Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Ini mitos sesat soal pilkada langsung yang dibantah dengan fakta

Ini mitos sesat soal pilkada langsung yang dibantah dengan fakta Demo RUU Pilkada. ©2014 merdeka.com/arie basuki

Merdeka.com - Polemik terkait UU Pilkada berakhir ketika Presiden SBY menerbitkan Perppu 1/2014 yang berisi pemilihan gubernur, bupati dan wali kota. SBY mengembalikan hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya yang sebelumnya dianulir dalam UU Pilkada yang disahkan DPR.

Saat pro kontra mengenai RUU Pilkada sedang hangat-hangatnya, kubu pendukung pilkada dikembalikan via DPRD selalu berargumen dengan menyebut pilkada langsung selama ini boros anggaran, politik biaya tinggi, rawan konflik antarpendukung calon, hingga kepala daerah banyak yang korupsi.

Mereka juga berargumen, pilkada melalui DPRD sesungguhnya tetap demokratis karena hanya semata-mata mengubah mekanisme saja dari yang dipilih rakyat diubah melalui wakil rakyat.

Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI membuat lembar fakta yang membantah mitos-mitos pilkada langsung yang selama ini didengungkan. Kajian ini diolah Puskapol dari berbagai sumber hasil riset: Perludem, Fitra, Puskapol, ICG, ICW dll.

Apa saja mitos-mitos pilkada langsung dan bagaimana fakta sesungguhnya? Berikut penjelasannya seperti dikutip merdeka.com dari rilis Puskapol UI, Jumat (10/10):

Mitos biaya penyelenggaraan pilkada mahal

Faktanya: Pilkada langsung yang demokratis bisa murah dan tidak harus mahal.Berdasarkan hasil penelitian Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) bahwa anggaran Pilkada pada tingkat kabupaten/kota untuk satu kali putaran berkisar antara Rp 5-28 miliar. Sementara pada tingkat provinsi anggaran Pilkada membutuhkan dana antara Rp 60-78 miliar. Menurut Fitra (2012), biaya penyelenggaraan pilkada provinsi Rp 100 M; pilkada kota/kabupaten Rp 25 M. Total untuk menyelenggarakan seluruh pilkada adalah sekitar Rp 17 triliun. Jika pilkada dilakukan secara serentak, anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pilkada sekitar Rp 10 triliun. Menghemat sekitar Rp 7 triliun tanpa mencabut hak pilih warga.Efisiensi anggaran dalam pelaksanaan Pilkada bisa dilakukan dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai demokratis. Tujuan utama demokrasi tidak boleh tereliminasi oleh permasalahan teknis seperti anggaran. Pemerintah dan parlemen harus menjawab tantangan melalui agenda perubahan undang-undang. Perubahan itu diharapkan mampu menciptakan desain baru, sehingga efisiensi anggaran pilkada dapat terwujud tanpa harus mengabaikan prinsip utama partisipasi warga.Beberapa alternatif dapat dikembangkan, seperti penggabungan Pilkada dalam satu waktu atau dilaksanakan serentak.Jika Pilkada dilaksanakan secara serentak seperti Pemilu Presiden dan Legislatif. Mekanisme ini memungkinkan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, bekerja dalam satu waktu. Dengan desain ini, ke depan KPU hanya akan melaksanakan pemilu 2 kali, yakni Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional.Mekanisme ini sangat mungkin dilakukan jika pemerintah dan parlemen serius untuk menata desain pilkada yang efisien, tapi tetap demokratis. Dengan pelaksanaan pilkada serentak, efisiensi anggaran khususnya honorarium bagi penyelenggara dapat dihemat. Penelitian Fitra untuk Pilkada Sumatera Barat 2010 misalnya, disebutkan bahwa penyelenggaraan Pilkada serentak menjadi murah dibandingkan dengan provinsi lain disebabkan dua hal, yaitu Sumatera Barat menyelenggarakan Pilkada serentak dilebih banyak kabupaten/kota, dan dalam struktur anggaran Provinsi Sumatera Barat tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada. 

Mitos pilkada menyebabkan kepala daerah melakukan korupsi

Faktanya: Partai politik berperan besar dalam mempengaruhi tingginya biaya politik pencalonan kepala daerah. Perkembangan 5 tahun terakhir menunjukkan Kepala Daerah yang dihasilkan dari Pilkada Langsung justru dekat dengan rakyat dan mengeluarkan ongkos politik yang relatif kecil.Pertama, biaya perahu pencalonan kepala daerah.Sudah menjadi rahasia umum, kandidat harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli perahu politik. Lebih-lebih perahu politik partai non-kursi DPRD. Untuk mencapai batas pencalonan 15% suara, partai non-kursi harus berkoalisi dengan beberapa partai. Akibatnya, masing-masing memiliki posisi tawar sama kuat satu dengan lainnya. Artinya kandidat harus mengeluarkan ongkos lebih besar untuk seluruh partai pengusung.Untuk biaya pencalonan kepada partai politik (ongkos perahu politik), Kompas (18/1) 2014 pernah menyebut angka Rp 60 hingga 100 miliar rupiah. Angka yang fantastis dan tak sebanding dengan pendapatan resmi yang bakal diterima Kepala Daerah. Siapa yang yang berperan besar membuat ongkos politik kandidasi menjadi besar? Tentu saja partai politik.Kedua, dana kampanye untuk politik pencitraan. Pilkada langsung merupakan tantangan bagi kandidat. Menuntut kandidat memiliki kedekatan dan dikenal oleh rakyat untuk memperoleh suara mayoritas. Tujuannya agar kepala daerah terpilih memiliki tanggung jawab serta memiliki kepedulian lebih besar dengan pemilih. Namun persoalan muncul ketika partai politik dan kandidat tidak bekerja secara maksimal peran dan fungsinya sebagai sarana sosialisasi dan mobilisasi dukungan.Cara-cara instan justru menjadi pilihan utama, pencitraan melalui media cetak, elektronik dan ruang-ruang publik lainnya dengan hanya menampilkan gambar wajah semata.Pemilih diposisikan semata-mata sebagai komoditi politik. Pemilih disuguhkan iklan politik tanpa dapat mengenal lebih jauh kandidat.  Konsekuensinya, kekuatan modal menjadi pendukung utama. Ongkos konsultasi dan survei pemenangan menjadi sesuatu yang tidak terhitung murah. Tentunya tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan. Untuk satu kali survei di satu kabupaten/kota biaya survei bisa minimal 150 Juta, sementara survei dilakukan bisa hingga tiga kali untuk satu kandidat.Kandidat yang tidak memiliki kedekatan dengan rakyatnya, cenderung menggunakan uang untuk mengangkat popularitasnya agar bisa dikenal dalam waktu sekejap. Sementara pola dan kecenderungan tahun-tahun belakangan, pemimpin yang dihasilkan dari Pilkada Langsung justru dekat dengan rakyat dan mengeluarkan ongkos politik yang relatif kecil. Bahkan semangat kerelawanan warga yang mulai terbentuk bisa mendorong partisipasi  warga, bahkan membantu biaya kandidasi secara swadaya.

Mitos pilkada rawan konflik dan mengancam persatuan bangsa

Faktanya: Pilkada langsung selama 10 tahun mampu meredam berbagai potensi konflik separatis.Pemahaman tentang konflik harus dilihat secara jernih. Misalnya perbedaan pendapat. Perbedaan pilihan, hingga sengketa hasil Pilkada tidak dapat serta merta dianggap sebagai konflik. Hal tersebut adalah wujud dari kebebasan untuk berbeda pendapat secara terbuka. Kebebasan berbeda pendapat secara terbuka merupakan inti dari demokrasi. Ini hanya dimungkinkan terjadi dalam Pilkada langsung.International Crisis Group (ICG): dari 244 pilkada yang terjadi pada tahun 2010, 20 pilkada terjadi peristiwa kekerasan jumlahnya memang sedikit tapi tahun 2010 angka kekerasan dalam pilkada meningkat. Tercatat ada 13 kasus kekerasan yang terjadi dalam pilkada antara tahun 2005-2008. Untuk menurut ICG perlu dilakukan beberapa perbaikan agar konflik Pilkada tidak meningkat menjadi konflik dengan peristiwa kekerasan, seperti:Netralitas polisi dan peningkatan kemampuan polisi untuk mengidentifikasi dan bergerak untuk mencegah potensi peristiwa kekerasan terjadi. Kemudian peningkatan kapabilitas dan independensi KPUD dan Panwaslu agar bisa mengeluarkan kebijakan yg adil dan memiliki kemampuan untuk menangani situasi krisis saat konflik untuk mencegah konflik meningkat jadi konflik dengan peristiwa kekerasan.

Mitos masyarakat Indonesia belum siap

Selama ini ada anggapan bahwa rakyat Indonesia dianggap belum rasional dan rentan terlibat politik transaksional (jual beli suara) yang menyuburkan politik uang.Faktanya: Hasil riset Puskapol UI di sejumlah daerah yang melakukan Pilkada Langsung menunjukkan masyarakat/pemilih semakin rasional. Pemilih yang menerima politik uang tidak lebih dari 30%, dan hanya 18% yang bisa dimobilisasi untuk memilih sesuai kandidat yang memberi uang. Dalam pilkada langsung setidaknya ada dua transaksi politik non programatik yang terjadi. Pertama, transaksi antar elite untuk biaya 'sewa perahu', 'mahar' dan istilah lain utk biaya pembentukan koalisi untuk mengusung kandidat kepala daerah. Kedua, transaksi antara kandidat dengan warga dalam bentuk jual beli suara. Artinya, politik uang dalam pilkada itu bersumber dari para elite yang mengalir ke elite itu sendiri dan juga ke warga. Warga tidak bisa serta merta disalahkan sebagai penyebab terjadinya politik uang. Politik uang lebih mengarah ke perilaku elite yang membeli suara warga karena kandidat yang diusung bukan figur yang dikenal warga dan tidak memiliki rekam jejak atau kerja masyarakat yang baik bagi warga setempat sehingga mereka mencoba membeli suara untuk melancarkan langkah mereka.

Mitos pilkada via DPRD hanya pengubahan mekanisme saja

Kubu pro pilkada via DPRD menggunakan argumen penggantian pilkada langsung dengan pilkada oleh DPRD merupakan masalah perubahan mekanisme semata yang dianggap sama-sama konstitusional dan demokratis.Faktanya: Kita sudah melewati proses sejarah yang panjang di antaranya Pilkada oleh Presiden dan oleh DPRD. Evaluasi terhadap mekanisme ini menunjukkan Pilkada tidak langsung selama puluhan tahun telah menghasilkan tidak dimungkinkannya pengawasan oleh rakyat, dominasi partai dan elite politik dalam menentukan kepala daerah, praktik korupsi, dan melanggengkan oligarki partai. Hanya melalui Pilkada langsung rakyat bisa ikut menentukan secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpinnya di daerah. Tidak ada satupun sistem yang dapat menjamin secara menyeluruh tidak akan terjadi korupsi. Namun, perbedaan yang sangat tegas terletak pada peluang rakyat untuk melakukan partisipasi politik dan melakukan pengawasan secara langsung terhadap kepala daerah terpilih.Hal ini hanya terdapat dalam Pilkada Langsung. (mdk/bal)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
CEK FAKTA: Hoaks Kecurangan PDIP Terbongkar, Bangun TPS Khusus di Lapas Demi Menang Pilpres 2024
CEK FAKTA: Hoaks Kecurangan PDIP Terbongkar, Bangun TPS Khusus di Lapas Demi Menang Pilpres 2024

Beredar unggahan terbongkarnya kecurangan PDIP demi menang Pilpres 2024

Baca Selengkapnya
Lawan Kata Fakta dan Ciri-Cirinya, Penting Diketahui
Lawan Kata Fakta dan Ciri-Cirinya, Penting Diketahui

Dengan memahami fakta, kita dapat lebih kritis dalam menilai informasi yang kita terima dan membedakan antara informasi yang dapat diandalkan dan yang tidak.

Baca Selengkapnya
Bawaslu Temukan Joki Pantarlih Pilkada DKI 2024, Begini Penjelasan KPU
Bawaslu Temukan Joki Pantarlih Pilkada DKI 2024, Begini Penjelasan KPU

Bawaslu DKI Jakarta menyebut ada empat pantarlih yang diduga telah menggunakan joki untuk melakukan pencocokan dan penelitian calon pemilih.

Baca Selengkapnya
CEK FAKTA: Hoaks Cincin Perusak Surat Suara Pemilu 2024
CEK FAKTA: Hoaks Cincin Perusak Surat Suara Pemilu 2024

Klaim cincin lancip perusak lembar suara Pilpres 2024 adalah tidak benar.

Baca Selengkapnya
Hasto Pasang Badan, Tepis Pernyataan Sekjen PSI soal Isu Presiden 3 Periode buat Fitnah Jokowi
Hasto Pasang Badan, Tepis Pernyataan Sekjen PSI soal Isu Presiden 3 Periode buat Fitnah Jokowi

Raja Juli Antoni merasa Presiden Jokowi akhir-akhir difitnah karena pernyataan elite politik.

Baca Selengkapnya
5 Contoh Kalimat Fakta dan Opini, Pahami Agar Tak Salah Kaprah
5 Contoh Kalimat Fakta dan Opini, Pahami Agar Tak Salah Kaprah

Contoh kalimat fakta dan opini agar tidak salah dalam membedakannya.

Baca Selengkapnya
Sepekan Jelang Pencoblosan, Kampanye Hitam Pilkada Sumsel Masih Marak di Medsos
Sepekan Jelang Pencoblosan, Kampanye Hitam Pilkada Sumsel Masih Marak di Medsos

Fenomena ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada kualitas proses demokrasi hingga berpotensi menimbulkan konflik antar pendukung calon kepala daerah.

Baca Selengkapnya
Poltracking Jelaskan Proses Survei Pilkada Jakarta, Tegaskan Bukan Konsultan Salah Satu Kandidat
Poltracking Jelaskan Proses Survei Pilkada Jakarta, Tegaskan Bukan Konsultan Salah Satu Kandidat

Hal ini menanggapi perbedaan hasil survei Poltracking Pilgub Jakarta hingga memutuskan keluar dari Persepi. Poltracking juga diberi sanksi oleh Persepi.

Baca Selengkapnya
Penjelasan KPU Soal Diagram Perolehan Suara Pilpres dan Pileg di Sirekap Mendadak Hilang
Penjelasan KPU Soal Diagram Perolehan Suara Pilpres dan Pileg di Sirekap Mendadak Hilang

Diagram perolehan suara Pilpres yang biasanya ditampilkan pada laman Sirekap menghilang.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Dilaporkan Bikin Hoaks Pemilu, Aiman Ngaku Tak Sebut Polri Tapi Oknum
VIDEO: Dilaporkan Bikin Hoaks Pemilu, Aiman Ngaku Tak Sebut Polri Tapi Oknum

Aiman mengaku bukan polisi tidak netral dalam Pemilu, melainkan oknum

Baca Selengkapnya
Contoh Kalimat Opini dan Fakta Beserta Pengertiannya
Contoh Kalimat Opini dan Fakta Beserta Pengertiannya

Kumpulan contoh kalimat opini dan fakta berdasarkan ciri-cirinya.

Baca Selengkapnya
VIDEO: KPU & Bawaslu Cawe-Cawe Tegaskan Tak Ada Bukti Penggelembungan Suara PSI
VIDEO: KPU & Bawaslu Cawe-Cawe Tegaskan Tak Ada Bukti Penggelembungan Suara PSI

Bawaslu buka suara terkait dugaan penggelembungan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Baca Selengkapnya