Akan gugat UU Pilkada, PDIP temui ahli hukum Unair Surabaya
Merdeka.com - Fenomena calon tunggal di Pilkada serentak, 9 Desember 2015, termasuk yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur yang hanya dihuni pasangan incumbent, Tri Rismahari-Whisnu Sakti Buana, terus menuai pro-kontra.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 yang secara teknis diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 12 Tahun 2015, tentang pemilihan kepala daerah, jika hanya ada calon tunggal, maka Pilkada diundur pada 2017. Karena dalam aturan tersebut, menyebut harus ada minimal dua calon kandidat.
Menyikapi persoalan ini, sebagian kelompok sepakat dengan aturan tersebut. Karena aklamasi hanya akan mencederai demokrasi. Sementara sebagian lagi, tidak sepakat Pilkada diundur. Bahkan ingin menggugat aturan tersebut.
-
Apa itu Pilkada? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah proses demokratisasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung.
-
Kenapa Pilkada penting? Pemilihan melalui Pilkada juga penting untuk menjaga kedaulatan rakyat. Dengan memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin mereka sendiri, Pilkada mendorong partisipasi aktif masyarakat dan menghindari kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau kelompok.
-
Kenapa Pilkada diperlukan? Pilkada artinya singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah, adalah salah satu momen krusial dalam sistem demokrasi kita. Namun, apa sebenarnya Pilkada itu, dan bagaimana prosesnya berlangsung? Dalam artikel ini, kita akan mengupas tuntas arti dan pentingnya Pilkada serta menjelaskan langkah-langkah yang harus dilalui dalam proses pemilihan ini.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Sebab, jika Pilkada diundur, yang dirugikan adalah rakyat. Karena selama dua tahun, dipimpin Plt (pejabat sementara) yang tidak memiliki kebijakan strategis ketika terjadi persoalan.
Hal ini pula, yang membuat PDIP, khususnya di Surabaya ingin melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, sebelum melangkah jauh, DPC PDIP Surabaya ingin mengonsultasikan rencana gugatannya itu ke para ahli hukum dan tata negara di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Jumat sore kemarin (31/7), beberapa perwakilan PDIP seperti Wakil Ketua DPC PDIP, Didik Prasetiyono, Budi Leksono (bendahara), dan Anas Karno (bidang hukum), mendatangi kampus Unair untuk mengonsultasikan posisi calon tunggal di Pilwali Surabaya serta langkah hukumnya.
Kedatangan rombongan PDIP Surabaya ini, diterima oleh beberapa akademisi Unair, seperti ahli hukum tata negara, Radian Salaman dan Syaiful Aris. "Memang, upaya pengajuan gugatan dan uji materi terkait aturan Pilkada telah kami lakukan. Namun, kami memerlukan pendapat dari para akademisi yang paham masalah hukum," terang Didik Prasetiyono, Sabtu (1/8).
Kata politisi yang akrab disapa Dikdong ini, pertemuan yang digelar pihaknya dengan akademisi Unair kemarin, berlangsung selama satu jam dan bersifat internal. "Ini untuk mencari langkah kongkret. Jika penerapan aturan atau undang-undang Pilkada ada celah besar, ini harus dipecahkan, agar tidak terjadi kebuntuan politik," sambungnya.
Sementara menurut Radian Salman, pengajuan uji materi mau pun gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 8 dan PKPU Nomor 12/2015, sah-sah saja dilakukan. "Ini hanya langkah hukum untuk mencari norma-norma yang dinilai adanya celah dan tidak diatur dalam pasal-pasalnya," ucap dosen ilmu tata negara di Unair Surabaya ini.
Dosen sekaligus pengamat politik ini juga menegaskan, boleh tidak sepaham dan mengambil langkah hukum dalam menyikapi persoalan, asal tidak boikot. "Karena jika boikot Pilkada, itu justru tidak mengedepankan sisi demokrasi. Dampaknya akan sangat luar biasa. Khususnya pembangunan kota. Semuanya akan terhambat, rakyatlah yang rugi dalam hal ini," paparnya.
Mestinya, masih kata Radian, pengaturan tata cara dan teknis Pilkada, harus dibuat lebih detail, sehingga tidak memunculkan tafsiran berbeda membaca undang-undang. "Ke depan memang harus demikian dalam merumuskan undang-undang," pungkasnya. (mdk/hhw)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Revisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Baca SelengkapnyaDewan Guru Besar UI menilai revisi UU Pilkada dapat menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi, seperti MK versus DPR, yang akan merusak kehidupan bernegara.
Baca SelengkapnyaPKS menolak wacana tersebut karena dibuat secara terburu-buru dan tanpa kajian mendalam.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai, pembahasan RUU Pilkada mengabaikan suara masyarakat.
Baca Selengkapnya"Ini benar-benar memberikan kesimpulan yang sangat kuat, bahwa demokrasi mundur dan ini tidak boleh terjadi," kata Hamdan Zoelva.
Baca SelengkapnyaFraksi DPRD DKI Jakarta menolak wacana kebijakan gubernur dipilih langsung presiden usai Ibu Kota berpindah ke IKN, Kalimantan Timur
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai seharus gubernur dan wakil gubernur Jakarta dipilih oleh rakyat, usai tak menjadi ibu kota
Baca SelengkapnyaMendagri Tito mengatakan, pihaknya belum menerima surat dari DPR maupun draf RUU DKJ itu.
Baca SelengkapnyaPemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden diatur dalam RUU Daerah Khusus Jakarta.
Baca SelengkapnyaMenurut Zainal, upaya merevisi UU Pilkada dalam rapat digelar Badan Legislasi (Baleg) DPR hari ini menjadi alarm tanda bahaya bagi demokrasi.
Baca SelengkapnyaAturan cuti kepala daerah selama Pilkada itu didugat warga Kabupaten Kendal, Jawa Tengah bernama Harseto Setyadi Rajah.
Baca SelengkapnyaMendagri belum menerima surat dari DPR maupun draf RUU DKJ.
Baca Selengkapnya