Kemendagri: Aspek Manajerial & Politik Berperan Penting dalam Pilkada
Merdeka.com - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai aspek manajerial dan politik merupakan variabel penting dalam pelaksanaan Pilkada. Di samping ada aspek hukum yang juga beriringan. Selain itu variabel penting lainnya adalah kepercayaan dan tingkat kepuasan masyarakat yang tinggi terhadap penyelenggaraan pemerintahan.
Demikian diungkapkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik, di Jakarta, Selasa (8/12). Menurut Akmal, untuk membangun keseimbangan tersebut perlu dibangun suatu mekanisme Pilkada multikultural yang tidak seragam di setiap daerah. Pemilihan yang disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing atau asymetrical election. Itu pula, yang ia angkat dalam disertasi doktoralnya sebagai mahasiswa S3 Ilmu Administrasi Publik Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang.
"Pelaksanaan Pilkada langsung dan serentak di Indonesia, merupakan salah satu bentuk administrasi publik yang penting dalam rekrutmen kepemimpinan lokal di Indonesia," katanya.
-
Bagaimana Pilkada Serentak diadakan? Dalam sistem presidensial, pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang menciptakan akuntabilitas dan legitimasi bagi pemimpin daerah.
-
Siapa yang berperan dalam pelaksanaan Pilkada di Indonesia? Pilkada memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai kinerja pemimpin yang sedang menjabat.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kenapa Pilkada Serentak dilakukan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.
-
Kenapa Pilkada dilakukan secara serentak? Pilkada serentak 2015 digelar untuk daerah-daerah dengan masa jabatan kepala daerah yang habis pada periode 2015 sampai Juni 2016.
Akmal lantas mengutip pendapat seorang pakar bernama Roosenbloom. Menurut Akmal, Roosenbloom mengungkapkan ada 3 pendekatan yang dipakai untuk melihat administrasi publik dalam Pilkada. Tiga pendekatan itu, manajerial, politik dan hukum. Namun pendekatan manajerial dan politik lebih sering menjadi bahan sorotan publik. Walaupun akhirnya tetap harus mengikutsertakan pendekatan hukum dalam pembahasannya.
"Sejarah pelaksanaan Pilkada sebagai administrasi publik di Indonesia, belum pernah menunjukkan terjadinya keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal," tuturnya.
Kata Akmal, keseimbangan antara pendekatan manajerial dan politik secara ideal, selalu menunjukkan fakta disparitas yang cukup tinggi diantara keduanya. Disparitas itu mulai dari hadirnya UU Nomor 1 Tahun 1945 yang lebih menonjolkan pendekatan manajerial, hingga hadirnya UU Nomor 10 Tahun 2016 yang lebih menekankan pendekatan politik. Disparitas antara pendekatan manajerial dan politik ini, membawa Pilkada di Indonesia pada posisi kinerja yang belum optimal.
"Karena mengabaikan hakekat dan substansi demokrasi yang sesungguhnya, yaitu terpilihnya pemimpin lokal yang mampu memberikan pelayanan terbaik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya," ujarnya.
Maka, kata dia, berangkat dari banyaknya permasalahan itu, ditambah lagi dengan isu-isu pelaksanaan Pilkada, antara lain belum akuratnya data kependudukan, ASN yang tidak netral, dan kondisi politik lokal yang tidak kondusif yang mengganggu ekonomi, perlu digali formulasi Pilkada yang tepat. Dan apa yang diperlukan agar Pilkada langsung dan serentak ini tidak hanya sukses dilaksanakan tapi juga menghasilkan kepala daerah yang berkualitas.
"Saya dalam menganalisis ini menggunakan pendekatan teori Rosenbloom yang melihat suatu kebijakan publik dari aspek politik, manajerial dan hukum. Saya menganalisis bagaimana pelaksanaan Pilkada serentak dan langsung di Indonesia. Namun saya hanya berfokus pada aspek politik dan manajerial saja," kata Akmal.
Kajian kata Akmal, diawali dengan melakukan evaluasi terhadap regulasi tentang Pilkada yang pernah ada. Akmal Malik mengungkapkan ada sejumlah fakta terkait aspek politik dan manajerial dalam Pilkada. Pada Orde Baru dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, aspek manajerial lebih tinggi dibandingkan aspek politik, dimana pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui DPRD. Sehingga lebih efektif, efisien dan ekonomis. Namun kelemahannya adalah aspek partisipasi dan keterwakilan politik dari masyarakat relatif kurang terakomodasi.
"Pada masa reformasi, saat diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 aspek politik tinggi, tapi dalam praktiknya aspek manajerial juga tinggi dimana ditandai banyaknya partai politik yang berkembang atau tingginya aspek politik. Sedangkan pemilihan tetap dilaksanakan oleh DPRD, atau tingginya aspek manajerial. Disini DPRD tidak bisa berperan hanya mewakili partai politik saja tapi harus mendengarkan suara masyarakat," urai Akmal.
Selanjutnya, kata dia, pada masa pasca reformasi Pilkada dilaksanakan mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 yaitu melalui pemilihan langsung. Pendekatan ini memiliki aspek politik karena masyarakat bisa langsung memilih pemimpinnya. Sehingga legitimasi politiknya sangat kuat. Tapi dari sisi manajerial, Pilkada ini berbiaya yang sangat tinggi dan dianggap kurang efisien.
"Merespon hal tersebut, UU Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan revisi dengan UU Nomor 22 Tahun 2014 dimana aspek manajerial menjadi pertimbangan utama. Namun UU Nomor 22 Tahun 2014 tersebut dicabut dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015 dan di ubah menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016," katanya.
Berdasarkan undang undang ini, kata Akmal, Pilkada dilaksanakan secara langsung. Sehingga legitimasi politik tinggi, karena setiap masyarakat dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung. Dan juga dilakukan secara serentak agar biaya penyelenggaraan dapat lebih efisien. Perubahan undang-undang ini mengarah pada keseimbangan antara aspek politik dan aspek manajerial dimana hak hak politik dari warga negara tidak terganggu. Tapi disisi lain efektif dan efisiensi dalam pelaksanaan juga terjaga melalui mekanisme keserentakan Pilkada.
"Terhadap upaya untuk mencari format Pilkada yang ideal, yang seimbang antara aspek manajerial dan politik, saya coba untuk melakukan analisis dari berbagai variabel. Dari sisi struktur organisasi, untuk mencapai keseimbangan, maka struktur organisasi pelaksana disetiap daerah disesuaikan dengan kebutuhan masing masing wilayah," katanya.
Selain itu, ujarnya, perlu dilakukan perbaikan komunikasi berbagai pihak yang terlibat maupun tidak terlibat dalam Pilkada langsung dan serentak. Keseimbangan akan tercapai jika leadership penyelenggara yang baik dan jika seluruh stakeholder terutama partai politik dan masyarakat saling melakukan pengawasan. Dari sisi nilai, Pilkada adalah ajang untuk mencari pemimpin yang tidak hanya mewakili kepentingan sebagian besar warganya namun juga responsif terhadap kebutuhan warganya. Kepercayaan warga dan kepuasan terhadap hasil kinerja pimpinan hasil Pilkada menjadi dua hal yang penting dan tidak terpisahkan.
"Selain hal tersebut di atas, saya menemukan bahwa aspek kepercayaan warga dan kepuasan warga masyarakat menjadi variable penting untuk kesuksesan pelaksanaan Pilkada. Keseimbangan aspek politik dan manajerial akan tercapai jika proses politik dapat berjalan dengan baik dan lancar, tapi juga kepala daerah yang dihasilkan juga merupakan kepala daerah yang berkualitas. Hal itu dapat tercapai apabila kepercayaan masyarakat tinggi, dan kepuasan masyarakat terhadap kinerja lembaga publik juga tinggi," tuturnya.
Jadi kesimpulannya, kata Akmal, dari hasil penelitian yang dilakukan yang kemudian dituangkan dalam disertasi doktoralnya, membuktikan bahwa kepercayaan dan kepuasan masyarakat menjadi kunci sukses Pilkada langsung dan serentak. Utamanya pada saat kondisi pandemi seperti sekarang ini.
"Selain itu, keseimbangan aspek manajerial dan politik dalam pelaksanaan Pilkada juga penting,"kata Akmal.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Setiap Pilkada menghadirkan berbagai dinamika politik, mulai dari proses pencalonan, kampanye, hingga hari pemungutan suara.
Baca SelengkapnyaPemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah salah satu proses demokrasi yang krusial di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPilkada kepanjangan dari pemilihan kepala daerah, ketahui pengertian dan perbedaannya dengan pemilu.
Baca SelengkapnyaPilkada merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
Baca SelengkapnyaKomisi Pemilihan Umum (KPU) mulai membuka pendaftaran calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024 pada hari ini, Selasa (27/8).
Baca SelengkapnyaPilkada Serentak 2024 adalah salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Baca SelengkapnyaPengertian Pilkada beserta sejarahnya yang perlu diketahui.
Baca SelengkapnyaPilkada 2024 merupakan momen penting dalam demokrasi Indonesia. Berikut teknis penyelenggaraan Pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaPilkada adalah singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah. Pilkada dilakukan untuk memilih wakil kepala daerah di seluruh Indonesia.
Baca SelengkapnyaPilkada ini menjadi momen krusial bagi masyarakat untuk menentukan arah pembangunan dan kebijakan di daerah masing-masing.
Baca SelengkapnyaPilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin lokal yang terbaik.
Baca SelengkapnyaPilkada dan Pemilu serentak memiliki beberapa perbedaan mendasar.
Baca Selengkapnya