Waspadai Maraknya Info Hoaks dan Intoleransi di Media Sosial
Merdeka.com - Kebebasan berekspresi semestinya mendorong lahirnya pengakuan hak bagi sesama warga negara untuk bersuara. Namun kebebasan ini seperti kebablasan sehingga melahirkan praktik intoleransi karena menyerang orang lain yang dianggap berbeda.
"Biasanya karena intoleransi itu lahir dari rasa ketidaksukaan terhadap sesuatu atau orang lain, maka kemudian mereka ini menolak hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Lalu, kalau kemudian dari intoleransi dia mendukung kekerasan itu sudah bentuk radikal," ujar Peneliti senior di Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar dalam keterangannya, Rabu (13/11).
Lebih lanjut, Alamsyah menyampaikan, ada ciri-ciri tertentu kelompok yang memiliki paham intoleransi. Karena tidak setiap kelompok yang berbeda atau eksklusif termasuk dalam kelompok berpaham intoleransi.
-
Apa dampak dari ujaran kebencian di media sosial? Media sosial menjadi salah satu aspek yang ditekankan, karena berpotensi disalahgunakan lewat ujaran kebencian.
-
Mengapa kata-kata tentang kemerdekaan dibagikan di media sosial? Dengan membagikan kata-kata tentang kemerdekaan, kita dapat menghidupkan kembali semangat perjuangan para pahlawan.
-
Apa dampak suara keras? Kerusakan ini menyebabkan gangguan pendengaran akibat kebisingan yang terus menerus. Suara yang berbahaya bagi telinga berada di atas 85 desibel berbobot A (dBA).
-
Mengapa orang melakukan diskriminasi? Dari segi psikologi, seseorang yang melakukan sikap diskriminasi, mungkin dipengaruhi oleh faktor sejarah atau masa lalu. Bisa jadi, orang yang melakukan diskriminasi, pernah mendapatkan perlakuan yang berbeda dan tidak adil oleh orang lain.
-
Kenapa diskriminasi sosial terjadi? Dari segi psikologi, seseorang yang melakukan sikap diskriminasi, mungkin dipengaruhi oleh faktor sejarah atau masa lalu. Bisa jadi, orang yang melakukan diskriminasi, pernah mendapatkan perlakuan yang berbeda dan tidak adil oleh orang lain.
-
Mengapa kebijakan pemerintah dapat memicu rasisme? Umumnya, penyebab rasisme yang paing sering terjadi karena keputusan kebijakan pemerintah, termasuk di Indonesia. Hal tersebut dipengaruhi oleh keotoriteran dari pemimpin dalam pemerintah.
Menurutnya, intoleransi bisa muncul semata-mata bukan karena adanya perbedaan, tetapi lebih kepada adanya politisasi kebencian. Ada situasi di mana ada praktik politisasi kebencian terhadap kelompok tertentu.
"Yang sebetulnya menjadi masalah adalah adanya praktik politisasi, ada kelompok atau pihak yang menggunakan isu-isu ketidaksukaan terhadap kelompok yang lain, bisa macam-macam seperti LGBT, Yahudi dan sebagainya sehingga berkembang intoleransi di masyarakat," katanya.
Dia mengatakan kalau mau mengurangi intoleransi seharusnya mengurangi politisasi kebencian. Karena itu, Alamsyah berpendapat pentingnya mengurangi kebencian di antara masyarakat sehingga tidak ada lagi intoleransi atau membenci orang yang dianggap berbeda. Dan untuk hal ini tentunya sangat berkaitan dengan media sosial.
"Jadi ketika media sosial banyak menginformasikan berita-berita berisi kebencian, berisi hoaks, berisi intoleransi, maka hal itu dapat mempengaruhi atau berpotensi mempengaruhi orang untuk membenci kelompok lain berdasarkan informasi yang ada. Artinya kalau kita mau mengurangi maka kita harus bisa membatasi informasinya, terutama yang mengandung kebencian dan kekerasan, karena itu melanggar hukum," jelasnya.
Alumni Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengatakan sudah semestinya masyarakat harus memperkuat persatuan dengan perbedaan yang ada. Dirinya pun meminta masyarakat harus berpikiran lebih terbuka ketika menyikapi adanya perbedaan.
"Yang perlu kita atasi itu bukan pada perbedaannya, tapi bagaimana mengelola perasaan atau sikap tidak suka tersebut. Berpikir lebih jernih ketika menemui pandangan-pandangan yang dia tidak suka, bahkan dia tentang itu," tuturnya.
Untuk itulah Alamsyah mengatakan bahwa masyarakat harus diberikan informasi yang lebih beragam sehingga mereka tidak hanya menerima informasi dari satu pihak.
"Jadi bukan hanya terpapar yang kiri saja, tetapi ada yang tengah dan ada yang kanan. Kalau ada informasi baru dia bisa respons lagi. Itu juga salah satu cara menangkal intoleransi di media sosial," tandasnya.
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Masyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Baca SelengkapnyaMasyarakat harus memiliki pemikiran kritis dalam membaca berita.
Baca SelengkapnyaHoaks dapat memecah belah persatuan bangsa, mengganggu stabilitas politik.
Baca SelengkapnyaJangan sampai dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi radikal terorisme.
Baca SelengkapnyaGenerasi muda Indonesia seringkali dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya.
Baca SelengkapnyaKonten negatif berupa berita bohong dan intoleransi dapat merusak keutuhan bangsa.
Baca SelengkapnyaPentingnya menghormati kebebasan beragama dan tanggung jawab sosial dalam menjaga kehidupan plural di Indonesia
Baca SelengkapnyaPerilaku yang beradab, tidak hanya wajib dilakukan di dunia nyata, tapi diperlukan untuk membangun generasi penerus yang bijak berdigital.
Baca SelengkapnyaDisinformasi yang bersumber dari platform media sosial merembes ke forum-forum personal seperti whatsapp group.
Baca SelengkapnyaNarasi-narasi provokatif dapat memicu perpecahan harus dihindari terlebih di tahun politik.
Baca SelengkapnyaMenurut Bery, hoaks menggunakan kecerdasan buatan memang sudah cukup meresahkan.
Baca SelengkapnyaHal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif.
Baca Selengkapnya