Demi selamatkan Golkar dan PPP, DPR sampai harus revisi UU Pilkada
Merdeka.com - Kisruh Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak kunjung usai hingga perhelatan Pilkada serentak bakal segera dilaksanakan. Keduanya bahkan terancam tidak bisa ikut pilkada karena dualisme yang terjadi di internal Golkar dan PPP.
Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono saling klaim berhak memimpin Partai Golkar. Sementara Romahurmuziy (Romi) dan Djan Faridz saling klaim berhak memimpin PPP.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun turun tangan mencari jalan keluar agar Golkar dan PPP ikut pilkada. Bahkan DPR berencana melakukan revisi terhadap UU Pilkada dan UU Partai Politik untuk selamatkan dua partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) ini.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Kenapa Partai Golkar tidak mau Munaslub? “Saya berpandangan, Munaslub hanyalah jalan akhir ketika terdapat musibah, kondisi darurat atau force major sehingga ada unsur di puncak partai yang tidak berjalan.
-
Apa penyebab perselisihan hasil pemilu? Perselisihan hasil pemilu merujuk pada ketidaksepakatan atau konflik yang timbul terkait dengan proses pemilihan umum.
-
Kenapa Golkar menolak Munaslub? Ketiga Dewan Partai Golkar menyatakan menolak wacana musyawarah nasional luar biasa (munaslub). Mereka solid mendukung Airlangga, yakni Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, dan Dewan Pakar.
-
Apa yang menjadi sengketa dalam Pileg? Perselisihan hasil pemilihan umum atau PHPU untuk sengketa Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 akan disidangkan pekan depan.
-
Bagaimana PPP akan menghadapi sengketa pemilu? 'Jika terjadi persengketaan baik di internal sesama kader (caleg) maupun eksternal akan diserahkan terakhir ke MK. Tentunya, kader yang membidangi hukum dari PPP akan kolaborasi agar setiap persengketaan bisa ditangani sebaik-baiknya,' sambungnya.
Poin krusial yang ingin dimasukan DPR yakni, parpol bersengketa bisa ikut pilkada dengan acuan hasil pengadilan terakhir tanpa harus menunggu inkracht. Karena dalam Peraturan KPU (PKPU), parpol yang berhak ikut pilkada yang disahkan Kemenkum HAM. Jika bersengketa, harus ada putusan inkracht atau islah lebih dulu.
Keputusan revisi ini juga terpaksa dilakukan oleh DPR, karena KPU menolak rekomendasi satu dari tiga poin yang diberikan oleh Komisi II DPR. Satu rekomendasi itu tentang keputusan pengadilan akhir yang bisa dijadikan acuan parpol ikut pilkada.
KPU menolak karena dianggap rekomendasi itu bertentangan dengan Undang-Undang. Karena itulah, DPR akhirnya memutuskan untuk melakukan revisi terhadap UU Pilkada dan UU Parpol.
Namun kenyataannya, tidak semua fraksi sepakat untuk melakukan revisi ini. Tidak cuma dapat penolakan dari fraksi DPR, LSM yang bergerak di bidang pemilu dan demokrasi juga gencar menolak rencana revisi UU ini.
Berikut cerita DPR ingin revisi UU demi selamatkan Golkar dan PPP, dihimpun merdeka.com, Rabu (6/5):
DPR paksa KPU soal aturan syarat parpol ikut pilkada
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan konflik berkepanjangan yang terjadi di Golkar dan PPP membuat dua parpol ini terancam tak bisa ikut Pilkada serentak 2015. Kecuali, jika Peraturan KPU (PKPU) dan UU tentang pilkada segera direvisi.Anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, rapat konsultasi antara pimpinan DPR, Komisi II dan KPU menghasilkan beberapa poin tentang sengketa yang terjadi di parpol yang hendak ikut pilkada serentak. Menurut dia, DPR tetap merekomendasikan tiga poin awal.Pertama, parpol yang bisa ikut pilkada sesuai SK Menkum HAM, jika bersengketa menunggu putusan in kracht pengadilan. Kedua, upaya islah. Kedua tetap mengupayakan islah bagi partai yang bersengketa. Ketiga mengacu pada hasil putusan pengadilan terakhir."Pertama dari rapat tadi disepakati bahwa DPR tetap merekomendasikan usulan yang selama ini diajukan untuk dimasukkan dalam PKPU. Kedua DPR akan cari jalan untuk buat landasan hukum terutama terkait parpol yang ada sengketa kepengurusan agar bisa ikut pilkada melalui amandemen UU. Ketiga, DPR akan berkoordinasi dengan MK dan MA," kata Hadar usai menghadiri rapat konsultasi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/5).Hadar mengaku menghormati putusan dan rekomendasi DPR tersebut. Namun dia menegaskan, KPU hanya bekerja sesuai dengan aturan yang ada di PKPU. Kalau pun ada perubahan PKPU maka harus mengubah UU terlebih dahulu."Partai yang bisa ikut adalah yang punya SK Kemenkum HAM, tapi kalau ada sengketa bahwa SK itu tidak bisa digunakan maka parpol harus tunggu keputusan in kracht. Kalau in kracht itu belum ada maka sesegera mungkin parpol itu islah. Kalau islah enggak bisa maka enggak bisa ikut pilkada. Menurut hemat kami, apa yang kami tetapkan sesuai peraturan UU," terang dia.Sementara itu, Anggota KPU lainnya, Ferry Kurnia Rizkiansyah menjelaskan, dalam rapat lain fraksi menyatakan sepakat untuk melakukan revisi UU Pilkada. Dia mengakui memang jika Golkar dan PPP ingin tetap ikut pilkada maka jalan satu-satunya adalah merevisi UU Pilkada."Kalau tadi kami tetap, tapi ya akan ada revisi UU secara terbatas memsukkan soal konflik ini, jadi diubah kalau ada revisi terkait dalam undang-undang. Nantinya akan ada evaluasi soal itu, kalau sekarang karena memang PKPU-nya sudah ada ya salah satu jalan di revisi UU-nya," tegas dia.Seperti diketahui, konflik Golkar antara Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono tidak kunjung selesai. Begitu juga di PPP antara Djan Faridz dan Romahurmuziy (Romi).Kedua parpol sudah menempuh jalur islah, namun tidak mencapai kata sepakat. Proses di pengadilan pun tak kunjung selesai, sementara KPU akan membuka pendaftaran calon kepala daerah pada 26 Juli nanti.
DPR akhirnya sepakat revisi UU Parpol dan UU Pilkada
Sengketa dualisme kepengurusan yang terjadi di internal Golkar dan PPP berdampak pada keikutsertaan dua parpol itu di pemilu. Dua parpol itu bahkan terancam tidak bisa ikut pilkada jika UU tentang Pilkada dan UU tentang partai politik tidak segera direvisi jelang pendaftaran calon kepala daerah ke KPU Juli nanti.Pimpinan DPR, Komisi II DPR dan KPU langsung menggelar rapat konsultasi untuk membahas terancamnya Golkar dan PPP tidak bisa ikut pilkada karena dualisme kepengurusan. Golkar kubu Aburizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono serta PPP kubu Djan Faridz dan Romahurmuziy memang sejauh ini saling klaim berhak ikut pilkada.Ketua Fraksi Golkar DPR kubu Ical, Ade Komaruddin menyatakan bahwa rapat konsultasi sepakat bahwa DPR ingin syarat keikutsertaan parpol yang bersengketa di pilkada cukup dengan putusan pengadilan terakhir. Hal itu tertuang dalam ayat tiga rekomendasi Komisi II DPR kepada KPU. Untuk menguatkan poin itu, maka harus melakukan revisi terhadap UU."DPR seluruhnya kompak terkait ayat tiga. Berbarengan dengan itu DPR segera merevisi undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik. Pimpinan DPR akan segera berkonsultasi dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi," kata Ade di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/5).Ade merasa yakin jika revisi ini bisa dikebut sebelum pendaftaran calon kepala daerah digelar KPU pada 26-28 Juli nanti. Apalagi, hanya satu pasal saja yang akan diubah."Ya pokoknya itu jalan lah. Paling satu pasal itu saja kan. UU itu kan tidak atur soal partai yang berselisih. Nah kita harus atur itu dong," terang dia.Senada, Sekretaris Fraksi PAN DPR Yandri Susanto menegaskan bahwa revisi pasal itu sudah disepakati oleh seluruh parpol di DPR. Dia merasa yakin pembahasan revisi ini selesai dalam satu masa sidang sebelum tahapan pilkada dimulai oleh KPU."Kemungkinan kan 18 Juni reses lagi. Dalam waktu sebulan itu cukup kan. 26 Juli kan lebih dari cukup. Kalau diketok, pemerintah OK, DPR OK dan kemudian diundangkan di Lembaga Negara dan KPU merevisi PKPU di pencalonan itu cukup cukup," kata Yandri.Yandir menyatakan, bahkan redaksional revisi pasal itu sudah dibuat. Hanya tinggal mengikuti proses dan mekanisme melakukan revisi sebuah UU."Jadi nanti di masa sidang, Baleg atau Komisi II DPR akan usulkan revisi terbatas itu untuk dibawa ke Rapat paripurna. Jadi (redaksionalnya) parpol yang masih bersengketa, sebagai rujukan KPU kubu mana yang ikut terkait pasangan calon, adalah kubu yang dapat putusan terakhir," tegas dia.Seperti diketahui, ada tiga rekomendasi Komisi II DPR untuk KPU dalam hal penetapan partai politik yang berhak mengikuti pilkada 2015. Pertama putusan Menkum HAM, jika masih bersengketa maka harus menunggu putusan in kracht pengadilan. Kedua jalan islah untuk partai yang bersengketa. Namun jika islah tidak juga ditemukan, maka rekomendasi terakhir yakni putusan terakhir pengadilan jika tahapan pilkada sudah dimulai namun belum ada putusan yang in kracht.Syarat pertama dan kedua sudah dijalankan oleh Golkar dan PPP yang sedang berkonflik namun menemui jalan buntu. Sementara syarat ketiga, bisa dilakukan apabila DPR dan pemerintah merevisi UU Pilkada dan UU Partai Politik.
PKB tolak revisi UU karena bisa ganggu proses pilkada
Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy berharap pimpinan DPR meminta masukan lebih dulu ke Mahkamah Agung (MA) ketimbang harus melakukan revisi terhadap UU Parpol dan UU Pilkada. Menurut dia, revisi UU dikhawatirkan berdampak pada penyelenggaraan pilkada.Masukan ke MA yang dimaksud adalah terkait rekomendasi Komisi II DPR poin tiga soal keikutsertaan parpol yang bersengketa di pilkada, bisa mengacu pada putusan terakhir pengadilan atau in kracht. Sebab, KPU sendiri menolak poin itu karena dinilai bertentangan dengan UU."Dalam UU parpol, bahwa partai berkonflik itu untuk menentukan siapa yang boleh ikut (Pilkada) yang sah adalah yang punya SK Menkum HAM," kata Lukman saat dihubungi, Selasa (5/5).Menurut Lukman, fatwa dari MA sangat penting untuk mengetahui apakah benar rekomendasi poin tiga itu melanggar UU Parpol. Sehingga, nantinya fatwa dari MA tersebut dapat dijadikan patokan siapa pihak yang harus mengalah."Apakah rekomendasi nomor tiga itu bertentangan dengan UU parpol dengan konsekuensi kalau bertentangan dengan UU Parpol, maka komisi II dan DPR harus legowo menerima pendapat itu," kata dia."Kalau fatwa MA itu menyatakan bahwa rekomendasi nomor tiga tidak bertentangan dengan UU Parpol, maka KPU harus legowo, masukkan rekomendasi itu dalam PKPU," lanjut dia.Sementara, terkait keinginan DPR yang akan merevisi undang-undang, ia mengatakan langkah revisi merupakan untuk jangka panjang, sehingga ditakutkan akan mengganggu jadwal pilkada yang sudah dekat."Keinginan idealnya tidak mengganggu agenda pilkada serentak, maka fatwa MA menjadi formula yang praktis, cepat, paling sakti. Tapi untuk jangka panjang, mekanismenya revisi, bisa ganggu agenda pilkada," kata Politikus PKB ini.
NasDem juga tolak revisi UU hanya demi kepentingan politis
Fraksi Partai NasDem di DPR menolak wacana revisi UU Pilkada dan UU Partai Politik. NasDem menilai revisi UU itu hanya untuk kepentingan pragmatis politik semata, bukan demi kepentingan rakyat.Sekretaris Fraksi Nasdem Syarif Abdullah Al Kadrie mengatakan, usulan revisi Undang-Undang nomor 22 tahun 2011 tentang Partai Politik dan UU no 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang hanya untuk kepentingan sesaat. Sebab, DPR masih punya pekerjaan legislasi yang menumpuk.Menurut dia, DPR harusnya menyelesaikan 37 RUU yang masuk Prolegnas lebih utama daripada merevisi UU Parpol dan Pilkada yang terkesan politis. 37 RUU itu, lanjut dia, merupakan RUU yang berkaitan langsung kepada kepentingan masyarakat."Jadi, Fraksi NasDem menolak revisi untuk kepentingan sesaat, kami tidak mau revisi untuk kepentingan pragmatis politik," kata Syarif saat dikonfirmasi, Selasa (5/5).Apabila DPR tetap berencana merevisi, kata dia, Syarif khawatir bakal menimbulkan opini negatif terhadap anggota DPR periode 2014-2019 yang terkesan hanya fokus pada kekuasaan saja. Sementara kepentingan masyarakat kerap diabaikan."Ini akan semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap DPR," katanya.Kalaupun UU Pilkada dan UU Parpol mau direvisi, tambah Syarif, seharusnya dirancang beberapa tahun dan dilakukan secara menyeluruh serta untuk kepentingan bersama. "UU Pilkada juga sudah beberapa kali direvisi dalam satu tahun ini. Dan perdebatannya hanya pada kepentingan politik," pungkasnya.
DPR dituding kenakan dan paksakan kehendak
Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pilkada (Perludem, Kode Inisiatif, Para Syndicate, IPC, JPPR, ICW, YLBHI) menilai pemanggilan KPU oleh pimpinan DPR dan Komisi II DPR kemarin (4/5) adalah bentuk pemaksaan kehendak dan kepentingan politis semata. Pasalnya, KPU sudah menyatakan sikap terkait verifikasi kepengurusan parpol dalam pencalonan kepala daerah yakni berpedoman pada SK kepengurusan parpol yang dikeluarkan oleh Kemenkum HAM."DPR terkesan memaksakan kehendak yang pada intinya PKPU terkait pencalonan mesti memastikan dua partai politik yang sedang bersengketa kepengurusan bisa mengikuti pilkada pada Desember 2015. Ini terbukti dengan dipanggil kembali KPU oleh Komisi II DPR kemarin," ujar Peneliti Perludem Fadli Rahmadani dalam konferensi pers di Kedai Dua Nyonya, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat, Selasa (5/5).Lanjut Fadli, sikap KPU pada dasarnya sudah benar. Rekomendasi DPR dinilainya memaksa, sebab KPU mempunyai wewenang tanpa intervensi dari siapa pun."Rekomendasi DPR itu memaksa, padahal KPU berwenang tanpa intervensi dari siapa pun," papar Fadli.Revisi ini juga itu dinilai kekanak-kanakan, karena KPU sudah mengeluarkan PKPU terkait pencalonan kepala daerah untuk pilkada, Desember 2015."Rekomendasi DPR itu invantil. Pemaksaan terhadap KPU itu bisa menjebak pada konflik politis. Itu irasional," ujar Peneliti Para Sindycate Toto Sugiarto.Lanjut Toto, keputusan KPU pada dasarnya benar, yakni berpedoman pada SK Menkum HAM atau sesuai keputusan hukum yang tetap. Dengan demikian, langkah DPR dinilainya dapat menyebabkan konflik besar di daerah."Keputusan KPU itu sudah benar. DPR dapat menyebakan konflik besar di daerah," papar Toto.Toto pun mempertanyakan langkah DPR ini dari ketersediaan waktu yang dirasakan tidaklah cukup. Jika direvisi, kata Toto, DPR sudah membengkokan UU untuk kepentingan politis yang bisa merugikan bangsa dan negara."Jika seandainya UU itu direvisi, waktu 1-2 bulan sangatlah tidak cukup. Kalau pun direvisi, itu DPR sudah membengkokan UU untuk kepentingan mereka. Ini bisa merugikan bangsa dan negara," pungkas Toto. (mdk/rnd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
PKS menyebut keputusan DPR membatalkan revisi UU Pilkada sesuai dengan suara dan tuntutan rakyat.
Baca SelengkapnyaBawaslu akan mengawasi dan memastikan akan ikut serta dalam rapat konsultasi terkait pembahasan revisi PKPU 8 Tahun 2024 di DPR.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengklaim DPR dan pemerintah justru telah mengadopsi sebagian putusan MK
Baca SelengkapnyaPDIP menilai, pembahasan RUU Pilkada mengabaikan suara masyarakat.
Baca SelengkapnyaYenny Wahid turut menolak RUU Pilkada. Dia memprotes sikap DPR merevisi UU Pilkada lewat sebuah postingan di akun Instagram @yennywahid.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi buka suara mengenai rapat baleg DPR RI yang disorot karena diduga untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang UU Pilkada
Baca SelengkapnyaUU MD3 Masuk Prolegnas 2024, Revisi untuk Beri Jalan Golkar Ambil Jatah Ketua DPR?
Baca SelengkapnyaBaleg DPR RI menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas tentang revisi UU Pilkada.
Baca SelengkapnyaHari ini, DPR menggelar rapat untuk mengebut Revisi UU Pilkada untuk mengesahkan aturan baru Pilkada.
Baca SelengkapnyaSeharusnya, rapat tersebut dilakukan hari ini, Kamis (22/8) pukul 9.30 wib
Baca SelengkapnyaWakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, revisi UU Pilkada batal disahkan dalam rapat paripurna.
Baca SelengkapnyaAksi yang digelar ini sehari setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, menggelar rapat panitia kerja terkait Revisi UU Pilkada, pada Rabu (21/8).
Baca Selengkapnya