Pesimisme pilkada serentak
Merdeka.com - Penyelenggaraan pilkada serentak tahap pertama tinggal dua bulan lagi. Namun sejumlah persoalan masih saja muncul. Salah satu yang krusial terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan calon tunggal kepala daerah ikut pilkada.
MK membuat norma baru dengan opsi setuju atau tidak setuju bagi calon tunggal kepala daerah di pilkada serentak. KPU masih menggodok aturan turunan dari fatwa MK tersebut sebelum diterapkan dalam penyelenggaraan pilkada serentak.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai, dalam menerapkan fatwa MK tidak bisa hanya dengan aturan KPU. Menurut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus membuat undang-undang baru untuk mengatur hal tersebut.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Bagaimana cara pemilihan dilakukan di pilkada serentak? Pilkada Serentak menerapkan sistem pemilihan langsung dimana pemilih secara langsung memilih calon kepala daerah dan wakilnya.
-
Bagaimana Pilkada Serentak diadakan? Dalam sistem presidensial, pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang menciptakan akuntabilitas dan legitimasi bagi pemimpin daerah.
-
Kenapa Pilkada dilakukan secara serentak? Pilkada serentak 2015 digelar untuk daerah-daerah dengan masa jabatan kepala daerah yang habis pada periode 2015 sampai Juni 2016.
-
Kenapa Pilkada Serentak dilakukan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.
"Sekarang bagaimana mekanisme soal Pilkadanya, berapa persen calon yang terpilih. Harus ada aturan yang mengatur itu. Berapa persentase yang dinilai menang, apakah dengan 70 persen pemilih setuju akan memenangkan calon itu, atau bagaimana," kata Yusril.
Dia menjelaskan, dengan peraturan yang jelas akan mempermudah proses pilkada. Dia mencontohkan, pada pemilihan presiden masa orde baru yang hanya terdapat satu kandidat, yakni Soeharto.
"Dalam sejarah pernah ada calon presiden tunggal tinggal ditetapkan oleh MPR, kalau begitu menjadi jelas," terang dia.
Karena persoalan inilah, Yusril meminta agar ada UU yang mengatur tentang hal ini. "Peraturan itu setingkat undang-undang, tidak bisa setingkat KPU, mengenai calon tunggal. Harus diputuskan melalui undang-undang presiden," kata Yusril.
Bukan hanya dari sisi payung hukum, namun dari anggaran pun pilkada serentak dinilai lebih besar ketimbang tak berbarengan. Padahal, semangat pembentukan pilkada serentak adalah untuk menghemat biaya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
"Pilkada serentak untuk tahun 2015 tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan biaya pilkada, justru semakin mahal. Kita hitung akumulasi dari pemilu sebelumnya yang jumlah semakin besar. Mengingat jumlah pemilih naik, jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) bertambah, biaya sosialisasi," kata Komisioner KPU Juri di Jakarta, Selasa (6/10).
Selain itu, kata Juri, biaya pemilu mahal karena kenaikan jumlah petugas dengan honornya. "Ada pula waktu penyelenggaraan makin panjang, biaya untuk keamanan dari Polri, honor Linmas, biaya untuk Bawaslu, Panwaslu dan termasuk program-program yang dibuat oleh satuan kerja Pemda yang berkaitan dengan Pilkada, serta ada penambahan daerah pemilu," katanya.
Begitu pula dengan angka partisipasi pemilih di pilkada serentak. (mdk/rnd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengklaim pelaksanaan Pilkada 2024 mengukir sejarah baru dalam Pemilu di Indonesia.
Baca SelengkapnyaAdapun Pilkada Serentak 2024 akan digelar di 545 kabupaten/kota pada total 37 Provinsi di Indonesia.
Baca SelengkapnyaKetua Bawaslu Rahmat Bagja mengusulkan penyelenggaraan pemilu dan pilkada tidak dilaksanakan dalam tahun yang sama.
Baca SelengkapnyaUsulan penundaan Pemilu 2024 kali ini diutarakan Bawaslu.
Baca SelengkapnyaKerawanan tinggi potensial terjadi pada tahapan kampanye dan proses pemungutan suara.
Baca Selengkapnya"Jangan mengambil rIsiko terlalu tinggi," kata Mendagri Tito.
Baca SelengkapnyaPesan itu disampaikan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto saat Rapat Koordinasi Penyelenggara Pilkada Serentak 2024.
Baca SelengkapnyaAngka tersebut merupakan proyeksi jika berkaca dari sengketa hasil pilkada sebelumnya.
Baca SelengkapnyaPelaksanaan Pilkada secara serentak nanti memiliki kerawanan yang lebih besar dibandingkan Pilpres maupun Pileg.
Baca Selengkapnya