Alasan Survei Elektabilitas Parpol Kerap Berbeda dengan Hasil Pemilu
Merdeka.com - Hasil survei elektabilitas partai politik kerap berbeda dengan realitas Pemilu. Berkaca dari dua pemilu sebelumnya misalnya. Dua parpol seperti PAN dan PPP kerap diprediksi tidak lolos. Namun pada kenyataannya, PAN dan PPP selalu lolos parliamentary threshold. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Peneliti Saiful Mujani & Research Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengatakan, beberapa alasan hasil survei berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Alasan pertama, survei memotret realitas masyarakat yang terjadi ketika survei dilakukan di mana jarak antara survei dan pelaksanaan Pemilu.
-
Apa yang dilakukan PAN di Pemilu 2024? Beberapa partai politik telah mendaftarkan para kadernya untuk maju Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024.
-
Bagaimana PPP akan menghadapi sengketa pemilu? 'Jika terjadi persengketaan baik di internal sesama kader (caleg) maupun eksternal akan diserahkan terakhir ke MK. Tentunya, kader yang membidangi hukum dari PPP akan kolaborasi agar setiap persengketaan bisa ditangani sebaik-baiknya,' sambungnya.
-
Apa itu Pantarlih Pilkada 2024? Pantarlih, atau Petugas Pemutakhiran Data Pemilih, adalah individu atau sekelompok individu yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan pemutakhiran dan pencocokan data pemilih dalam pemilihan umum di Indonesia, termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
-
Apa itu Pantarlih Pemilu? Pantarlih adalah singkatan dari Petugas Pemutakhiran Data Pemilih. Dipilihnya pantarlih ini tentu memiliki tugas dan kewajiban yang jelas. Sebagai salah satu peran penting dalam pelaksanaan pemilu, maka perlu dipahami lebih lanjut apa itu Pantarlih Pemilu.
-
Apa penyebab perselisihan hasil pemilu? Perselisihan hasil pemilu merujuk pada ketidaksepakatan atau konflik yang timbul terkait dengan proses pemilihan umum.
-
Partai apa yang unggul di Pemilu 2024 DKI? Tercatat PKS unggul dengan perolehan 1.012.028 suara. Disusul PDI Perjuangan (PDIP) dengan 850.174 suara.
"Jarak waktu antara pelaksanaan survei dengan hari pemilihan bisa membuat hasilnya berbeda. Karena di masa itu sangat mungkin pilihan warga bergeser karena ada kampanye dan mobilisasi," ungkap Saidiman saat diwawancarai, Jumat (26/5).
Artikel terkait Pemilu 2024 juga bisa dibaca di Liputan6.com
Alasan kedua, ketika survei biasanya ada warga yang belum mau menyebutkan pilihannya. Sehingga mempengaruhi komposisi suara.
Berita terkait Pemilu 2024 bisa dibaca di Liputan6.com
"Kalau responden yang belum menentukan pilihan itu dominan menjatuhkan pilihan ke satu partai di hari pemilu, itu juga bisa mengubah komposisi suara," lanjutnya.
Alasan ketiga, di dalam survei ada margin of error yang seringkali disalahpahami oleh masyarakat.
"Jadi jika suara sebuah partai 10 persen dan margin of error 2 persen, maka cara bacanya adalah suara partai tersebut berkisar antara 8 sampai 12 persen. Cara baca hasil survei ini yang kadang membuat orang salah paham," katanya.
Sementara itu, Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan, efek caleg memiliki peran penting dalam mendongkrak suara partai politik di hari H Pemilu.
"Nah, efek caleg itu yang membuat di hari pemilihan itu sering kali lebih tinggi daripada suara di survei karena di survei kan belum ada nama-nama caleg," ungkap Bawono.
Dia mencontohkan, ketika belum masuk ke TPS sebagian masyarakat sudah memiliki pilihan mau mencoblos partai A karena suka dengan partainya.
Namun, ketika di hari pemilihan dan membuka kertas suara ternyata di partai B ada caleg artis atau tokoh yang dikenal, maka pindah ke lain hati.
Efek caleg inilah yang membuat sebagian besar partai politik lebih menyetujui sistem proporsional terbuka. Karena para tokoh maupun artis yang diajukan partai politik bisa meraup banyak suara.
"Itu yang dikenal proporsional terbuka, kenapa partai-partai sebagian besar menginginkan proporsional terbuka karena efek caleg sebagai vote getter, artis-artis tokoh-tokoh yang memiliki popularitas tinggi," tutupnya.
Pesta demokrasi di Indonesia semakin dekat. Masyarakat akan memilih kepala negara, kepala daerah, pejabat legislatif, dan jabatan lainnya.
Maka dari itu, untuk memperkirakan siapa saja yang akan menduduki jabatan tertentu berbagai lembaga mulai melakukan survei. Namun, hasil survei kerap kali berbeda dengan hasil Pemilu nanti.
Pengamat politik, Ujang Komarudin menuturkan, perbedaan hasil survei tergantung pada objektivitas lembaganya.
"Saya melihat selama lembaga surveinya tidak sepakat untuk objektif selama itu pula akan banyak perbedaan hasil soal elektabilitas parpol dan hasil pemilunya," ungkap Ujang.
Namun, menurut Ujang, hasil survei yang objektif akan mendekati hasil Pemilu nanti.
"Saya melihatnya tetap survei itu penting. Selama survei itu dilakukan secara objektif maka hasilnya akan persis mendekati hasil Pemilu. Tapi kalau surveinya abal-abal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan maka ini yang berbeda," katanya.
Selain itu, Ujang juga mengatakan, adanya kemungkinan lembaga survei yang membolak-balikkan angka seperti terdapat dalam buku how to lie with statistic.
Adapula lembaga yang mempublikasikan survei dengan data tidak benar hanya demi kepentingan tertentu.
"Terkadang survei itu ada yang objektif, ada yang tidak. Terkadang ada survei yang dipublikasi dan tidak dipublikasi. Jadi yang dipublikasi kadang-kadang tidak benar sedangkan yang disimpannya itu yang benar," sambungnya.
Terlepas dari benar atau tidaknya hasil survei, Ujang mengatakan, hasil survei menjadi bagian dinamika dalam berdemokrasi.
"Tapi ini bagian dari dinamika dalam berdemokrasi, banyak lembaga survei yang kredibel, tidak sedikit juga lembaga survei abal-abal yang membolak balikkan angka makanya hasilnya berbeda," ujar Ujang.
Perbandingan
Berikut perbandingan hasil survei dengan hasil Pemilu 2019:
Pemilu 2019
Litbang Kompas (22 Februari-5 Maret 2019)1. PDIP: 26,9 persen2. Gerindra: 17 persen3. Golkar: 9,4 persen4. PKB: 6,8 persen5. Nasdem: 2,6 persen6. PKS: 4,5 persen7. Demokrat: 4,6 persen8. PAN: 2,9 persen9. PPP: 2,7 persen
Survei Charta Politika (1-9 Maret 2019)1. PDIP: 24,8 persen2. Gerindra: 15,7 persen3. Golkar: 9,8 persen4. PKB: 7,2 persen5. Nasdem: 4,9 persen6. PKS: 4,1 persen7. Demokrat: 5,1 persen8. PAN: 3,2 persen9. PPP: 3,6 persen
Hasil Pemilu 2019
1. PDIP mendapat 19,33 persen.
2. Partai Gerindra mendapat 12,57 persen.
3. Partai Golkar mendapat 12.31 persen.
4. PKB mendapat 9,69 persen.
5. Partai NasDem mendapat 9,05 persen.
6. PKS mendapat 8,21 persen.
7. Partai Demokrat mendapat 7,77 persen.
8. PAN meraih 6,84 persen.
9. PPP meraih 4,52 persen.
Reporter Magang: Alya Fathinah
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Populi Center menggelar survei tatap muka pada 28 November-5 Desember 2023.
Baca SelengkapnyaKomposisi parpol yang berada di atas ambang batas parlemen sebesar 4 persen tidak terlalu banyak perubahan.
Baca SelengkapnyaKendati tertinggi, hasil survei dilakukan Poltracking Indonesia, menunjukkan tren elektabilitas PDI Perjuangan mengalami penurunan sejak September 2023.
Baca SelengkapnyaTercatat PDI Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerindra menempati posisi teratas.
Baca SelengkapnyaNama-nama Caleg Terancam Gagal Dapat Kursi DPR Meski Dapat Ratusan Ribu
Baca SelengkapnyaPPP mendapatkan perbedaan angka yang cukup signifikan antara total perolehan nasional yang ditampilkan di layar pleno KPU dengan pembandingan di beberapa dapil.
Baca SelengkapnyaSecara konfigurasi, parpol-parpol lama masih menguasai peringkat 10 besar elektabilitas.
Baca SelengkapnyaPPP tetap yakin lolos ke Senayan meski real count KPU menunjukkan suara turun.
Baca SelengkapnyaTren elektabilitas PAN menunjukkan hasil yang positif jelang Pemilu 2024. Teranyar, angka elektabilitas PAN tembus 4,3 persen.
Baca SelengkapnyaSurvei ini digelar pada 3-9 Agustus 2023 dan melibatkan 1.220 responden terpilih dengan menggunakan teknik multistage random sampling.
Baca SelengkapnyaPDIP memperoleh suara paling tinggi yakni 20,3 persen.
Baca SelengkapnyaLingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA melakukan analisis hitung cepat atau quick count terkait Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
Baca Selengkapnya