Tirto Adhi Soerjo, sang perintis pers pribumi yang terlupakan
Merdeka.com - Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sang pemula. Ki Hajar Dewantara menyebutnya jurnalis berpena tajam. Sementara intelijen Belanda menyebutnya orang paling berbahaya di awal kebangkitan pribumi.
Sayang, selama puluhan tahun jasanya dilupakan bangsanya sendiri. Di buku-buku sejarah, tulisan tentang sosoknya hanya satu atau dua baris. Itu pun sekadar pelengkap, bukan pelaku utama.
Tak banyak yang mengenal nama Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, sang perintis pers Indonesia. Tirto lahir tahun 1880 dengan nama Djokomono. Dia sempat belajar di Sekolah Kedokteran Hindia STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) di Batavia. Hanya empat tahun dan di-drop out karena lebih banyak mengurusi jurnalistik dan menulis di media massa.
-
Surat kabar apa yang didirikan Tirto? TAS pun menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia (1908).
-
Apa nama surat kabar pertama di Jogja? Melalui sebuah unggahan pada 9 Mei 2024, akun Instagram @sejarahjogya menampilkan dua surat kabar yang pertama kali terbit di Jogja. Koran satu bernama 'Mataram Courant' dan satunya lagi bernama 'Bintang Mataram'.
-
Kapan Djamaluddin Adinegoro menerima gelar "Perintis Press Indonesia"? Pada 1974 Adinegoro dianugerahi gelar Perintis Press Indonesia.
-
Siapa yang mendirikan perusahaan pers di Tegal dan Brebes? Bersamaan dengan itu pula, perusahaan pers lahir dari kalangan masyarakat Eropa.
-
Siapa yang mendirikan Indonesische Persbureau? Berdirinya kantor berita Indonesia tak lepas dari sosok RM Soewandi Soerjaningrat atau yang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
-
Bagaimana peran media massa di Tegal-Brebes saat perjuangan kemerdekaan? Pada masa perjuangan kemerdekaan, banyak media pers di kawasan ini yang berperan dalam membakar semangat kemerdekaan.
Tirto adalah orang pribumi pertama yang menerbitkan surat kabar. Bukan sekadar surat kabar, Medan Prijaji yang terbit tahun 1907 secara jelas menyatakan sikap membela mereka yang terjajah.
Tirto juga mungkin yang pertama kali bicara sebuah nation. Sebuah bangsa. Bukan sekadar Jawa, Sumatera, Borneo, Ambon dan lain-lain. Di awal abad 20, Tirto menyebutnya sebagai bangsa yang teprentah. Bangsa besar di Hindia Belanda yang saat ini sedang dijajah.
Dua tahun sebelum Budi Utomo berdiri tahun 1908, Tirto lebih dulu mendirikan Sarikat Prijaji. Organisasi pribumi pertama. Tapi entah kenapa Budi Utomo yang kemudian dituliskan sebagai organisasi pertama sekaligus menjadi tahun kebangkitan nasional? Bukan 1906 dengan Sarikat Prijaji?
Tirto pula yang mendirikan Sarikat Dagang Islam, lalu berubah nama menjadi Sarikat Islam. Bukan Haji Samanhudi. Justru Tirto lah yang melantik Samanhudi untuk memimpin SDI.
Bukan itu saja, Tirto juga seharusnya dicatat sebagai pelopor pendirian perseroan terbatas alias PT milik pribumi dengan NV Medan Prijaji. Dia juga yang bertekad memerangi monopoli para pedagang China.
Tirto juga yang menjadi motor pertama pergerakan wanita. Dia mendirikan majalah Poetri Hindia 1 Juli 1908. Lewat media inilah wanita pribumi bisa menulis ide-ide mereka. Bahkan ibu suri kerajaan Belanda memberikan apresiasi dan penghargaan Poetri Hindia sebagai pelopor media wanita pribumi.
Selain itu Tirto juga menjadi pelopor pemberian bantuan hukum. Dia membela rakyat jelata yang berhadapan dengan hukum kolonial.
Nasib Tirto tak semanis mimpinya untuk 'bangsa yang teprentah' yang kini menjadi Indonesia. Perjuangannya dipatahkan intelijen Belanda yang sistematis menggerogoti nasibnya.
Tirto meninggal dalam kesendirian, dalam sepi dan dalam kegagalan. Terkalahkan tembok tinggi bernama kolonialisme dan sistemnya.
Memperingati hari pers, merdeka.com mencoba menghadirkan kembali sosok luar biasa ini untuk dikenang dan diteladani. Termasuk menjawab benarkah peran Tirto dikecilkan Orde Baru karena dicap komunis.
Pilihan penulisan tokoh pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo dalam peringatan hari pers tahun ini bukan berarti mengecilkan peran tokoh-tokoh yang lainnya. Serial ulasan Tirto Adhi Soerjo kali ini, tidak juga diniatkan untuk mengkerdilkan peran media-media yang lebih dulu ada sebelum Tirto Adhi Soerjo dan media-media yang digawanginya. Sama sekali tidak.
Bagi merdeka.com, tinggal menunggu waktu saja untuk mengulas tokoh-tokoh pers yang lain dan media pers yang lain tentu memberikan kontribusi dalam menyemai semangat kebangsaan dan media konsisten menjadi corong suara rakyat pada zamannya.
Tiap tokoh pers memiliki peran dan memiliki kapasistasnya masing-masing dalam mendidik pembaca dengan pemberitaannya. Baik itu yang berada di pulau Sumatra, Sulawesi, Jawa, atau pulau-pulau yang lainnya, bahkan media yang terbit di luar Nusantara, namun tetap membangun semangat kebangsaan memalui bahasa melayu yang kini menjadi bahasa Indonesia.
Maka haturkan kami mengantarkan sosok Tirto Adhi Soerjo kepada pembaca sekalian. (mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Putra Sumatera Utara ini dulunya sempat berkarier di dunia jurnalistik serta memimpin beberapa media pers semenjak masa kolonial hingga kemerdekaan RI.
Baca SelengkapnyaSurat kabar harian di Padang yang diklaim sebagai surat kabar pertama yang dicetak oleh orang Pribumi.
Baca SelengkapnyaSurat kabar Benih Merdeka merupakan media yang ada di Bumi Sumatra yang secara terang-terangan menanamkan cita-cira kemerdekaan Indonesia
Baca SelengkapnyaBerkat kontribusinya di dunia pers, nama Dja Endar Moeda selalu dikenang dan menjadi sosok penting dalam profesi jurnalistik Indonesia.
Baca SelengkapnyaTokoh penting yang pertama kali menjabat sebagai seorang Gubernur Jawa juga dinobatkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Baca SelengkapnyaSelain penyalur informasi terkini, kantor ini juga menjadi sarana penghubung antara pers Belanda dan pers yang ada di Hindia Belanda.
Baca SelengkapnyaWalaupun masing-masing punya cara yang berbeda, mereka punya peran besar bagi perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Baca SelengkapnyaSK Trimurti adalah salah satu tokoh pergerakan bangsa. Sejak muda, ia konsisten dalam menyuarakan perlawanan terhadap penjajah Belanda maupun Jepang.
Baca SelengkapnyaLahir di Tarutung, Tapanuli, Sumatra Utara pada 26 Agustus 1914, Albert sudah menekuni dunia jurnalistik sejak usianya menginjak remaja.
Baca SelengkapnyaArtikel dan tulisan yang dimuat di harian Waspada menjadi senjata utama untuk melawan Belanda.
Baca SelengkapnyaTradisi surat kabar masuk ke Yogyakarta bersamaan dengan mulai stabilnya kondisi perpolitikan saat itu.
Baca Selengkapnya