anak dari Novita, Baik Kika maupun Jema tengah menjalani studi di Bandung, Jawa Barat.
-
Apa yang dilakukan Naura Ayu di hari pertama kuliah? Seperti yang tampak dalam postingan terbaru yang dibagikan oleh Nola di akun Instagramnya, Anda dapat menyaksikan beberapa foto yang menampilkan momen Naura Ayu pada hari pertama memasuki lingkungan kampus.
-
Kenapa Saipul Jamil kuliah? Walaupun kariernya sedang mengalami kesulitan, Saipul Jamil tetap menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikannya.
Sesuai ketentuan kampusnya, memang Saidin sebagai mahasiswa semester awal harus tinggal di asrama. Keseharian harus mengikuti pola kegiatan yang sudah terjadwal.
"Suasana Islaminya terasa, itu saja," sambungnya tentang alasan memilih UIN Malang.
Gaya Saidin yang khas menuturkan tentang langkahnya meninggalkan kampung halaman guna menuntut ilmu. Ia mengaku tidak terancam dengan ramai-ramai isu pemulangan mahasiswa asal Papua yang jadi pembicaraan.
"Positif thinking saja, setahu saya Papua tetap Indonesia. Senang, orangnya ramah-ramah. Semoga yang kemarin itu salah paham saja, khilaf saja," katanya.
Saidin merasa tidak perlu terprovokasi, apalagi mengambil tindakan yang merugikan banyak orang. Pesannya itu, juga disampaikan untuk sesama mahasiswa dan masyarakat luas.
Saya juga mendengar cerita Saidin selama di dalam asrama yang hingga saat ini dirasakan cukup lancar dijalaninya. Ia bisa berbaur dengan mahasiswa lain dari berbagai daerah dan tidak pernah mengalami perlakukan diskriminatif dari siapapun.
Namun terkadang saat bercampur dengan teman sesama asrama banyak yang menggunakan bahasa daerah masing-masing yang membuatnya sedikit kesulitan memahami. Tetapi hal itu segera bisa diatasinya.
"Kalau ngobrol agak sulit, karena kan masing-masing daerah punya bahasa lain, logatnya lain. Sebenarnya tidak terlalu sulit, ketika mereka bicara, saya kasih tahu kalau di Papua itu pakai bahasa Indonesia. Jadi pakai bahasa Indonesia saja," katanya.
"Teman-teman sudah mengerti, paling kalau sudah begitu bicara bahasa Indonesia. Nomor satu bahasa Indonesia," sambungnya tersenyum.
Sementara Nina Awendu, mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (Stisospol) Waskita Darma mengaku sudah sangat dekat dengan teman-teman satu indekos. Ia kuliah dan berbaur dengan para mahasiswa dari berbagai daerah.
©2019 Merdeka.com"Kalau dengan temen sudah membaur, sudah menjadi sahabat, apalagi di kos kami sudah menjadi keluarga," ucapnya.
Nina yang asal Jayapura bercerita, kalau sejak awal ke Kota Malang untuk menuntut ilmu. Karena itu aktivitasnya banyak dilakukan di dalam kampus, sekali saja waktunya untuk jalan-jalan, termasuk berkumpul dalam kegiatan sesama mahasiswa asal daerahnya.
"Kami ke sini untuk kuliah banyak di kampus. Kumpul ya kumpul, sama-sama, banyak tinggal di kos," tegasnya.
Nina sempat menelepon keluarga guna meyakinkan kalau kondisinya aman di Kota Malang usai kejadian yang ramai dalam pemberitaan. Tidak dipungkiri, keluarganya juga khawatir dengan keberadaannya di Kota Malang.
"Kami bilang, kami aman di kos, dapat perlindungan dari gereja dari kampus. Ya sudah. Jadi kami di sini aman. Khawatirnya di sini ada yang membuat susah, jangan keluar, belanja satu kali, takutnya ada yang membuat susah," katanya.
Nina pribadi yang mudah bersosialisasi, dengan kerap berkomunikasi dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Saling tanya saat belanja di kampung yang menurutnya sebagai bentuk perhatian, termasuk terlibat dalam kegiatan kampung.
Tetapi juga diakui Nina kalau pernah diteriaki oleh orang yang tidak dikenalnya. Teriakan itu yang membuatnya tidak nyaman.
"Diteriaki kaya orang asing yang datang. Pernah rasa. Tapi selama kami di tempat kos ndak, kami sudah jadi satu," jelasnya.
Nina mengaku sedih melihat kejadian di Surabaya, dengan teriakan-teriakan bernada rasial yang ditujukan kepada sesama warga negara Indonesia. Seharusnya memang tidak perlu terjadi agar tidak terlukai.
"Cukup bersedih, kalau melihat yang kemarin di Surabaya yang teriaki kami monyet dan lain sebagainya. Karena langsung membuat bapak gubernur kami menangis, tapi ya sudahlah. Kami dari kecil diajari mengasihi, ya kami mengasihi saja," katanya.
"Secara pribadi kami mengasihi mereka, walaupun banyak yang enggak terima dengan kejadian tersebut. Kami di sini untuk kuliah, dari kampus kami cuma pulang gitu saja tidak seperti di sana," katanya.
Mauridz Jimmy Taran enggan bercerita tentang pengalamannya. Tetapi selama 4 tahun tinggal di Kota Malang mengaku dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat.
©2019 Merdeka.com"Pesan buat semua, saling menjaga, silaturahmi, jangan saling mengintimidasi. Biar kita tetap satu dalam bingkai NKRI. Jangan mudah terpancing, jangan mudah terprovokasi tapi dengarkan dari sumber yang jelas jangan ambil keputusan sendiri atau main hakim sendiri," urainya.
Saya sempat juga berbincang dengan Agus Suprojo, Kepala Biro Administrasi dan Kemahasiswaan Universitas Tribuanadewi (Unitri) Malang yang memiliki puluhan siswa asal Papua. Kampusnya berusaha menjadi jembatan antara mahasiswa, lingkungan kampus dan masyarakat sekitar, yang tentunya program itu berlaku bagi keseluruhan mahasiswa.
"Kita memberikan pembinaan khusus, supaya bisa beradaptasi dengan Malang. Perubahan iklim membutuhkan adaptasi, program pembinaan satu semester, berupa pembinaan bakti lingkungan dan bakti kampus," katanya.
Secara otomatis program tersebut mengajak mahasiswa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar lewat kerja bakti, menanam pohon dan sejumlah acara lingkungan.
"Kita sudah biasa berbaur antar suku, agama, ras. Sehingga dalam konteks pelayanan belajar berjalan normal-normal saja. Sekarang dalam suasana libur, heregistrasi, 26 September masuk mahasiswa baru," jelasnya.
Proses belajar di kampus Unitri sendiri tidak terganggu dengan beberapa kejadian di Papua.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pada Rabu (24/4), James mengucapkan ikrar sebagai seorang muslim dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Baca SelengkapnyaKini menjabat sebagai kepala desa, diketahui Sabiq Muhammad rela melepas beasiswa S2nya di China.
Baca SelengkapnyaMohtar dideportasi ke negara asalnya melalui Bandara Internasional Djuanda, Surabaya.
Baca SelengkapnyaPerguruan perguruan tinggi negeri berkelas A harus tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Baca Selengkapnya