TKI-ku sayang, TKI-ku malang
Merdeka.com - Mereka terpaksa mengadu nasib di negeri orang dan harus jauh dari keluarga tanpa tahu kapan akan berjumpa lagi. Bahkan, momen bersama keluarga sebelum bertolak dari Tanah Air bisa jadi pertemuan terakhir.
Jangankan mendapat upah, hidup tenang tanpa siksaan nampaknya jadi mimpi di siang bolong. Sehari-hari, tak sedikit dari mereka terbiasa menahan lapar lantaran tak kunjung diberi makan.
Ya, mereka adalah pahlawan devisa negara, Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Wajar saja disebut pahlawan sebab berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perindustrian tahun 2017, TKI adalah penyumbang devisa terbesar ke 6 yakni sebesar Rp 140 triliun.
-
Kenapa orang rindu keluarga saat merantau? Ketika berpisah, rasa rindu ini tak bisa lagi aku tahan. Ibu dan ayahku serta semua anggota keluarga sangat berharga di dalam hidupku. Engkau akan selalu ada di dalam hatiku.
-
Apa arti rindu keluarga bagi para perantau? Merantau itu bukan hal remeh. Jauh dari orang tua dan keluarga adalah hal paling sulit untuk dijalani.
-
Mengapa mahasiswa KKN sedih berpisah? Kita disambut oleh warga dengan sangat hangat dan dilepas dengan kesedihan yang sampai sekarang masih terasa. Begitu tulusnya warga dan juga mama papa piara ikut mengantar kami sampai ke dermaga dan pelabuhan.
-
Dimana keluarga ini tinggal? Rumah yang ia tempati merupakan warisan orang tuanya. Jalan berliku harus dilalui untuk sampai di rumah Kasimin. Perjalanan kemudian harus dilanjutkan dengan berjalan kaki menuruni tebing.
-
Kenapa anak terakhir takut ketemu anak terakhir? Mereka merasa akan muncul tantangan yang muncul ketika ingin mencapai keharmonisan rumah tangga.Ini mungkin tidak lepas dari stigma yang berkembang di masyarakat terkait anak terakhir, atau anak bungsu. Manja, malas, dan tidak mau mengalah adalah sifat yang kerap kali diidentikkan dengan anak terakhir. Meski, tentu saja, tidak semua anak bungsu memiliki sifat seperti itu.
-
Siapa yang kehilangan keluarganya dalam kecelakaan maut? Baru-baru ini, media sosial dikejutkan dengan kabar tragis dari seorang remaja berusia 19 tahun, Abdur Rahman Amir Ruddin, yang harus kehilangan kedua orang tua dan keempat saudaranya akibat kecelakaan maut di Segamat, Malaysia.
Meski menyandang gelar pahlawan, nama mereka tak pernah disebut dalam buku teks sejarah. Tak hanya nama yang absen dicantumkan, jasa merekapun tak kunjung dikenang.
Misalnya saja Adelina (21). Perempuan asal NTT ini harus meregang nyawa pada 11 Februari 2018 akibat perlakuan tak manusiawi yang diberikan majikannya.
Lewat foto yang beredar, kondisi terakhir Adelina sungguh menyayat hati. Adelina nampak duduk di lantai yang kemudian diketahui sebagai kandang anjing. Belakangan, ia dikabarkan tidur bersama anjing majikannya selama sebulan terakhir.
Tubuhnya yang dibalut kemeja lusuh nampak kurus. Lebam di seluruh wajah Adelina juga tak mampu lagi disembunyikan.
Nampaknya, penyematan gelar pahlawan kepada TKI menjadi satu-satunya langkah yang bisa ditempuh sebagai bentuk apreasiasi pemerintah. Tak ada perlindungan hukum dan pengawasan yang diberikan untuk para pekerja.
Kabar terbaru datang dari Zaini Misrin, yang menambah daftar panjang TKI yang dieksekusi mati pada Minggu, 18 Maret 2018 oleh pemerintah Arab Saudi. Pria asal Madura ini divonis hukuman mati atas tuduhan membunuh majikannya yang bernama Abdullah Bin Umar Muhammad Al Sindy.
Bantahan Zaini mengenai tuduhan itu tidak dihiraukan oleh otoritas Saudi. Pengadilan Mekkah tetap menjatuhkan hukuman mati untuk Zaini pada tahun 2008.
Padahal, ada peraturan pemberitahuan kepada kerabat yang wajib dilakukan pemerintah Saudi beberapa hari sebelum waktu eksekusi tiba. Namun, negara yang paling banyak memberikan vonis hukuman mati ini justru menyampaikan kabar mengenai Zaini setelah hembusan napas terakhirnya.
Menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care, ada sejumlah hal fatal yang menyebabkan eksekusi mati terhadap Zaini bisa lolos terjadi begitu saja. Salah satu penyebab utama adalah, keterlambatan akses kekonsuleran, pendampingan, serta bantuan hukum terhadap Zaini.
Selain minimnya pendampingan terhadap Zaini karena sulitnya akses yang diberikan, pemerintah Saudi juga diduga tidak netral selama proses hukum berjalan. Sebab, salah satu dari tiga penerjemah enggan menandatangani dokumen karena dianggap ada perbedaan terjemahan yang bisa mengakibatkan pada kekeliruan.
Zaini bukanlah kasus pertama TKI yang dieksekusi tanpa pemberitahuan. Pada 2015 sebelumnya, Siti Zaenab harus menyerahkan nyawanya di bawah otoritas Saudi akibat tuduhan membunuh majikannya.
Siti Zaenab merupakan salah satu kasus eksekusi mati TKI yang menjadi sorotan lantaran melibatkan upaya diplomasi tiga pemerintahan yakni Abdurrahman Wahid, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Meski menerima pendampingan hukum yang lebih baik dari Zaini, nyawa Siti Zaenab tetap tak bisa terselamatkan dari vonis hukuman mati.
Perlindungan terhadap TKI
Pemerintah seperti buntu ketika upaya diplomasi tak membuahkan hasil. Memang perlindungan terhadap TKI tak bisa dilakukan secara mendadak. Mereka sudah harus dilindungi sejak sebelum keberangkatan. Langkah-langkah yang bisa ditempuh adalah seperti pendataan lokasi bekerja, daftar kontak dengan pengguna jasa di luar negeri, dan kabar rutin setiap TKI yang harus disampaikan kepada keluarga.
Hal tersebut tentu saja masih jauh dalam jangkauan. Sebab, sistem dan proses pemberangkatan TKI belum jelas alias abu-abu. Banyak cara yang bisa ditempuh TKI agar bisa berangkat ke luar negeri untuk bekerja misalnya melalui pemerintah atau jasa penyalur yang kerap kali korup. Agen penyalur TKI tak ragu mengubah data pendaftar yang tidak sesuai supaya memenuhi syarat keberangkatan seperti memalsukan umur.
Meskipun penyalur jasa TKI tersebut legal atau ada di dalam daftar pemerintah, aksi ilegal tetap tak bisa dihindari. Belum lagi apabila calon TKI memilih berangkat dengan cara ilegal.
Daftar eksekusi mati TKI akan terus bertambah, menjadi catatan buruk pemerintah yang tak terselesaikan selama perangkat hukum guna melindungi para pekerja di luar negeri belum terealisasi. Apalagi Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah berulang kali menyayangkan UU nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang baru menitikberatkan pada kata 'penempatan' dengan hanya menguntungkan pihak swasta.
Perlindungan terhadap TKI masih menjadi angan-angan belaka.
Berikut video terkait:
Reporter: Anendya Niervana
Sumber: Liputan6.com
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Momen mengharukan dua saudara anggota TNI terpisah 5 tahun dan bertemu di Papua saat penugasan. Simak berikut ini.
Baca SelengkapnyaAnak Papua menangis histeris menghadang mobil TNI yang hendak pulang kampung. Mereka tak ingin ditinggalkan.
Baca SelengkapnyaPerasaan sudah campur aduk, kedua orang tuanya pun memeluk pria ini sambil sama-sama menangis.
Baca SelengkapnyaKata-kata kangen kampung halaman bisa mewakili rasa rindu akan rumah dan keluarga yang ada jauh di sana.
Baca SelengkapnyaLama tak ketemu sang ayah yang bertugas di luar negeri, seorang bayi menangis lantaran tak mengenali ayahnya yang merupakan seorang prajurit TNI.
Baca SelengkapnyaDi balik pertemuan, selalu ada perpisahan. Hal tersebut juga terjadi pada sejumlah prajurit TNI dengan seorang ibu di Papua berikut ini.
Baca SelengkapnyaMomen haru anggota TNI yang lama bertugas jauh dari keluarga yang akhirnya pulang. Sang anak tampak tak mengenali bahkan menangis saat bertemu ayahnya.
Baca SelengkapnyaDi tengah pertemuan, terdapat pesan menyentuh hati.
Baca SelengkapnyaHarus berpisah dari anaknya yang masih kecil, pria ini mengaku hal inilah yang menjadi patah hati terbesar seorang ayah.
Baca SelengkapnyaAnak majikannya bahkan tampak menangis tersedu saat ia akan pulang.
Baca Selengkapnya