Di Sidang MK, Penggugat Ungkap Deretan Kejanggalan Perppu Corona
Merdeka.com - Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang penanganan Corona digugat ke MK. Aturan yang menuai kontroversi ini dinilai membatasi kewenangan DPR dalam memberikan persetujuan APBN. Khususnya berkenaan dengan defisit anggaran menjadi terbatas pada batas minimum 3% PDB.
Adapun, batasan defisit anggaran tersebut diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pasal 2 ayat (1) huruf a. Hal ini disampaikan oleh salah satu pemohon uji materi Perppu Covid-19 dalam persidangan pendahuluan Mahkamah Konstitusi.
Ahmad Yani mengatakan, dengan adanya batas minimum tersebut, bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menghendaki APBN harus disetujui DPR RI, dengan berbagai pertimbangan.
-
Apa itu keringanan PBB di Jakarta? Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan kemudahan dan keringanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) melalui Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2024.
-
Apa saja yang dibatasi? Berdasarkan beberapa sumber, batas usia untuk mobil pribadi di Jakarta diperkirakan akan diterapkan hingga 10 tahun.
-
Bagaimana Jokowi meminta kepala daerah mengelola anggaran? 'Fokus. Jangan sampai anggaran diecer-ecer ke dinas-dinas semuanya diberi skala prioritas enggak jelas. Ada kenaikan 10% semua diberi 10 persen. Enggak jelas prioritasnya yang mana,' kata Jokowi.
-
Bagaimana Jokowi menjaga pasokan pangan jangka pendek? Kalau fokusnya menjaga inflasi di sisi konsumen, maka impor adalah solusinya.
-
Bagaimana Jokowi ingin UU Perampasan Aset dikawal? 'Terakhir saya titip upayakan maksimal penyelamatan dan pengembalian uang negara sehingga perampasan aset menjadi penting untuk kita kawal bersama,' ucap Jokowi.
-
Aturan apa yang dikeluarkan Presiden Jokowi terkait PNS? Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan aturan tentang penyesuaian tata cara kerja baru bagi PNS.
"Persetujuan DPR ini teramat penting karena mencerminkan kedaulatan rakyat. Itulah sebabnya, jika DPR tidak menyetujui Rancangan UU APBN, maka Pemerintah tidak punya pilihan selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Akan tetapi Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1,2, dan 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020,menihilkan arti penting persetujuan DPR," kata mantan anggota DPR RI yang juga ikut menggugat, Ahmad Yani dalam persidangan, Selasa (28/4).
"Karena dengan pengaturan yang demikian membuka peluang bagi pemerintah untuk memperlebar jarak antara jumlah Belanja dan Pendapatan sampai dengan tahun 2022, atau setidak-tidaknya, DPR tidak bisa menggunakan fungsi persetujuannya secara leluasa, melainkan dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal presentasi PDB," lanjut dia.
Selain itu, dia menuturkan, diaturnya batas minimal defisit tanpa menentukan batas maksimal, dianggap seperti memberi cek kosong kepada pemerintah.
"Sama saja dengan memberikan ‘cek kosong’ bagi pemerintah untuk melakukan akrobat dalam penyusunan APBN setidaknya sampai dengan 3 (tiga) tahun ke depan atau Tahun Anggaran 2022. Hal ini berpotensi disalahgunakan Pemerintah untuk memperbesar rasio pinjaman negara, khususnya pinjaman yang berasal dari luar negeri," ungkap Yani.
Menurut dia, dengan dibukanya batasan jumlah defisit menjadi tanpa batas, pemerintah bisa memperbesar jumlah rasio pinjaman selama ini.
"Maka pemerintah memiliki peluang yang lebih besar untuk memperbesar jumlah rasio pinjaman, sebagaimana kecenderungan APBN kita dalam beberapa tahun terakhir," jelas Yani.
Tak Memiliki Urgensi
Selain itu, masih kata dia, materi Perppu Covid-19 tersebut, dianggapnya tak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat.
Menurut Yani, sudah ada aturan Keuangan Negara, yang mengatur mekanisme pelaksanaan APBN, tanpa harus mengeluarkan Perppu.
"Karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanaan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan Perppu, yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara," jelas Yani.
Menurut dia, pemerintah bisa memilih skema dengan Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan). Atau juga, melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan pengeluaran untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan.
"Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam Undang-undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Virus Covid-19," tegas Yani.
Dia memandang, satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi.
"Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun ke depan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita di masa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak,” pungkasnya.
Tak Genting dan Memaksa
Sementara itu, salah satu pemohon Dewi Anggraini mengakui, Presiden memiliki hak mengeluarkan Perppu sebagaimana Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. Namun, dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau Perppu Covid-19, alasan dasarnya diterbitkan aturan tersebut dipandang tidak ada.
"Bahwa saat ini tidak ada kondisi yang dikategorikan kegentingan yang memaksa, hanya ada ancaman virus Corona, apakah ancaman virus Corona telah dapat ditafsirkan Presiden sebagai hal ihwal kegentingan memaksa? Dalam upaya penanganan virus Covid-19 telah ada Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sehingga tidak sepatutnya dikeluarkan Perppu yang juga menangani Covid-19," kata Dewi di sidang MK.
Dia menyampaikan, ihwal kegentingan yang memaksa dalam menetapkan Perppu Keuangan Negara tidak memiliki arah yang jelas.
"Yaitu, apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terkait dengan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, atau hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19," tutur Dewi.
Ditambah, kata dia, muatan materi Perppu Keuangan Negara terdiri dari 6 bab, tetapi tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
Pemohon dengan nomor permohonan 23/PUU-XVIII/2020 ini, mengutip pertimbangan Perppu, yang menyebut bahwa pandemi Covid-19 merupakan penyebab dari segala kemungkinan terjadinya ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.
"Artinya, apabila permasalahan pandemi Covid-19 dapat segera diatasi, maka ancaman bahaya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan juga dengan sendirinya menjadi tidak ada. Sehingga akar masalah ini, yaitu penanganan memerangi pandemi Covid-19, yang seharusnya menjadi tumpuan utama dalam menetapkan Perppu Keuangan Negara. Tetapi, butir penting ini tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Keuangan Negara," ungkap Dewi.
Selain itu, masih kata dia, persyaratan kegentingan yang memaksa juga tidak tercermin dari dimensi waktu. Kegentingan yang memaksa harus dapat diatasi secepat-cepatnya, dengan cara luar biasa.
Perppu Corona Berbahaya
Namun, dengan adanya klausal defisit anggaran tanpa batas dalam Perppu tersebut selama 3 tahun, itu tak mencerminkan adanya kepentingan yang memaksa.
"Batas waktu 3 tahun harus disikapi juga sebagai tindakan berbahaya untuk menggunakan kesempatan di tengah musibah nasional pandemi Covid-19 yang patut dicurigai demi kepentingan para sekelompok pribadi tertentu tersebut dalam Perppu Keuangan Negara, khususnya dihubungkan dengan pasal kekebalan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Perppu Keuangan Negara. Dengan demikian, masyarakat patut curiga terhadap itikad pembuatan materi seperti ini," tegas Dewi.
Dia juga menyampaikan, setiap kali terjadi krisis ekonomi yang memerlukan penanganan khusus yang melibatkan peningkatan anggaran secara luar biasa besarnya atau menggunakan bailout, maka diikuti dengan kasus korupsi yang merugikan keuangan negara secara besar-besaran juga.
"Ini terjadi pada krisis 1998 dan krisis 2008. Bailout 2020 yang sudah diumumkan pemerintah saat ini jauh lebih besar dari sebelumnya. Sehingga pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut sudah selayaknya diperketat. Bahkan setiap orang yang melakukan korupsi atas keuangan sehubungan dengan penanganan pandemi Covid-19 selayaknya dihukum seberat-beratnya, termasuk kemungkinan hukuman mati sesuai undang-undang," tukasnya.
Menurut dia, undang-undang yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi, salah satunya UU No 6 Tahun 2018 Tentang kekarantinaan Kesehatan. Hal tersebut dianggap sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020.
"Maka apabila lahirnya Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengenyampingan UU tertentu," tegas Dewi.
Selain itu, dia melihat Perppu Covid, khususnya Pasal 28, membuat wewenang Presiden berlebihan dan berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang. Dirinya pun mengutip sejarahwan, politisi dan penulis Inggris, John Emerich Edward, yang memandang kekuasaan cenderung korup dan sewenang-wenang, dan kekuasaan absolut membuat kerusakan dan kesewenang-wenangan secara absolut juga.
"Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa Perppu No 1 Tahun 2020 lebih mencerminkan constitutional dictatorship, dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan," pungkasnya.
Reporter: Putu Merta Surya Putra
Sumber: Liputan6.com
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jokowi mengatakan hal tersebut merupakan wewenang MK.
Baca SelengkapnyaMK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Baca SelengkapnyaMK menegaskan hanya meminta pembentuk undang-undang untuk mengatur ulang besaran angka dan persentase ambang batas parlemen.
Baca SelengkapnyaHal ini tercantum dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 dari perkara yang diajukan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Baca SelengkapnyaHakim Saldi meminta pemerintah menjelaskan alasan empat persen dijadikan ambang batas parlemen.
Baca SelengkapnyaPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Baca SelengkapnyaChico menegaskan, posisi dari Mahkamah Konstitusi (MK) adalah mengoreksi dari undang-undang yang dihasilkan DPR.
Baca SelengkapnyaMK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto menyampaikan terima kasih kepada MK.
Baca SelengkapnyaHamdan menilai PP itu cacat hukum lantaran saling tumpang tindih dan inkonsisten dengan peraturan hukum lainnya.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengklaim DPR dan pemerintah justru telah mengadopsi sebagian putusan MK
Baca SelengkapnyaUsulan hak angket itu tidak serius dan hanya meramaikan dinamika politik tiga bulan ke depan.
Baca Selengkapnya