Trah Bonokeling berjalan kaki agar bersatu dengan alam
Merdeka.com - Menuju tempat-tempat yang dianggap suci bagi anak cucu bonokeling, dijalani dengan laku spiritual tak biasa yakni berjalan kaki. Dari kediaman masing-masing, mereka yang tinggal di Kabupaten Cilacap atau Banyumas bersama menempuh perjalanan puluhan kilometer.
Mendaki kendran (tempat peristirahatan Ki Bonokeling) di bukit kecil Desa Adiraja Cilacap saat mauludan, atau berziarah ke makam Ki Bonokeling di Desa Pekuncen Banyumas saat mendekati bulan puasa, mereka berombongan berjalan kaki berpeluh keringat sembari panjatkan doa.
Kesepuhan (ketua adat) anak putu (cucu) Bonokeling, Ki Sumitro mengatakan berjalan kaki memang bagian ibadah dari komunitasnya. Berjalan kaki ia sebut sebagai laku dari manunggaling alam atau bersatunya manusia dengan alam. Selain itu dalam kegiatan ini, anak putu juga berikhtiar memanjatkan doa tentang harapan-harapan yang ingin dikabulkan.
-
Apa yang dilakukan BCL saat berziarah? BCL tampak cantik kenakan long dress penuh motif hitam putih dipadu sehelai hijab warna pink keunguan yang soft. Sepasang kacamata hitam tak lupa membingkai matanya.
-
Di mana makam kuno anak-anak ditemukan? Arkeolog menemukan 54 makam bocah di salah satu lahan bekas tambang di distrik Kulp, Diyabarkir, Turki tenggara.
-
Siapa yang pengen ke makam ayahnya? Inilah yang dilakukan oleh pemilik akun TikTok @asep.ngangak yang membayar janji kepada ibu dan adiknya. Asep sempat berjanji akan membawa orang tercintanya itu mengunjungi makam ayahnya yang meninggal sejak tahun 2018.
-
Kenapa makam dikunjungi saat Jumat Kliwon? 'Makam ini biasanya dikunjungi orang saat malam Jumat Kliwon. Mereka ‘nyekar’ di sini,' kata salah seorang warga.
-
Mengapa ziarah kubur dianjurkan? Rasulullah tidak hanya memerintahkan ziarah kubur, tapi nabi juga menjelaskan manfaat-manfaat dalam melaksanakan ziarah kubur. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut:
-
Bagaimana cara rombongan jenazah masuk makam? Rombongan penggotong keranda diharuskan meyakinkan juru kunci yang membawa golok agar diizinkan masuk makam.
"Berjalan kaki memang bagian laku ibadah kita. Manunggaling alam, bersatu dengan alam sebagai sesama ciptaan Tuhan," kata Sumitro kepada merdeka.com, Rabu (17/5).
Dalam ritual perlon (keperluan) unggahan selamatan menyambut bulan puasa pada Kamis (18/5), seribu lebih anak putu Bonokeling mengikuti laku berjalan kaki sejauh 40 km dari Adiraja, Kalikudi, Kawunganten, Kroya ke Pekuncen, Kabupaten Banyumas. dalam ritual itu mereka mesti melewati jalur yang tak mudah. Di bawah terik matahari, mereka mesti naik turun perbukitan dengan kondisi jalan yang beberapa diantaranya berkerikil.
Salah satu anak putu dari Adipala, Rizki Dewanti (15) mengaku sudah dua kali mengikuti ritual ini. Dia berdoa agar menjadi anak yang lebih baik.
"Unggahan ini dua kalinya yang saya ikuti. Saya berharap bisa jadi anak yang lebih baik lagi," kata Rizki saat ditemui merdeka.com di bukit perbatasan Cilacap-Banyumas di daerah Pekuncen, Kamis (18/5).
Dalam buku Islam Kejawen, Sistem Keyakinan dan ritual anak cucuk Ki Bonokeling (2008) yang ditulis Suwito NS dkk, anak putu Bonokeling merupakan komunitas Islam Kejawen. Perkembangan komunitas ini bermula dari tokoh spiritual bernama Ki Bonokeling yang membuka hutan dan mengembangkan pertanian di Pekuncen yang berarti suci. Anak cucu Ki Bonokeling sendiri lantas menyebar ke berbagai wilayah baik di cilacap maupun Banyumas.
Terkait pandangan sebagai Islam Kejawen, Sumitro sendiri menegaskan bahwa komunitasnya lebih nyaman dipandang sebagai Islam saja tanpa embel-embel lain. Ia mengakui dari beberapa tata cara ibadah memang ada beberapa hal yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya.
"Ada beberapa hal yang tidak ilok (tabu) untuk dibicarakan. Kami lebih nyaman disebut Islam saja," kata Sumitro yang merupakan ketua adat anak putu Bonokeling generasi ke-14. (mdk/cob)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tercatat ada 43 Bhiksu Thudong yang hadir. Mereka berasal dari sejumlah negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Korea Selatan.
Baca SelengkapnyaRitual adat Kebo-keboan Alas Malang yang digelar masyarakat Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Banyuwangi, Minggu (30/7), berlangsung meriah.
Baca SelengkapnyaSuasana guyub rukun terasa saat masyarakat Bonokeling merayakan perlon besar.
Baca SelengkapnyaAda alasan mendasar ritual yang disebut Thudong itu diberangkatkan dari TMII, Jakarta.
Baca SelengkapnyaTradisi Puter Kayun bukan hanya warisan budaya, tetapi juga menjadi daya tarik wisatawan.
Baca SelengkapnyaAcara basuh kaki diadakan Perkumpulan Boen Hian Tong di Gedung Rasa Dharma, Jalan Gang Pinggir, Semarang, Kamis (8/2).
Baca SelengkapnyaPada hari raya Lebaran, mereka tidak melaksanakan salat Idulfitri. Pelaksanaan salat mereka ganti dengan membersihkan makam leluhur.
Baca SelengkapnyaMubeng Beteng biasanya dilakukan oleh abdi dalem maupun masyarakat Yogyakarta dengan berjalan kaki tanpa alas dan tidak boleh berbicara.
Baca SelengkapnyaPara Bhikkhu Thudong melepas lentera saat prosesi Walking Meditation di Taman Mini Indonesia Indah.
Baca SelengkapnyaTradisi ini digelar setiap perayaan Hari Raya Karo yang jatuh pada tanggal 15 bulan Karo dalam kalender Saka.
Baca SelengkapnyaSeorang pria tua berusia 80 tahun sukses mencuri perhatian. Awalnya, kakek tua itu tengah berusaha menyeberang jalan raya.
Baca Selengkapnya