Ketua Komisi VII DPR Usul Bentuk Pansus Divestasi Saham Freeport
Merdeka.com - Pemerintah melalui Inalum membeli 51 persen saham Freeport. Namun, hal tersebut dinilai menyalahi aturan dan terkesan dipaksakan.
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu menilai, ada kesepakatan yang dilanggar oleh pemerintah dalam proses divestasi saham itu. Salah satunya soal dampak lingkungan dari penambangan Freeport di Papua.
Gus Irawan bahkan menilai, pemerintah ingin menguasai saham Freeport hanya untuk tampak hebat saja. Terlebih, duit Rp 57 triliun yang digunakan untuk membeli saham itu berasal dari utang.
-
Siapa yang terlibat? Konflik pribadi adalah konflik yang melibatkan satu individu dengan individu lainnya.
-
Siapa yang diduga melanggar prosedur? Polres Metro Jakarta Barat telah menugaskan Propam untuk menyelidiki oknum anggota Unit Narkoba Polsek Tambora yang menangkap penyanyi dangdut Saipul Jamil.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Siapa yang dilaporkan melanggar aturan Pilpres? Kubu pasangan Calon Presiden nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar heran laporan dugaan pelanggaran pemilu terhadap Calon Wakil Presiden nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka tidak diproses.
-
Siapa yang meminta polisi kaji ulang pasal GT? Kasus ini pun turut mendapat sorotan khusus dari Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Politikus NasDem tersebut melihat, apa yang dilakukan oleh Ronald, diduga memang diarahkan atau dimaksudkan untuk membunuh korban.'Yakin polisi tidak menilai ini sebagai kasus pembunuhan? Coba deh kepolisian kaji ulang pasal sangkaan terhadap tersangka.'
-
Siapa anggota Paspampres yang terlibat? Dimana dari ketiga tersangka yang ditetapkan hanya ada Praka RM yang merupakan anggota Paspampres.
"Transaksi Freeport ini gagah-gagahan saja kelihatannya. Karena ini sudah melanggar kesepakatan, kesimpulan rapat yang diteken oleh pimpinan rapat oleh saya sendiri dengan Dirjen Minerba, Dirut Freeport Tony Wenas sama Dirut Inalum. Nanti bisa dicek poin kedua dari kesimpulan rapat itu. Kesepakatannya adalah transaksi divestasi itu dilakukan setelah masalah lingkungannya diselesaikan," kata Gus Irawan kepada wartawan, Senin (24/12).
Dia pun mengusulkan untuk dibentuk Pansus divestasi Saham Freeport. Sebab, ada kesepakatan yang dilanggar pemerintah dalam rapat Komisi VII DPR beberapa waktu lalu itu. Hal ini, menurutnya, tidak bisa dianggap remeh.
Gus Irawan melihat ada kesan akuisisi saham Freeport ini terlalu dipaksakan. Dia curiga, pemerintah akhirnya menempuh jalan apapun, termasuk melanggar kesepakatan dengan DPR demi menguasai saham Freeport.
"Kalau ada kesepakatan yang dilanggar, kami akan usut lebih jauh. Kalau perlu bentuk pansus untuk meneliti itu. Apakah ini berkaitan dengan tahun politik. Barangkali ada namanya sisi politis, atau ada siapa yang bermain. Kayak ini kan sangat dipaksakan dan sangat terburu-buru," kata Gus Irawan.
Politikus Gerindra itu meyakini, persoalan lingkungan ekosistem belum diselesaikan oleh pemerintah dan Freeport. Apalagi, kata dia, ada ganti rugi senilai Rp 185 triliun dalam persoalan lingkungan itu.
"Apa betul kemudian lingkungan yang terkorbankan ekosistem yang senilai Rp 185 triliun itu sudah diselesaikan. Saya tidak yakin bahwa itu selesai," kata Gus Irawan.
Gus Irawan lebih memilih agar masa kontrak karya Freeport itu habis tahun 2021. Bukan malah membeli sahamnya dan memperpanjang kerja sama.
Dia juga mempersoalkan terkait hak partisipasi (participating interest) sebesar 40 persen yang dimiliki Rio Tinto. Hak ini akan dikonversi menjadi saham sebagai upaya pemerintah mengendalikan saham mayoritas sebesar 51 persen. Rio Tinto adalah perusahaan tambang dunia yang berkedudukan di Inggris.
"Tiba-tiba yang dibeli itu participating interest-nya Rio Tinto, lalu itu dikonversi jadi saham. Jadi enggak ada lho sama sekali saham Freeport McMoran itu yang dibeli. Sama kemudian sahamnya Indocopper," beber Gus Irawan.
Surat utang untuk membeli saham Freeport juga tak luput dari kritikan. Padahal, kata Gus Irawan, awalnya pemerintah ingin pinjam uang dari Bank luar negeri. Tapi kenyataannya malah global bond.
"Dulu isunya pembiayaan bank, sudah ada 11 bank, setelah tiga mundur masih ada 8 bank. Saya dari awal tidak yakin karena isu lingkungan di perbankan internasional sangat jadi perhatian. Akhirnya, rupanya pembiayaan itu diperoleh dari penerbitan global bond. Yang saya baca itu global bond semua. Jadi bukan pinjaman atau kredit bank, tapi surat utang," kata dia.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pembentukan pansus tersebut dinilai sangat penting untuk mengungkap sengkarut izin tambang
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi VII, Muhammad Nasir blak-blakan aksi mafia migas di Inhil.
Baca SelengkapnyaSeluruh pimpinan dan anggota DPD yang menyetujui pembentukan pansus itu kecurangan pemilu harus diproses Badan Kehormatan DPD RI.
Baca SelengkapnyaUsulan Pansus Polusi Jakarta muncul setelah menerima tuntutan dari warga
Baca SelengkapnyaAnggota Pansus Angket Haji DPR RI Wisnu Wijaya mengungkapkan ada pihak tak bertanggungjawab yang memberikan tekanan kepada para anggota pansus angket haji.
Baca SelengkapnyaDPR membentuk pansus hak penyelenggaraan ibadah haji 2024 menyusul adanya berbagai temuan Timwas dalam penyelenggaraan Ibadah Haji
Baca SelengkapnyaDPR didesak untuk membuat pansus untuk menyelesaikan skandal impor beras bulog
Baca SelengkapnyaRevisi UU Pilkada dinilai menguntungkan individu atau kelompok tertentu sehingga dianggap merupakan bentuk korupsi kebijakan.
Baca SelengkapnyaRieke Diah Pitaloka, menyoroti soal kasus dugaan korupsi pengelolaan dana sawit oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS)
Baca SelengkapnyaBambang mengaku, belum mengetahui apakah revisi UU Polri akan dibahas di Komisi III DPR RI atau tidak.
Baca SelengkapnyaSofwan Dedy Ardyanto menekankan, metode atau tata cara pembahasan sebuah undang-undang lebih penting dari pada substansinya.
Baca SelengkapnyaKomisi IV DPR menilai, pembentukan Pansus di DPR diperlukan untuk mengungkap segala kebenaran terkait skandal impor beras.
Baca Selengkapnya