WNI Eks ISIS Dilarang Pulang
Merdeka.com - Pemerintah memutuskan tak memulangkan 689 Warga Negara Indonesia (WNI) mantan kombatan ISIS. Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan bahwa status kewarganegaraan ratusan WNI itu bukan lagi tanggung jawab pemerintah.
Ia menyebut, para teroris lintas batas itu pastinya sudah mengkalkulasi saat mereka meninggalkan Indonesia.
"Itu nanti karena sudah menjadi keputusan mereka tentu saja segala sesuatu mestinya sudah dihitung dan dikalkulasi oleh yang bersangkutan," kata Jokowi di Istana Negara Jakarta, Rabu (12/2).
-
Siapa yang memulangkan WNI? Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri secara bertahap memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terjebak di Gaza Palestina.
-
Mengapa WNI dipulangkan? Kami kan memastikan dulu yang bersangkutan siap atau tidak pasca situasi yang cukup mengkhawatirkan di Gaza , dari sisi fisik, psikisnya kami perlu cek dulu sehat atau tidak sanggup untuk menjalankan,' tegas Akhmad.
-
WNI apa yang sudah dipulangkan? Berdasarkan data Kemlu, terdapat 10 WNI di Gaza. Empat di antaranya telah dipulangkan ke Indonesia.
-
Dari mana WNI dipulangkan? Empat di antaranya telah dipulangkan ke Indonesia.
-
Di mana WNI dievakuasi ke? Pagi ini, saya menerima laporan bahwa mereka telah sampai di Suriah, melalui Damaskus dengan selamat.
-
Kapan WNI dipulangkan? Direktorat Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri secara bertahap memulangkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terjebak di Gaza Palestina.
Jokowi menegaskan, keputusan pemerintah tak memulangkan WNI eks ISIS sudah bulat. Hal itu demi menjaga keamanan 267 juta rakyat Indonesia yang menjadi tanggung jawan pemerintah. Jokowi tak ingin pulangnya WNI eks simpatisan ISIS justru membawa 'virus baru' ke Tanah Air.
"Oleh sebab itu, pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada disana, ISIS eks WNI," tegas dia.
HAM
Keputusan pemerintah mendapat kritikan sejumlah pihak, di antaranya Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mempertanyakan sikap pemerintah terkait nasib 689 WNI tersebut.
"Kalau tidak memulangkan, lantas langkah pemerintah selanjutnya apa? Terutama terkait penegakan hukum. Yang anak-anak bagaimana? Juga kurang jelas," ujar dia.
Taufan menekankan meskipun menolak pemerintah harus tetap memantau keberadaan WNI eks kombatan ISIS. Kendati mereka tengah berada di luar negeri, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi warga negaranya.
"Kalau enggak mau mengurusi, ya keliru, kita harus mengurusi. Satu warga negara kita monster luar biasa, ya dia tetap WNI yang kita urusi. Cara urusnya bagaimana, ditindak secara hukum seperti Aman Abdurahman," tuturnya.
Prematur
Setali tiga uang dengan Taufan, mantan napi teroris Khairul Ghazali (54) menilai keputusan pemerintah menolak WNI eks ISIS pulang terlalu tergesa-gesa.
"Keputusan pemerintah tersebut dibuat dengan tergesa-gesa tanpa penelitian dan riset ilmiah dari tenaga ahli, pakar, akademisi dan praktisi. Sehingga melahirkan keputusan yang prematur dan bertentangan dengan hak asasi," sebut Khairul dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (12/2).
Menurutnya, keputusan menolak kepulangan WNI eks ISIS itu mencerminkan rasa takut dan kepanikan. Pemerintah seperti kehilangan akal menghadapi segelintir WNI eks ISIS. Padahal belum tentu 682 WNI itu teroris lintas batas, karena faktanya sebagian besar adalah wanita dan anak-anak serta simpatisan.
"Ada lembaga hukum (BNPT, BIN, TNI dan Polri) yang bisa menghukum rakyatnya yang melakukan pelanggaran, bahkan ada UU Terorisme yang bisa memidana mereka yang dianggap melanggar," lanjut Khairul.
Aturan Hukum
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara mendesak pemerintah mengkaji lagi keputusan menolak WNI eks kombatan ISIS kembali ke Indonesia. Dia minta pemerintah menelusuri rekam jejak masing-masing para mantan eks anggota ISIS itu. Sebab, kebijakan yang diambil sifatnya tidak bisa generalisir.
"Dalam simpatisan tersebut, terdapat perempuan dan anak-anak yang umumnya hanya korban, baik korban propaganda ISIS maupun korban relasi kuasa yang timpang di keluarga," jelas Anggara kepada wartawan, Rabu (12/2).
Menurutnya, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah. Yaitu, pencabutan warga negara, pencekalan, dan opsi untuk diadili di Indonesia.
Terkait pencabutan warga negara, ICJR melihat, tindakan yang menjadi sorotan adalah perobekan paspor Indonesia oleh beberapa WNI eks ISIS. Namun hal tersebut tidak dapat serta merta diartikan bahwa mereka telah mencabut kewarganegaraannya.
Dalam kerangka hukum Indonesia, pencabutan kewarganegaraan diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU 12/2006) dan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia (Perpres 2/2007). Dalam UU itu disebutkan kondisi di mana seorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya, yaitu 'Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden' dan 'Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing tersebut'.
"Permasalahan yang harus diperhatikan adalah terkait status dari ISIS sebagai tentara asing atau negara asing," kata Anggara.
Merujuk pada Konvensi Montevideo tahun 1933, syarat berdirinya sebuah negara adalah: 1) populasi permanen; 2) wilayah yang tetap; 3) pemerintahan dengan kendali yang efektif; dan 4) kemampuan untuk menjalin hubungan dengan negara lain.
Hingga saat ini, lanjut Anggara, tidak ada satu negara pun di dunia yang bersedia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan ISIS. Sehingga, pilihan untuk mencabut kewarganegaraan sebagai hukuman terhadap WNI eks ISIS dikhawatirkan justru memberikan legitimasi bagi keberadaan ISIS itu sendiri sebagai sebuah entitas politik.
Tidak hanya itu, dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 juga telah menjamin hak seseorang atas status kewarganegaraan sebagai salah satu hak asasi manusia. Dalam Pasal 15 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, yang mana Indonesia juga merupakan negara pihak, juga telah disebutkan bahwa 'setiap orang mempunyai hak atas kewarganegaraan'.
"Selain itu, Pasal 24 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik juga mengatur bahwa 'setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan'. Sehingga pencabutan kewarganegaraan bukanlah suatu pilihan yang bijak untuk dilakukan oleh Pemerintah," tambah Anggara.
Kedua, terkait dengan pencekalan. Pemerintah tidak dapat melakukan pencekalan atau pelarangan terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, karena dalam Pasal 14 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan bahwa setiap WNI tidak dapat ditolak masuk wilayah Indonesia.
Pasal 27 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan bahwa 'warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'.
"Tidak ada dasar hukum untuk melarang WNI kembali ke Indonesia," jelas Anggara lagi.
Ketiga, terkait dengan opsi pengadilan. Pemerintah sebenarnya memiliki opsi terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, yaitu diadili secara hukum. Tindakan yang dilakukan oleh ISIS telah ditetapkan sebagai tindakan terorisme oleh Dewan Keamanan PBB.
Presiden Dewan Keamanan PBB telah menyatakan bahwa Dewan Keamanan sangat mengutuk tindakan terorisme, termasuk oleh organisasi teroris yang beroperasi dengan nama ISIS di Irak, Suriah, dan Lebanon.
Dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme), disebutkan bahwa intinya setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
Para WNI eks ISIS tersebut dapat dijerat dengan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Terorisme dan Pasal 3 UU Terorisme menyebutkan bahwa peraturan ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain yang juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
"Opsi pasal lainnya yang dapat dikenakan terhadap WNI eks ISIS adalah perbuatan makar terhadap negara sahabat, dalam hal ini di negara Suriah, yaitu Pasal 139b KUHP," katanya.
Aturan hukum lain, berdasarkan asas nasional aktif pada Pasal 5 ayat (2) KUHP, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
"Sehingga kesimpulannya meskipun perbuatan tersebut dilakukan di luar wilayah Indonesia, tindakan yang dilakukan oleh WNI eks ISIS tetap dapat diadili dengan hukum Indonesia," tegas Anggara.
Kondisi lainnya, beberapa WNI eks ISIS tersebut juga dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dalam hal terdapat dugaan serius mereka melakukan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional maupun pelanggaran terhadap hukum pidana internasional, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hikmah WNI jadi ISIS
Sementara itu, pengamat Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana tak ingin berpolemik soal keputusan pemerintah menolak WNI eks simpatisan ISIS. Dia memilih menyoroti hikmah di balik sikap WNI meninggalkan Indonesia demi bergabung dengan kelompok teroris lintas batas.
"Saya berharap bahwa masyarakat kita ini benar-benar paham betul bahwa adanya iming-iming untuk hidup lebih baik, lalu bisa masuk surga itu ternyata tidak benar," kata Hikmahanto.
Menurutnya, sebagai WNI harus bisa mensyukuri dengan apa yang sudah dapatkan sekarang ini. Di mana kondisi negara yang penuh keragaman masyarakat bisa hidup dengan damai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi berpikir untuk berhijrah.
"Karena toh akhirnya yang kita lihat sekarang ini bahwa ISIS itu sudah tidak ada apa-apanya lagi. Jadi mudah-mudahan masyarakat tidak mudah tergoda dan terus menjadi Warga Negara Indonesia yang baik, bisa menjaga perdamaian, jangan kemudian bersentuhan dengan hal-hal yang berkaitan dengan terorisme," ujar pria yang juga Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
Hikmahanto meminta kepada masyarakat untuk bisa memperkuat resilience (ketahanan) agar tidak mudah percaya terhadap propaganda yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menentang ideologi bangsa. Selain itu, menurutnya, seluruh komponen pemerintah juga harus ikut berperan aktif menguatkan resilience masyarakat.
"Pemerintah mungkin melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga harus mengencarkan soasialisasi ke masyarakat bahwa menjadi Warga Negara Indonesia ini adalah sebuah kebanggaan," ujar anggota kelompok ahli BNPT bidang Hukum Internasional ini.
Dampak Kepulangan
Peneliti terorisme Ridlwan Habib menilai keputusan yang diambil pemerintah sudah tepat. Namun, dia mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai adanya potensi balas dendam oleh simpatisan ISIS dalam negeri.
"Keputusan itu sudah tepat, sebab Indonesia belum siap jika harus memulangkan eks ISIS, sangat berbahaya. Namun demikian, pemerintah harus waspada terhadap kemungkinan balas dendam oleh simpatisan ISIS di dalam negeri," kata Ridlwan Habib, dilansir dari Antara, Rabu (12/2).
Menurut dia, jejaring dari sel-sel ISIS yang ada di Indonesia masih banyak. Mereka berpotensi melakukan tindakan balas dendam atas keputusan pemerintah tersebut.
"Jejaring ISIS masih ada di Indonesia, sel-sel tidurnya masih banyak. Polri dan komunitas intelijen harus waspada jika keputusan itu menimbulkan keinginan balas dendam," kata dia.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah Buya Syafii menerangkan ada beberapa dampak seandainya pemerintah memulangkan kombatan ISIS. Selain masalah keamanan, masalah sosial pun juga bisa muncul sebagai imbas pemulangan kombatan ISIS tersebut.
"Dampaknya? Dampak keamanan dan juga sikap masyarakat terhadap mereka. Apa masyarakat mau menerima mereka atau tidak," tutur Buya Syafii.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
59 WNI asal Banten dan Makassar diduga diamankan petugas haji Arab Saudi lantaran ketahuan menggunakan visa ziarah.
Baca SelengkapnyaHingga akhir November 2023, tercatat 1.084 warga Rohingya yang mendarat di Aceh menggunakan 6 kapal kayu.
Baca SelengkapnyaSebanyak 18 warga Poso yang merupakan mantan simpatisan jaringan teroris mengucapkan ikrar setia kepada NKRI di Mapolres Poso, Kamis (13/6).
Baca SelengkapnyaMantan anggota Jamaah Islamih di wilayah Sumatera Selatan dan narapidana teroris mengucapkan sumpah setia ke NKRI
Baca SelengkapnyaSebagian dari anggota JI Riau itu merupakan mantan napi teroris.
Baca SelengkapnyaRencananya mereka akan dipulangkan pada Sabtu (1/6) malam sekitar jam 23.00 Waktu Arab Saudi (WAS).
Baca SelengkapnyaJokowi menyebut, pemerintah Indonesia akan menindak tegas pelaku TPPO.
Baca SelengkapnyaTercatat total 143 WNI berada di wilayah konflik Israel-Palestina.
Baca SelengkapnyaJokowi memastikan bantuan tersebut akan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
Baca SelengkapnyaDeklarasi untuk patuh kepada pemerintah NKRI ini setelah para pendiri dan pimpinan JI sepakat membubarkan diri pada 30 Juni 2024 lalu.
Baca SelengkapnyaKantor Imigrasi Ngurah Rai telah menolak 566 WNA yang akan masuk Bali pada 2023. Empat di antaranya merupakan pelaku pedofil dan 16 lainnya buronan Interpol.
Baca SelengkapnyaJokowi menekankan keselamatan dan perlindungan WNI harus diprioritaskan.
Baca Selengkapnya