Wakil Ketua Komisi IX Nilai BPOM Persulit Proses Legalitas Vaksin Nusantara
Merdeka.com - Wakil Ketua Komisi IX DPR, Emanuel Melkiades Laka Lena menduga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempersulit adanya vaksin nusantara di Indonesia. Hal tersebut sudah dirasakan Melki sejak kunjungan pertamanya ke RSUP Dr. Kariadi, pada saat itu terdapat para ahli dan perwakilan dari BPOM untuk melihat progres dari vaksin tersebut.
"Nah setelah Karyadi sudah mendapatkan dari peneliti. Memang kesan saya antara para peneliti dan BPOM hubungannya tidak harmonis komunikasinya," katanya dalam diskusi secara virtual, Sabtu (17/4).
Dia mengungkapkan, para peneliti vaksin telah menyampaikan informasi data yang diminta BPOM. Tetapi BPOM beranggapan data tersebut kurang dan harus dilengkapi lagi.
-
Bagaimana cara meningkatkan ketahanan kesehatan melalui vaksin? Menkes Budi juga menambahkan, untuk mendukung ketahanan kesehatan, diperlukan penelitian yang berkelanjutan dan mengikuti perkembangan teknologi. Pemerintah melalui berbagai program terus mendorong pengembangan vaksin berbasis teknologi terkini.
-
Siapa yang terlibat dalam produksi vaksin dalam negeri? Salah satu proyek unggulannya adalah pengembangan Vaksin Merah Putih atau INAVAC yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga (Unair).
-
Kenapa vaksin dalam negeri penting? Hal ini disampaikannya saat meresmikan fasilitas produksi vaksin PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia di Kabupaten Bogor, pada Rabu (11/9). Menkes Budi menekankan bahwa pengalaman sukses dalam mengembangkan Vaksin Merah Putih menunjukkan betapa krusialnya memiliki berbagai jenis vaksin untuk memastikan keamanan kesehatan masyarakat.
-
Apa tujuan produksi vaksin dalam negeri? Kemandirian dalam produksi vaksin merupakan salah satu kebijakan utama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam meningkatkan ketahanan kesehatan nasional.
-
Bagaimana vaksin melindungi anak? Pemberian vaksinasi ini merupakan langkah penting untuk mencegah munculnya sejumlah masalah kesehatan.
-
Kapan Bio Farma mulai meneliti vaksin? Pada 1902 lembaga tersebut mulai meneliti berbagai vaksin yang diperuntukkan bagi kesehatan masyarakat.
"Karena menurut peneliti sudah menyampaikan informasi data yang diminta dan menurut bpom belum sesuai yang diharapkan dan belum sesuai yang direkomendasikan, saat itu juga kami meminta agar data yang diminta BPOM, peneliti untuk miliki segera disahkan kami bersedia menyaksikan yang bisa diserahkan langsung," ujarnya.
Dari hasil pertemuan pertama tersebut, Melki pun mengundang Terawan Agus Putranto hingga BPOM. Dari rapat tersebut terlihat BPOM belum bisa melanjutkan tahap vaksin tersebut sebab masih terdapat hal-hal yang perlu dilengkapi. Mulai dari uji praklinik, peneliti hingga keterlibatan orang asing dalam pembuatan vaksin tersebut.
"Praklinik belum dilakukan, dijawab para peneliti kalau itu dibuat oleh orang Amerika, datanya ada sudah diberikan, katanya ada orang asing yang melakukan proses ini dan seterusnya, yang melakukan ini cuma orang asing, orang Indonesianya yang ikut sedikit," bebernya.
"Ini kan menghina bangsa sebenarnya, emang para peneliti ini orang-orang bego apa," tutup Melki.
Kritik Penyataan Kepala BPOM
Melki juga mengkritik pernyataan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito yang tak mengizinkan uji klinis tahap II vaksin Nusantara. Dia menilai Penny telah membohongi publik dan peneliti dengan pernyataannya tersebut.
"Ketika Bu Penny sebagai Kepala Badan POM menjelaskan kepada publik kan mendramatisasi seolah-olah ini (vaksin Nusantara) berbahaya, dengan 71 persen dia gambarkan itu beresiko dan sebagainya. Kan itu sudah kita bahas di DPR RI dan tidak ada masalah," ujarnya.
Dia membeberkan mengacu pada hasil rapat bersama BPOM diminta untuk segera mengeluarkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II vaksin Nusantara selambat-lambatnya pada 17 Maret 2021. Hal tersebut yang dinilai bahwa Penny berbohong.
"Masuk kategori pembohongan publik kepala BPOM membohongi publik terkait data dan lapangan hasil penelitian dengan membelokan ini bikin kisruh bukan dpr tapi BPOM," bebernya.
Sebab itu, setelah Penny mengatakan hal tersebut dirinya langsung berkomunikasi dengan para peneliti. Dia mengakui para peneliti sedih dengan kabar bahwa BPOM belum bisa mengizinkan vaksin tersebut ke tahap II.
"Mereka (peneliti) bilang gini, 'kok bisa ya Kepala Badan POM itu menipu publik ya, data yang kami berikan A dibilang menjadi B', gitu loh dan membuat publik menjadi khawatir dengan vaksin Nusantara, ini bisa masuk kategori pembohongan publik," jelasnya.
Sebelumnya diketahui Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito mengungkapkan data studi klinik fase satu vaksin Covid-19 Nusantara. Dia menyebut, 20 dari 28 subjek penelitian vaksin Nusantara mengalami kejadian tidak diinginkan.
"Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami kejadian yang tidak diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (14/4).
Penny mengatakan, subjek uji klinik fase satu vaksin Nusantara yang mendapatkan kadar adjuvant 500 mcg mengalami kejadian tidak diinginkan lebih banyak. Sementara subjek dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant lebih sedikit mengalami kejadian tidak diinginkan.
Kejadian tidak diinginkan yang dimaksud yakni nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Kemudian penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
"Terdapat kejadian yang tidak diinginkan grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol," jelasnya.
Penny menyebut, kejadian yang tidak diinginkan grade 3 merupakan salah satu kriteria penghentian pelaksanaan uji klinik vaksin Nusantara seperti tercantum pada protokol uji klinik. Namun, berdasarkan inspeksi BPOM peneliti tidak menghentikan pelaksanaan uji klinik vaksin Nusantara.
Dia menambahkan, masih data studi klinik fase satu vaksin Covid-19 Nusantara, terdapat 3 dari 28 subjek atau sekitar 10,71 persen mengalami peningkatan titer antibodi lebih dari 4 kali setelah 4 minggu penyuntikan. Namun, 8 dari 28 subjek atau setara 28,57 persen mengalami penurunan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan.
"3 Subjek yang mengalami peningkatan titer antibodi lebih dari 4 kali tersebut yaitu 2 subjek terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 0.33 mcg dan adjuvant 500 mcg serta 1 subjek terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 1.0 mcg dan adjuvant 500 mcg. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kadar titer antibodi dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi adjuvant, bukan karena peningkatan kadar antigen," tandasnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Irma pun meminta BPOM bekerjasama dengan Badan Karantina untuk menyelidiki peredaran anggur muscat.
Baca SelengkapnyaProduksi vaksin dalam negeri dianggap akan mampu mendorong ketahanan kesehatan nasional.
Baca SelengkapnyaKemenkes dianggap tidak menepati janjinya dalam memastikan terciptanya keterlibatan publik dan legislatif secara menyeluruh dalam penyusunan aturan ini.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara mengatakan, kasus DBD saat ini naik lebih tinggi dibandingkan tahun 2023.
Baca SelengkapnyaMenkes angkat bicara mengenai efek samping vaksin Covid-19 AstraZeneca
Baca SelengkapnyaKomisi IX DPR menggelar rapat dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersama Mendikbud Nadiem Makarim di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (3/6).
Baca SelengkapnyaKomnas KIPI sebelumnya mengatakan tidak ada kejadian sindrom TTS setelah pemakaian vaksin Covid-19 AstraZeneca.
Baca SelengkapnyaTemuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Mamuju ditemukan bakteri E-Coli dari sampel PMT tersebut.
Baca SelengkapnyaPelatihan yang diberikan oleh Biofarma maupun Unpad di masa mendatang para peniliti tersebut bisa mempunyai pabrik vaksin di negara mereka masing-masing.
Baca SelengkapnyaAturan ini telah luput dalam mempertimbangkan aspek tenaga kerja dan cukai yang menyertai produk tembakau dan rokok elektronik.
Baca Selengkapnyaenko Polhukam Hadi mengatakan menurut analisa BSSN, ada sebagian data yang bocor, tidak sesuai dengan data asli
Baca SelengkapnyaDari 45,64 persen tersebut, sebanyak 4,17 persen atau 190 puskesmas di Indonesia tak memiliki dokter.
Baca Selengkapnya