Angka tak wajar, politisi Demokrat ngaku tolak teken proyek e-KTP
Merdeka.com - Anggota Komisi VIII Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu menjadi salah satu nama yang diduga ikut menerima fee proyek pengadaan e-KTP sebesar USD 400 ribu saat masih menjabat Wakil Ketua Komisi II dan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Khatibul membantah tudingan itu, karena tidak setuju dan tidak menandatangani persetujuan proyek e-KTP dalam rapat Banggar pada 2010 silam.
"Saya sendiri di dalam rapat sebagai anggota badan anggaran kan enggak setuju. Saya enggak menandatangani karena ini pembahasan teknis bahwa proyek e-KTP-nya tentu ini kesepakatan antara pemerintah dan DPR tentunya sudah disepakati banggar pusat," kata Khatibul kepada wartawan, Kamis (9/3).
Fraksi Partai Demokrat, kata dia, telah mencium adanya hitungan tak wajar dalam usulan anggaran e-KTP. Hal ini yang membuatnya tidak mau menyetujui usulan penambahan anggaran itu.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Kenapa DKPP menilai KPU melanggar kode etik? Komisioner KPU sebagaimana kami pahami saat ini ya sepertinya dikenai sanksi karena adanya dianggap melakukan kesalahan teknis bukan pelanggaran yang substansif,' ujar dia.
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Siapa yang mempertanyakan Tapera di DPR? Video tersebut saat anggota Komisi V DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Irine Yusiana Roba Putri mempertanyakan terkait Tapera, berikut transkrip pertanyaannya:
-
Apa itu pelanggaran kode etik Pemilu? Pelanggaran kode etik pemilu merujuk pada tindakan yang melanggar etika atau norma-norma penyelenggara pemilu terhadap sumpah dan janji yang diucapkan sebelum mereka menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.
-
Kenapa anggota DPR kritik Erick Thohir? Diketahui cuplikan video dalam unggahan akun Youtube @SATU BANGSA tersebut merupakan momen saat Erick Thohir dicecar oleh anggota DPR RI dari Komisi VI terkait kasus yang terjadi di BUMN. Penelusuran Sementara artikel berita yang yang ada dalam video membahas soal kritikan dari anggota Komisi VI kepada Erick Thohir yang dinilai kerap gonta-ganti jajaran direksi maupun komisaris di BUMN yang dianggap tidak berkompeten.
"Kalau saya lihat memang DPR hanya pada posisi ketok palu. Nah karena itu saya sangat hati-hati waktu itu saya tidak mau menandatangani karena ada hal-hal yang secara angka tidak wajar menurut saya dan tim saya," tegas dia.
Menurutnya, meskipun menolak, tetapi tidak lantas menggugurkan pembahasan anggaran itu. Alasannya, karena pimpinan DPR dan pimpinan Banggar telah menyetujui.
"Seorang anggota meskipun tidak setuju, tidak menggugurkan itu problemnya. Di dalam DPR begitu, kalau pimpinan DPR setuju, pimpinan Banggar setuju dan itu agak sulit untuk komisi-komisi walaupun anggota menolak," ungkap dia.
"Kalau itu tanya langsung ke fraksi-fraksi. Saya sudah datang awal dari sebelum pada datang saya sudah datang duluan, meskipun banyak yang diundang banyak yang enggak datang," terangnya.
Lagi pula, proyek e-KTP diteken berdasarkan kesepakatan antara Komisi II DPR dan Pemerintah. Untuk itu, dia mengaku tidak tahu persis 'kongkalikong' antara pemerintah dan Komisi II terkait mega proyek yang memakan biaya Rp 5,6 triliun tersebut.
"Tapi secara teknis saya tidak sepakat, makanya saya tidak tandatangan dokumen kesepakatan antara pihak pemerintah dan pihak Komisi II. Jadi selebihnya saya enggak terlalu ngerti ada permainan-permainan yang merugikan negara," klaimnya.
Politisi Partai Demokrat ini menyebut pemerintah lebih tahu karena menjadi pengguna anggaran proyek. DPR hanya berkapasitas menyetujui proyek dan jumlah anggaran pengadaan e-KTP namun urusan teknis tetap ada di pemerintah.
"Sebenarnya yang paling tahu eksekutif, kan yang jadi kuasa pengguna anggaran eksekutif. DPR secara umum hanya menyetujui proyek itu, selebihnya urusan tender, harga barang, kemudian teknis lain sebetulnya diserahkan kepada eksekutif karena DPR tidak punya hak sampai ngurus hal-hal teknis didalam satu proyek," tandasnya.
Klarifikasi ini diklaim telah disampaikan kepada KPK. Termasuk runutan pindah tugas ke Komisi III dan diangkat menjadi Wakil Ketua komisi II pada 2013 lalu.
"Ya itu tidak benar karena mulai dari proses awal saya tidak setuju dan saya tidak mau tandatangan habis itu saya pindah ke komisi III. Terus masuk sebagai Wakil Ketua komisi II akhir 2013. Dan saya sudah klarifikasi kepada KPK," ujar Khatibul.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komisi III DPR RI menggelar rapat kerja dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa, 3 September 2024.
Baca SelengkapnyaMK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Baca SelengkapnyaAnggota Panja BPIH, John Kenedy Azis menilai kenaikan menjadi Rp105 juta terlalu besar.
Baca SelengkapnyaKomisi XI DPR RI menyetujui penyertaan modal negara (PMN) kepada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) hanya sebesar Rp5 triliun
Baca SelengkapnyaPKS menyebut keputusan DPR membatalkan revisi UU Pilkada sesuai dengan suara dan tuntutan rakyat.
Baca SelengkapnyaBaleg DPR RI menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas tentang revisi UU Pilkada.
Baca SelengkapnyaPutusan tersebut tercatat dalam nomor perkara 147-01-04-29/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024.
Baca SelengkapnyaDPR melihat anggaran yang diajukan Komnas HAM sangat kecil, dibandingkan pengajuan anggaran pembangunan satu kantor Polsek yaitu Rp50 Miliar
Baca SelengkapnyaSalah satunya adanya aturan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta nantinya ditunjuk presiden.
Baca SelengkapnyaDPR menolak usulan untuk mengkaji ulang dana wajib atau anggaran wajib (mandatory spending) untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBN.
Baca SelengkapnyaDPRD DKI Jakarta merekomendasikan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) untuk segera memproses usulan kenaikan dana bantuan parpol tersebut.
Baca SelengkapnyaTerdapat 19 titik yang menjadi objek sengketa, namun MK menyatakan permohonan tidak memenuhi syarat.
Baca Selengkapnya