Pemilu & Pilkada akrab dengan 'Ambil uangnya jangan pilih orangnya'
Merdeka.com - Campur tangan uang selalu menghiasi sekaligus mencoreng esensi dari pesta demokrasi. Mulai dari yang terendah pemilihan kepala desa, pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota DPR maupun DPRD, hingga pemilihan presiden, tidak bisa dilepaskan dari politik uang.
Meskipun masyarakat semakin cerdas dalam berpolitik, namun masih tetap ada yang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan politik uang. Hingga akhirnya sempat muncul kampanye bertajuk 'Ambil uangnya jangan pilih orangnya'.
Permasalahan politik uang juga menjadi perhatian serius Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR). Praktik politik uang pun menghiasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini. Mereka mengakui sulitnya mengajak masyarakat menolak segala bentuk hadiah dan iming-iming dari calon kepala daerah. Salah satunya karena kebutuhan masyarakat yang seolah memaksa untuk menerima uang dari calon kepala daerah.
-
Siapa yang menerima uang pungli? Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan sanksi etik terhadap PLT Karutan periode 2020-2021, Ristanta. Ia terbukti terlibat dalam praktik pungutan liar (pungli) dengan menerima sejumlah uang Rp30 juta dari para tahanan.
-
Bagaimana menjadi pantarlih pilkada? Dengan mematuhi semua syarat-syarat yang telah ditetapkan, calon Pantarlih akan memenuhi kualifikasi untuk mendaftar sebagai Pantarlih pada Pilkada 2024.
-
Apa itu pantarlih pilkada? Salah satunya adalah Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih).
-
Apa itu politik uang? Politik uang (money politic) adalah sebuah upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk suap.
-
Bagaimana polisi minta uang? Ia menawarkan Rp 200 ribu, kemudian Rp 500 ribu. Hanya, uang tersebut dianggap kurang. Permintaan Rp 1 juta tidak ia penuhi.
-
Apa itu Pilkada? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah proses demokratisasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung.
Karena sulit mengajak untuk menolak uang, JPPR menyarankan masyarakat tetap melaporkan praktik bagi-bagi uang yang dilakoni calon kepala daerah ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
"Ambil uangnya, lalu laporkan pemberinya. Uang itu silakan diambil, tetapi sebagai bukti," kata Koordinator Nasional JPPR, Masykurudin Hafidz kepada merdeka.com, kemarin.
Masykurudin menyadari banyak masyarakat berat membuat laporan soal praktik bagi-bagi uang saat kampanye jelang pemilihan kepala daerah. Banyak faktor membelakanginya. Salah satunya ketakutan mendapat ancaman. "Kalau melaporkan, biasanya masyarakat takut ada hubungan sosial terganggu," ujarnya.
Baca berita Pemilu 2024 di Liputan6.com
Selama ini pemahaman masyarakat menentang politik uang sebenarnya sudah cukup baik. Prinsip 'ambil uangnya, jangan pilih orangnya' mulai banyak dijalankan. Namun di sisi lain pihaknya justru khawatir adanya perubahan cara pandang masyarakat akan proses demokrasi yang berimbas pada enggannya mereka berpartisipasi aktif sebagai pemilih. "Nantinya kalau semua pasangan calon memberi uang, dan artinya tidak ada yang memilih, tentu akan terjadi golput," ungkapnya.
Sosiolog Musni Umar menuturkan, praktik politik uang biasanya semakin massif jelang pencoblosan. Para calon pemimpin nekat melakukan tindakan apapun karena dibutakan mimpi kekuasaan. Masyarakat perlu disadarkan agar praktik culas semacam ini tidak menjadi budaya.
"Sebaiknya memang tokoh masyarakat kembali mengingatkan, masyarakat lebih cerdas memilih, jangan memilih karena uang atau sembako. Memilihlah karena calonnya bagus," jelas Musni.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah jauh-jauh hari mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk melaporkan kecurangan yang terjadi selama proses pilkada kepada panwaslu. Sehingga momen pilkada ini bisa menjadi proses yang benar-benar bersih dari praktik uang dan transaksi.
"Kami mengimbau masyarakat ya, pilkada yang bersih adalah pilkada yang bukan ada jual belinya. Tak ada transaksinya. Kalau ada model seperti itu dicatat dan laporkan ke Panwaslu kecamatan atau kabupaten/kota," ujar Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, Rabu lalu.
Menurut dia, pilkada serentak ini adalah ajang untuk memilih pemimpin bersih bagi rakyat. Apalagi kemajuan pembangunan di suatu tempat ditentukan oleh pilihan masyarakat itu sendiri. "Oleh karena itu, jauhkan model-model transaksional seperti itu," terangnya.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Praktik curang itu tetap bisa terjadi meskipun pemilih menggunakan hak suaranya.
Baca SelengkapnyaBawaslu DKI Jakarta mengingatkan warga yang kedapatan terlibat politik uang baik menerima maupun memberi bisa dikenakan sanksi pidana
Baca SelengkapnyaJika ditekan seseorang untuk memilih nama-nama tertentu, dia pun menyarankan untuk di-iyakan saja. Tetapi pada hari H nanti, silakan memilih sesuai hari nurani.
Baca SelengkapnyaPelanggaran administrasi pemilu adalah pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pemilu.
Baca SelengkapnyaPolitik uang dalam pemilu adalah sebuah praktik yang melanggar aturan pemilu, di mana calon atau tim kampanye memberikan uang kepada pemilih.
Baca SelengkapnyaSanksi itu mengancam pihak mengajak tidak mencoblos terlebih mengiming-imingi atau memberi uang kepada masyarakat.
Baca SelengkapnyaSaid Abdullah menyarankan supaya masyarakat turut menolak praktik politik transaksional.
Baca Selengkapnya'Serangan fajar' bisa berbentuk sembako, voucher pulsa, voucher bensin, hingga fasilitas lainnya yang bisa dikonversi dengan nilai uang.
Baca SelengkapnyaMahfud meminta agar masyarakat tidak tergiur politik uang atau menjual suara ke pihak yang tidak bertanggung jawab.
Baca Selengkapnya