Pemilu Serentak: Niat Baik Cegah 'Dagang Sapi' Berujung 132 Orang Meninggal
Merdeka.com - Hiruk pikuk 'pesta demokrasi' dalam Pemilu serentak 2019 menyisakan duka mendalam. Tak semua pesta selalu suka cita. Ratusan pahlawan demokrasi gugur di tengah panasnya kontestasi politik 2019.
Sudah ada 90 petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia dan 374 orang lainnya sakit. Pihak Bawaslu kehilangan 27 pengawas. Jumlah total, termasuk anggota polisi yang bertugas gugur, mencapai 132 orang. Mayoritas karena kelelahan.
Misalnya di Jawa Barat, tercatat ada 40 petugas meninggal dunia saat penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Para petugas itu berstatus Ketua KPPS, Anggota KPPS, Staf KPU, atau Petugas PPS dan PPK. Mereka meninggal dunia diduga disebabkan kelelahan fisik, psikis ada pula yang mempunyai riwayat kesehatan yang bermasalah, seperti penyakit jantung.
-
Kenapa petugas pemilu di Klaten meninggal? Camat Gantiwarno Retno Setyaningsih mengatakan, beberapa hari sebelumnya ia sempat mengeluh sakit. Walau begitu pada hari pemungutan suara, Dewi berada dalam kondisi fit. 'Tapi kan KPPS banyak kerjaannya. Mungkin capek. Beliau punya Riwayat penyakit gula,' kata Retno dikutip dari ANTARA pada Kamis (15/2).
-
Siapa petugas pemilu yang meninggal di Klaten? Di Klaten, Jawa Tengah, seorang petugas KPPS meninggal dunia setelah sempat bertugas di TPS 04 Desa Karangturi, Kecamatan Gantiwarno. Ia bernama Dewi Indriyani (43), sebelumnya diketahui bahwa ia memiliki penyakit penyerta atau komorbid.
-
Bagaimana petugas pemilu di Sleman meninggal? Di Kabupaten Sleman, seorang petugas satuan perlindungan masyarakat (linmas) dilaporkan meninggal dunia sehari setelah mengamankan pemungutan suara Pemilu 2024. Petugas linmas itu bernama Sukidi, bertugas di TPS 1 Bulus Kidul, Candibinangun, Pakem, Sleman.
-
Dimana petugas pemilu di Jateng meninggal? Di Klaten, Jawa Tengah, seorang petugas KPPS meninggal dunia setelah sempat bertugas di TPS 04 Desa Karangturi, Kecamatan Gantiwarno.
-
Siapa anggota KPPS? Jumlah anggota KPPS terdiri dari empat orang, yang terdiri dari satu orang ketua dan tiga anggota.
-
Siapa yang menjadi korban tewas? Korban meninggal dunia:1. Catur Pancoro (47) warga Tulangan, Sidoarjo.2. Hadi umar F (21), warga Mojo Lebak Mojokerto.3. Aditya Sapulete (38), warga Cungkup Pucuk, Lamongan.
Di Manado, dua petugas KPPS meninggal dunia. Mereka adalah Ketua KPPS Kelurahan Pinaesaan, Feny Assa dan anggota KPPS Komo Luar, Said Hasan. Penyebabnya sama, diduga kelelahan.
Di Sumsel, enam orang petugas KPPS meninggal. Penyebabnya sama, diduga karena kelelahan mengawal proses pemilu serentak. Mereka adalah Tuti Hidayati asal Desa Suka Mulya Ogan Komering Ilir (OKI); Fachrul asal Desa Belambangan Ogan Komering Ulu (OKU); Untung Imansyah asal Desa Sumberjaya Banyuasin; Yanto Tanjung Dalam Musi Banyuasin; Syarifuddin asal Desa Anyar OKU Timur dan Midy Gusmi ketua KPPS Desa Gunung Batu OKU Timur.
"Sudah ada enam anggota dan ketua KPPS di Sumsel yang meninggal dunia. Secara medis dipastikan mereka mengalami kelelahan dan penurunan kesehatan saat bertugas," ungkap Anggota KPU Sumsel Divisi Hukum dan Pengawasan Hepriadi.
Semangat untuk membuat pemilu hemat dan bebas dari politik dagang sapi tak diperkuat dengan sistem yang lebih detail mencakup para petugas di lapangan. Mereka yang gugur tentu tak sepadan dengan apa yang diberikan oleh negara sebagai petugas pengawal demokrasi.
Menengok ke belakang, pada awal 2013, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak adalah pihak yang pertama kali mendaftarkan gugatan ke MK agar pemilu berjalan dengan serentak. Koalisi ini dipimpin oleh pakar komunikasi politik Effendi Ghazali. Dikabulkan MK pada Januari 2014.
Gugatan diajukan karena sistem pemilu presiden yang digelar tiga bulan setelah pemilu legislatif syarat dengan bargaining politics, politik dagang sapi, penyanderaan presiden oleh partai politik. Koalisi juga meyakini, pemilu serentak mampu memperkuat sistem presidensial.
Effendi dkk menggugat Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 dalam UU Nomor 42 tahun 2008. MK yang saat itu dipimpin oleh Hamdan Zoelva menerima permohonan gugatan, karena pemilu dengan sistem legislatif lebih dulu dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan. Faktanya, tawar-menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
"Dalam kerangka itulah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai," ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan hukumnya.
"Norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945," lanjut Fadlil.
Effendi Gazali bersyukur dan menyambut baik putusan MK. Dia menilai, putusan ini lebih menempatkan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi atau golongan.
"Ini merupakan kemenangan rakyat, tetapi kita kecewanya putusan ini ditunda-tunda pembacaannya," ujar Effendi 2014 lalu.
Niat baik tak diiringi dengan sistem yang kuat membuat para pengawas dan penyelenggara pemilu berguguran. Ironisnya, bahkan ada petugas KPPS di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, harus keguguran karena pekerjaan dan tanggung jawab yang besar mengawal berjalannya pemilu serentak.
Ada juga ditemukan kasus petugas KPPS melakukan percobaan bunuh diri karena diduga stres melihat selisih suara di TPS.
KPU, DPR bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) telah merespons fenomena ini. Para pemangku kebijakan sepakat akan melakukan evaluasi terhadap sistem pemilu serentak tersebut. Berdasarkan Riset Evaluasi Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, salah satu rekomendasi KPU adalah Pemilu Serentak dalam dua jenis.
Pertama Pemilu Serentak tingkat Nasional untuk Pemilihan Presiden, Anggota DPR dan DPD. "Untuk memilih pejabat tingkat nasional," ujar Komisioner KPU Hasyim Asyari dalam keterangan tertulis, Selasa (23/4).
Rekomendasi Kedua, Pemilu Serentak tingkat Daerah untuk pemilihan kepala daerah baik Gubernur, Bupati maupun Walikota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.
"Untuk memilih pejabat tingkat daerah provinsi, kabupaten, kota," katanya.
Dia melanjutkan, untuk waktu pelaksanaannya, Pemilu Nasional 5 tahunan. Misalnya usai Pemilu 2019 maka berikutnya Pemilu 2024. Sedangkan untuk Pemilu tingkat Daerah 5 tahunan, diselenggarakan di tengah Pemilu Nasional. Misalnya Pemilu Nasional 2019, maka Pemilu Daerah bisa dilakukan 2,5 tahun berikutnya atau 2022.
Pemilu Borongan, Bukan Serentak
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini turut berduka cita atas ratusan petugas pemilu yang meninggal dunia. KPU, Bawaslu dan kelembagaan pemerintah terkait harus ikut mengambil tanggung jawab dan mengevaluasi keadaan ini secara serius dan menyeluruh.
Titi menilai, harus ada kompensasi yang sepadan bagi keluarga yang ditinggalkan maupun bagi mereka yang sakit atau mengalami kecelakaan kerja saat bertugas melaksanakan pemilu. Negara harus hadir mengapresiasi kerja keras dan bakti mereka sebagai bagian dari penyelenggara pemilu serentak satu hari terbesar di dunia.
Pemilu serentak lima surat suara memang menyimpan kompleksitas dan membutuhkan tenaga ekstra dalam menjalankannya. Bagaimana tidak, dalam proses penghitungan suara di TPS saja, anggota KPPS memerlukan waktu sampai dengan lewat tengah malam untuk menyelesaikan penghitungan lima surat suara.
Belum lagi ditambah beban untuk melakukan pengadministrasian hasil pemilu dalam berbagai jenis formulir yang banyak jumlahnya untuk lima jenis pemilu yang diselenggarakan. Namun, pertanyaannya apakah pemisahan kembali pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu legislatif menjadi salah satu jalan keluar?
"Perludem menyayangkan jika rekomendasi perbaikan pemilu adalah memisahkan pemilu serentak untuk kembali ke desain pemilu terpisah seperti 2014, 2009, dan 2004. Desain tiga pemilu ini pun pada dasarnya cenderung sulit dikelola. Beban berat dari jabatan politik yang dipilih serta kompleksitasnya juga jadi sebab meninggalnya petugas pada pemilu-pemilu legislatif sebelumnya, meski tak sebanyak Pemilu 2019," jelas Titi dalam pesan singkat, Selasa (23/4).
Dalam tataran mayor, sifat Pemilu Indonesia yang sangat sulit dikelola karena dua hal. Pertama, menyatukan pemilu DPR dan DPRD Provinsi juga DPRD Kabupaten/Kota pada waktu yang bersamaan. Kedua, manajemen teknis kepemiluan seperti surat suara yang besar dan banyak, serta distribusinya yang di lapangan mengalami kendala keterlambatan atau kekurangan jumlah.
Sejak 2012, Perludem, bersama dengan koalisi masyarakat sipil, serta beberapa lembaga pernah mengusulkan untuk menyerentakan pemilu menjadi dua bagian. Pertama, pemilu serentak nasional, yang menyelenggarakan pemilu presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal, yang menyelenggarakan pilkada dan DPRD.
Selain mampu mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, kehadiran pemilu serentak dengan desain nasional dan lokal sebagai cara memperbaiki sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Dari pengalaman sejumlah negara Amerika Selatan dan teori ilmu politik, pemilu serentak (concurrent election) bisa memperbaiki negara presidensial multipartai seperti Indonesia.
"Tanpa harus mengamandemen konstitusi dan banyak undang-undang politik, pemilu serentak bisa menghasilkan partai politik/koalisi mayoritas dan sistem kepartaian multipartai moderat (kurang dari 5 partai politik efektif) di parlemen," terang Titi.
Putusan MK saat itu, kata dia, adalah menerima pemilu serentak. Sayangnya, pemilu serentak didesain oleh pembentuk UU dengan 5 jenis pemilu sekaligus. Dalam pandangan Perludem, Pemilu lima surat suara ini lebih tepat dipandang sebagai pemilu borongan, ketimbang pemilu serentak. Memborong lima pemilu sekaligus dalam satu waktu yang sama.
Perludem pun merekomendasikan agar mengupayakan kembali perwujudan desain pemilu serentak nasional dan lokal. Pemilu serentak nasional: pemilu presiden-wakil, DPR, dan DPD. Lalu selang 2 atau 2,5 tahun (30 bulan) setelahnya ada pemilu serentak lokal: pilkada dan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Kedua, Perludem ingin, adanya perubahan besaran daerah pemilihan untuk pemilihan legislatif menjadi lebih kecil, agar pengorganisasian partai politik lebih terkonsolidasi serta meringankan beban petugas penyelenggara pemilu dan pemilih.
Ketiga, mengoptimalkan rekrutmen petugas dan bimbingan teknis. Ketentuan syarat usia minimal 17 tahun bagi petugas yang sudah diperbaiki UU No.7/2017 penting diupayakan sebagai bagian penguatan partisipasi pemilu di aspek tenaga penyelenggara.
Keempat, mempertimbangkan secara serius penerapan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik untuk mengurangi beban pengadministrasian pemilu yang melelahkan di TPS.
"Juga untuk memotong rantai birokrasi rekapitulasi penghitungan suara yang terlalu panjang serta makan waktu lama. Pilihan atas teknologi harus dilakukan secara matang, inklusif, dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan uji coba berulang dan memadai, serta melakukan audit teknologi secara akuntabel," tutup Titi.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Barat (Sumbar) mencatat 12 petugas Pemilu Sumbar meninggal dunia dan 50 orang jatuh sakit pada pelaksanaan Pemilu.
Baca SelengkapnyaKepala Dinas Kesehatan Sulsel Ishaq Iskandar mengungkapkan jumlah petugas KPPS yang sakit jumlahnya terus bertambah.
Baca SelengkapnyaJumlah ini berasal dari data yang terhitung sejak 14 Februari hingga 22 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaPetugas yang menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan juga akan mendapat santunan lain sebagaimana porsinya.
Baca SelengkapnyaRatusan petugas pemilu di Garut jatuh sakit akibat kelelahan saat bertugas.
Baca SelengkapnyaKetua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengatakan, 30 petugas pengawas Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang meninggal dunia.
Baca SelengkapnyaRinciannya, 136 orang di tingkat kecamatan atau PPK. Di tingkat PPS desa kelurahan ada 696 orang.
Baca SelengkapnyaMereka meninggal di saat sedang dan usai bertugas pada Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaKepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi merinci data petugas pemilu yang meninggal dunia.
Baca SelengkapnyaPetugas yang meninggal dunia akan mendapatkan santunan sebesar Rp36.000.000
Baca SelengkapnyaKPU Catat per 16 Februari: 23 Petugas KPPS dan 3 PPS Pemilu Meninggal Dunia
Baca SelengkapnyaKemenkes mencatat 27 kasus kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya