Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law, Organisasi Profesi Kirim Surat ke Jokowi

Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law, Organisasi Profesi Kirim Surat ke Jokowi Tenaga Kesehatan ©2022 Liputan6.com/Herman Zakharia

Merdeka.com - Lima organisasi profesi kesehatan menolak RUU Kesehatan Omnibus Law. Mereka meminta Presiden Joko Widodo mempertimbangkan pembahasan RUU tersebut.

"Mohon kepada Bapak Presiden untuk mempertimbangkan pembahasan RUU ini antara pemerintah dengan DPR RI," demikian bunyi surat penolakan lima organisasi profesi kesehatan terhadap RUU Kesehatan Omnibus Law yang dikutip Senin (28/11).

Lima organisasi tersebut ialah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Penolakan ini turut didukung Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Surat penolakan terhadapRUU Kesehatan Omnibus Law ini dikirim ke Presiden Jokowi pada 24 November 2022. Ada empat poin yang tercantum dalam surat tersebut.

Pertama, pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law dinilai sangat tidak transparan dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, tidak ada naskah akademik yang dibicarakan bersama pemangku kepentingan dan masyarakat untuk melihat dasar filosofi, sosiologis, dan yuridis yang bertujuan untuk kebaikan bangsa, sehingga dianggap sarat kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Kedua, RUU Kesehatan Omnibus Law sarat kepentingan atas liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan yang akan mengorbankan hak kesehatan rakyat selaku konsumen kesehatan.

Organisasi profesi kesehatan juga menilai substansi isi rancangan undang-undang berpotensi mengancam perlindungan dan keselamatan masyarakat atas pelayanan yang bermutu, profesional, dan beretika.

Ketiga, adanya gerakan pelemahan terhadap peran profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang-undang tersendiri. Terdapat juga upaya-upaya untuk menghilangkan peran-peran organisasi profesi yang selama ini telah berbakti bagi negara dalam menjaga mutu dan profesionalisme anggota profesi yang semata-mata demi keselamatan dan kepentingan pasien.

Keempat, terdapat upaya-upaya mengabaikan hal-hal yang telah mendapatkan putusan dari Mahkamah Konstitusi seperti Putusan Nomor 14/PPU-XII/2014, Putusan Nomor 82/PPU-XII/2015, dan Putusan Nomor 10/PPU-XV/2017 dan Nomor 80/PPU-XVI/2018.

"Hal ini tentu akan menjadi permasalahan konstitusionalitas di masa depan."

IDI Protes

Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyatakan tidak setuju RUU Kesehatan Omnibus Law masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2023. Menurut IDI, yang dibutuhkan saat ini UU Sistem Kesehatan Nasional.

"Intinya, IDI akan membantu negara untuk menyusun sistem kesehatan nasional yang kompleks, yang komprehensif, tapi bukan dalam bentuk Omnibus Law dengan mencabut UU Praktik Kedokteran," kata Ketua PB IDI Terpilih, Slamet Budiarto saat rapat dengan Baleg DPR, Senin (3/10).

Slamet mengatakan, bila ingin memperbaiki sistem kesehatan nasional, DPR bisa merevisi peraturan pelaksana dari UU Praktik Kedokteran.

"Semoga Pak Baleg berkenan pada pendapat kami dan saya yakin perjuangan kami selama dua tahun kepada negara ini dalam pandemi dihargai," ucapnya.

Respons DPR

Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas langsung menanggapi pernyataan IDI. Menurut Supratman, RUU Kesehatan Omnibus Law seharusnya tidak perlu dipersoalkan.

"Soal RUU sektoran ataupun menggunakan metode Omnibus Law itu hanya soal metode saja. Jangan kita perdebatkan soal Omnibus Law atau bukan Omnibus Law. Yang kita butuhkan adalah substansinya, itu yang paling penting," ujarnya.

Supratman mengungkap alasan DPR menggunakan metode Omnibus Law dalam RUU Kesehatan. Menurutnya, karena Omnibus Law sedang menjadi tren di lingkungan masyarakat. Selain itu, regulasi kesehatan saat ini terlampau banyak.

"Dan menurut kami di Badan Legislasi, karena kita over regulated, saya sendiri saja sudah bingung dengan perubahan pertama, perubahan kedua, perubahan ketiga. Bahkan ada satu UU itu perubahan keempat. Jadi membaca saja itu terpisah-pisah. Nah yang jadi kebutuhan kita menyangkut substansi," jelasnya.

(mdk/tin)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP