Waspada Hoaks Jadi Alat Propaganda Pecah Belah Keutuhan Bangsa
Merdeka.com - Anggota DPD, Misharti, menyebutkan, hoaks dan propaganda yang menyebar di tengah masyarakat mengancam memecah belah bangsa.
Dia mengatakan, beberapa hal yang tersebar melalui internet saat ini mengancam dan menyerang karakter serta persatuan bangsa, di antaranya adalah propaganda asing, intoleransi dan radikalisme.
"Ada juga weaponization of social media, ‘tempur politik di media sosial'. Hoaks menjadi alat propaganda yang dimanfaatkan banyak pihak, menjadi permainan politik di berbagai negara, termasuk di Indonesia," ujar Misharti, dikutip dari Antara, Kamis (17/12).
-
Apa dampak dari ujaran kebencian di media sosial? Media sosial menjadi salah satu aspek yang ditekankan, karena berpotensi disalahgunakan lewat ujaran kebencian.
-
Bagaimana media sosial bisa berdampak negatif? Remaja yang menghabiskan waktu berlebihan di media sosial sering kali mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu aktif di platform tersebut.
-
Siapa yang menyebarkan informasi hoaks itu? Yayuk memastikan akun Instagram bernama BP2MI dengan centang hijau yang menyebarkan informasi tersebut bukan akun resmi milik BP2MI.
-
Siapa yang menyebarkan hoaks ini? 'Berita yang menyebar itu adalah hoaks yang sengaja dihembuskan oleh OPM dan simpatisannya. Justru saat ini aparat TNI dari Yonif 527 membantu melaksanakan pengamanan RSUD Madi Paniai karena adanya pengaduan dari masyarakat bahwa gerombolan OPM akan membakar RSUD tersebut,' katanya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/5).
-
Siapa yang dituduh menyebarkan video ancaman tersebut? Para peneliti dari Pusat Analisis Ancaman Microsoft menyebut video itu berasal dari kelompok yang biasa menyebarkan disinformasi asal Rusia.
-
Siapa yang bilang media sosial berbahaya bagi anak? Seorang Ahli Bedah Umum asal Amerika Serikat (AS) Vivek Murphy mengatakan bahwa media sosial menghadirkan risiko besar bagi kesehatan mental remaja.
Dia memahami perkembangan dunia teknologi informasi yang sangat pesat memudahkan orang mendapat informasi dan menambah ilmu. Namun pada sisi lain, sering pula disalahgunakan segelintir orang untuk mencapai tujuan.
Kelompok kecil ini memanfaatkan kebiasaan generasi muda Indonesia yang amat bergantung pada ponsel pintar dan koneksi internet.
Sebagai kebutuhan primer, para digital native itu menggunakan internet sebagai medium eksistensi diri seraya menambah pengetahuan akan berbagai isu yang sedang berkembang, termasuk isu keadilan dan sosial politik.
Menurut dia, situasi ini membuka peluang untuk menyusupkan nilai-nilai yang dapat memprovokasi dan memecah belah sesama anak bangsa melalui konten-konten hoaks dan ujaran kebencian.
Secara tidak sadar, generasi muda Indonesia sebagai kelompok pengguna aktif media sosial pun ikut terpengaruh.
Teknologi Harusnya Beri Manfaat
Rata-rata anak muda terkoneksi dengan internet minimal empat jam sehari. Selain itu, kata dia saat ini orang juga hanya bisa terpisah tujuh menit dari gawainya.
"Seharusnya, kemajuan teknologi serta kemudahan mendapat informasi memberi manfaat bagi masyarakat, untuk saling menguatkan. Inilah pentingnya literasi," kata dia.
Pengguna media sosial, kata dia, harus dapat memilah mana berita yang pantas untuk dikonsumsi dan mana yang tidak. Terlebih lagi, berita-berita hoaks tersebut berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat dan negara.
"Untuk itu, saya minta pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo, bertindak tegas. Termasuk juga kepolisian harus bertindak cepat dan tegas. Bila perlu harus diusut tuntas siapa saja yang menyebarkan berita hoaks tersebut dan diberi hukuman untuk memberi efek jera," ujarnya.
Sepanjang 2019, Kementerian Komunikasi dan Informasi menemukan 3.801 hoaks. Mayoritas hoaks itu adalah terkait politik, yaitu mengenai calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta dan penyelenggara Pemilu.
Sementara itu, per 16 November 2020, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang berkolaborsi dengan cekfakta.com menemukan 2.024 hoaks beredar di Indonesia sejak awal tahun.
Setidaknya sepertiga dari jumlah tersebut adalah hoaks terkait pandemi Covid-19. Sementara isu lain yang kerap dijadikan tema hoaks adalah pilkada serentak 2020 dan UU Omnibus Law.
Peredaran hoaks sendiri umumnya terjadi di media sosial. Terbanyak ada di Facebook, kemudian platform lain seperti Twitter dan WhatsApp.
Pengemasannya yang mudah dicerna dan dibumbui kesan bombastis kerap membuat orang mudah mempercayai hoaks. Tak jarang, para pembuatnya menggunakan hoaks ini sebagai alat propaganda untuk memecah belah sesama anak bangsa.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Konten negatif berupa berita bohong dan intoleransi dapat merusak keutuhan bangsa.
Baca SelengkapnyaHoaks dapat memecah belah persatuan bangsa, mengganggu stabilitas politik.
Baca SelengkapnyaMasyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Baca SelengkapnyaIndonesia harus kuat dari berbagai upaya destabilisasi gencar dilakukan khususnya dari kelompok dan jaringan teror.
Baca SelengkapnyaMasyarakat harus memiliki pemikiran kritis dalam membaca berita.
Baca SelengkapnyaMenurut Bery, hoaks menggunakan kecerdasan buatan memang sudah cukup meresahkan.
Baca SelengkapnyaBNPT menyebut aktivitas propaganda kelompok teroris dan simpatisan di ruang siber secara signifikan yang terdeteksi dari tahun ke tahun.
Baca SelengkapnyaWapres Ma'ruf Amin meminta masyarakat berhati-hati, dan selalu menyaring setiap informasi yang diterima saat Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menyebut masih banyak media online yang tidak memiliki dewan redaksi.
Baca SelengkapnyaMenyiapkan diri, bangsa, dan negara memanfaatkan AI dan menanggulangi dampak buruknya bukan lagi suatu pilihan, namun menjadi keharusan.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaMenjaga generasi muda dari radikalisasi memerlukan pendekatan komprehensif dan sinergi berbagai pihak. Termasuk keluarga, masyarakat, dan negara.
Baca Selengkapnya