Koruptor Dihukum Mati Bisa Timbulkan Efek Jera?
Merdeka.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak masalah apabila pelaku korupsi harus dihukum mati. Namun, sikap Jokowi ini diingatkan agar tak salah menentukan arah kebijakan pemberantasan korupsi.
Direktur Eksekutif ICJR, Anggara mengatakan, penggunaan hukuman yang keras selama ini tidak pernah menunjukkan hasil yang diharapkan.
Dia memandang, pemberantasan korupsi akan jauh lebih efektif jika memaksimalkan langkah-langkah pencegahan melalui perbaikan sistem pemerintahan dan penegakan hukum. Tujuannya, agar memiliki tingkat transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
-
Bagaimana Jawa Tengah meningkatkan pelayanan publik dan pencegahan korupsi? Selain itu, upaya-upaya terobosan dalam pelayanan publik dan pencegahan korupsi juga perlu terus dilakukan, agar masyarakat bisa terlayani dengan baik.
-
Bagaimana persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi? Survei Indikator menunjukkan bahwa responden menilai kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buruk, dengan jumlah persentase sebesar 32,7 persen.
-
Gimana cara OJK tekan korupsi? Komitmen antikorupsi OJK tersebut kata Mahendra, diturunkan juga kepada industri jasa keuangan dengan memastikan ketentuan yang diterbitkan OJK mampu menciptakan tata kelola yang efektif di industri jasa keuangan sehingga bisa meminimalkan kemungkinan korupsi.
-
Kenapa OJK berusaha hilangkan korupsi? 'Korupsi menimbulkan ketidakstabilan, memperlambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, bahkan menggerogoti kepercayaan dan integritas serta kredibilitas dari suatu bangsa dan negara.' 'Sehingga, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa yang harus dicegah dan dilawan di seluruh dunia,' kata Mahendra.
-
Bagaimana cara individu melawan korupsi? Setiap individu memiliki peran penting dalam memerangi korupsi melalui tindakan-tindakan yang sederhana. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain adalah menolak untuk terlibat dalam praktik suap, melaporkan setiap tindakan korupsi yang terlihat, serta mendukung upaya transparansi dalam pemerintahan. Selain itu, menjalani kehidupan dengan prinsip integritas juga merupakan langkah yang sangat berarti.
-
Mengapa persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi menurun? Adapun jika melihat trennya, persepsi positif menurun, sebaliknya persepsi negatif meningkat.
Menyambut hari antikorupsi 9 Desember lalu, Jokowi membuka kemungkinan penjatuhan hukuman mati bagi koruptor yang dilontarkan oleh salah satu siswa di SMKN 57 Jakarta.
Jokowi menyatakan tidak menutup kemungkinan penjatuhan hukuman mati dalam kasus korupsi jika masyarakat memang menghendaki.
Namun Anggara menekankan, Jokowi sepertinya perlu berkali-kali diingatkan bahwa agenda melanggengkan budaya Penal Populism semacam ini merupakan penghalang terbesar dalam perumusan kebijakan rasional yang berbasis bukti (evidence-based policy).
"ICJR menilai bahwa penghukuman keras seperti hukuman mati khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia justru malah tidak akan efektif," tambah Anggara dalam siaran pers, Selasa (10/12).
Indeks Persepsi Korupsi
ICJR merinci, negara-negara yang menduduki 20 peringkat tertinggi Indeks Persepsi Korupsi mayoritas berasal dari kawasan Australia dan Eropa seperti Denmark, Finlandia, Swedia, Swiss, Belanda, Norwegia, Inggris, dan Jerman yang nilainya mencapai kisaran antara 70 hingga 91 dari total nilai tertinggi 100.
"Sedangkan negara Tiongkok, sekalipun telah menerapkan hukuman mati bagi koruptor, tidak mengalami peningkatan nilai yang signifikan," katanya.
Sejak 2015 hingga 2018, nilai Indeks Persepsi Korupsi negara Tiongkok masih berkisar antara 37 hingga 41. Nilai tersebut pun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang berkisar antara 36 hingga 38 pada 2015 hingga 2018.
Dengan demikian, data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan hukuman mati tidak berpengaruh terhadap tren korupsi. Namun sebaliknya, tanpa menerapkan hukuman mati pun, negara-negara seperti di kawasan Australia dan Eropa tersebut terbukti dapat berhasil terbebas dari masalah korupsi.
Anggara melanjutkan, penerapan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi akan menjadi kontraproduktif khususnya dalam konteks penindakan dengan metode ekstradisi pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri.
Program MLA (Mutual Legal Assistance) yang merupakan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain kemungkinan besar tidak akan dapat berjalan.
Menurut hukum yang berlaku di negara-negara Eropa, Australia, dan Argentina misalnya, permohonan ekstradisi akan ditolak apabila orang yang akan diekstradisi berpotensi diancam dengan pidana mati atau apabila negara yang menjadi tujuan ekstradisi tidak dapat menjamin bahwa pidana mati tidak akan diterapkan pada orang yang diekstradisi.
"Oleh karenanya, pilihan untuk menerapkan hukuman mati malah akan menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi," tegas ICJR lagi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, ICJR kembali mengingatkan agar Presiden dapat menghindari budaya Penal Populism khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Penal Populism hanya mengandalkan suasana emosional sesaat tanpa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan berbasis bukti/data yang dapat mendukung pemilihan kebijakan yang dimaksud.
"Tidak heran, kebijakan-kebijakan yang dilandasi dengan nuansa penal populism pasti tidak akan pernah dapat meraih tujuan dan target yang diharapkan," kata dia.
Sehingga untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, Presiden perlu mendorong gebrakan-gebrakan kebijakan yang lebih menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan mereformasi sistem pemerintahan dan penegakan hukum agar lebih transparan dan akuntabel.
Menkum HAM Ikut Komentar
Menteri Hukum Dan HAM Yasonna Laoly menyebut hukuman mati untuk tindak pidana korupsi sudah diatur dalam undang-undang. Namun apabila yang dikorupsi adalah dana bencana alam.
"Yang dimungkinkan itu kan kepada orang yang melakukan korupsi terhadap bencana alam, yang menyangkut itu. Tapi kan dalam praktik pernah ada di Lombok yang gempa baru ada kasus seperti itu, tapi kan hukumannya, itu kan ancaman maksimal," kata Yasonna di Istana Negara, Jakarta, Senin (9/11).
Yasonna tidak dalam posisi setuju atau tidak koruptor dihukum mati di luar korupsi bencana alam. Dia masih melihat wacana yang bergulir di masyarakat.
"Itu Pak Presiden bilang kalau ada wacana itu akan dibahas nanti. Tapi UU-nya sekarang kan ada, yang jelas ada, tapi belum pernah dipakai juga. Ada juga kemarin di Lombok, kan itu besarannya," ucapnya.
Politikus PDIP itu menyebut, beratnya hukuman bagi koruptor dana bencana alam juga ada pertimbangan. Jika nilainya besar, tidak ada ampun.
"Itu semua dalam pertimbangan. Kalau emang bencana alam, tapi dia korupsi Rp10 juta. Kan ada variabel-variabel yang harus dipertimbangkan. Kalau misalnya ada dana bencana alam Rp100 miliar, dia telan Rp25 miliar, wah itu sepertiga dihabisi sama dia, ya itu lain cerita," ujar Yasonna.
Pertanyaan Anak SMK
Perihal hukuman mati ini mendadak mencuat di Hari Antikorupsi Sedunia hari ini, usai seorang anak SMK 57 Jakarta bernama Harley Hermansyah bertanya kepada Presiden Jokowi, mengapa koruptor tak langsung dihukum mati kala terbukti bersalah.
Presiden Jokowi pun menjawab hal itu memungkinkan saja bila ada masyarakat berkehendak bisa dimasukkan dalam RUU Tipikor.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor itu dimasukkan," kata Jokowi.
Menilik UU Tipikor, termaktub Pasal 2 ihwal korupsi bencana alam yang menyengsarakan hidup orang banyak yang dapat dijatuhi hukuman mati.
KPK sendiri sebelumnya sempat mengkaji Pasal 2 UU Tipikor tersebut dalam kasus dugaan penerimaan hadiah dan janji oleh pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait pelaksanaan proyek pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Tahun Anggaran 2017-2018.
Dalam kasus tersebut, terdapat dugaan suap salah satunya terkait dengan proyek pembangunan SPAM di daerah bencana, di Donggala, Palu, Sulawesi Tengah yang baru saja terkena bencana tsunami September tahun lalu.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menurut Ganjar, cara memberi efek jera adalah memiskinkan koruptor.
Baca SelengkapnyaKepada presiden terpilih KPK berharap RUU Perampasan Asen disahkan
Baca SelengkapnyaMenurut Anies, mengirim koruptor ke Nusakambangan bukan cara efekif untuk memberantas korupsi.
Baca SelengkapnyaPenghitungan kerugian ekonomi negara bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara korupsi.
Baca SelengkapnyaMenko Luhut Binsar Panjaitan blak-blakan bahwa praktik korupsi tak mungkin bisa hilang dari Indonesia.
Baca SelengkapnyaMenurut Andi, pemerintah tengah mendiskusikan untuk melanjutkan pengajuan RUU Perampasan Aset ke DPR RI dalam program legislasi nasional.
Baca SelengkapnyaKejaksaan Agung diingatkan agar tidak hanya mengedepankan penindakan, tapi perbaikan sistem internal.
Baca SelengkapnyaPerlu ada evaluasi total karena banyak perjabat Indonesia yang terjerat korupsi
Baca SelengkapnyaSisi penegakan hukum utamanya bisa berkeadilan dan dilakukan demi meminimalisasi korupsi di Indonesia.
Baca SelengkapnyaPeringatan itu disampaikan Burhanuddin dalam Rakornas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di SICC, Bogor, Kamis (7/11).
Baca Selengkapnya