Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Masyarakat berubah pilihan jika capresnya korupsi

Masyarakat berubah pilihan jika capresnya korupsi ilustrasi korupsi. ©2012 Merdeka.com

Merdeka.com - Saat ini masyarakat sudah sepenuhnya sadar semua partai korup. Masyarakat mengharapkan tokoh calon presiden yang betul-betul bersih dari korupsi.

"Jawaban masyarakat ini bisa dijadikan alasan untuk menyandera elite partai. Partai harus mau membuka diri. Memberikan peluang pada tokoh-tokoh yang bersih dan mendapatkan dukungan publik," kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Vermonte, di Kantor CSIS, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Minggu (1/12).

Philips mengungkapkan, keinginan kuat masyarakat itu tampak dalam survei CSIS yang dilakukan November kemarin. Hasil survei menyebutkan, satu-satunya alasan responden mengubah pilihannya capresnya jika terkena kasus korupsi.

Orang lain juga bertanya?

"Saat responden ditanyakan apa yang mengubah pilihan pada 2014 jika sudah memiliki figur pilihan? Ada 50,2 persen menjawab korupsi, 12,8 persen menjawab pasangan tidak pas, dan 8 persen menjawab menjawab sejarah buruh tokoh akan HAM dan yang lainnya," papar Philips.

Namun, jawaban tidak memilih tokoh figur capres yang bersih itu tidak diikuti hukuman yang setimpal kepada partai-partai yang juga membela kadernya yang jelas-jelas korupsi. Philips mencontohkan bagaimana Partai Demokrat yang tidak membela kadernya yang korup tapi tetap dihukum oleh masyarakat.

"Kurang dekat apa coba Andi Mallarangeng dengan Presiden SBY. Kita lihat Partai Demokrat tidak membela kadernya yang korup. Bandingkan dengan PKS yang sebagian kadernya menilai kasus korupsi yang menimpa pimpinannya sebagai rekayasa. Demikian juga partai-partai lain yang jelas-jelas membela kadernya yang kena kasus korupsi, tapi hukuman yang diberikan masyarakat lebih kecil efeknya," papar Philips.

Survei yang dirilis CSIS itu dilakukan di 33 provinsi dan berlangsung pada 13 sampai 20 November 2013 dengan wawancara tatap muka. Jumlah sampel 1180 responden dengan tingkat kesalahan 2,85 persen dan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.

Pemilihan responden dilakukan secara acak bertingkat dan proporsi kelamin 50:50 persen untuk laki-laki dan perempuan. Proporsi responden untuk desa dan kota juga sama 50:50 persen dengan data BPS 2011. (mdk/ren)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Eks Penyidik KPK Ajak Masyarakat Tak Pilih Calon Kepala Daerah yang Terafiliasi Koruptor di Pilkada 2024
Eks Penyidik KPK Ajak Masyarakat Tak Pilih Calon Kepala Daerah yang Terafiliasi Koruptor di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan digelar pada 27 November nanti. Masyarakat akan memilih pemimpin setingkat Kota, Kabupaten dan Provinsi.

Baca Selengkapnya
Mahfud Minta Masyarakat Tak Tergiur Politik Uang: Jangan Jual Harga Diri dengan Murah
Mahfud Minta Masyarakat Tak Tergiur Politik Uang: Jangan Jual Harga Diri dengan Murah

Mahfud meminta agar masyarakat tidak tergiur politik uang atau menjual suara ke pihak yang tidak bertanggung jawab.

Baca Selengkapnya
Anies Minta Anak Muda Tak Apatis Politik, Cerita Dukung Bima Arya-Ridwan Kamil
Anies Minta Anak Muda Tak Apatis Politik, Cerita Dukung Bima Arya-Ridwan Kamil

Terjadi fenomena orang tidak bermasalah, justru dipermasalahkan saat terjun ke dunia politik.

Baca Selengkapnya
"Cak Imin: Digosok Supaya Milih yang Lain? Coblos AMIN untuk Keselamatan!"

Suara rakyat dalam menentukan pemimpin juga menjadi pilihan untuk merubah nasib ke depan.

Baca Selengkapnya
Anies Baswedan Minta Penyimpangan Tidak Ditoleransi
Anies Baswedan Minta Penyimpangan Tidak Ditoleransi

Anies melihat aneh hari-hari menjelang Pemilu 2024 ramai kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kecurangan.

Baca Selengkapnya
Ingin Dapatkan Kepala Daerah Berkualitas, Ini Saran dari Said Abdullah
Ingin Dapatkan Kepala Daerah Berkualitas, Ini Saran dari Said Abdullah

Said Abdullah menyarankan supaya masyarakat turut menolak praktik politik transaksional.

Baca Selengkapnya