PKS Heran Jokowi Ngotot Gelar Pilkada 2020, Tapi Tak Setuju 2022 dan 2023
Merdeka.com - Wakil Ketua MPR RI Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid heran dengan sikap Presiden Joko Widodo menolak penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023. Sementara, pemerintah sebelumnya ngotot ingin digelar Pilkada 2020 dengan alasan tak ingin daerah dijabat pejabat sementara.
Sebab, apabila Pilkada tetap diserentakan secara nasional pada 2024, akan ada sekitar 272 daerah yang diduduki pejabat sementara kurang lebih 1-2 tahun.
"Pemerintah, walau sebelumnya didesak untuk tidak melakukan pilkada di era pandemi Covid-19, tetap keukeuh menjalankan pilkada pada 2020. Dengan alasan antara lain kalau diundurkan akan hadirkan distabilitas politik dan kerawanan keamanan. Lalu, mengapa sekarang justru tidak mau meneruskan kebijakan itu untuk ratusan daerah yang berakhir kepemimpinannya pada tahun 2022 dan 2023?" katanya dikutip dari siaran pers, Senin (1/2).
-
Bagaimana skenario tunda pemilu bisa terjadi? Pada awal tahun 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang mengejutkan terkait penundaan pemilu 2024. Skenario Tunda Pemilu Putusan ini menimbulkan dugaan bahwa ada rencana dari sekelompok tertentu untuk mengatur penundaan pemilu tersebut.
-
Apa dampak skenario tunda pemilu? Implikasi dari penundaan ini adalah memunculkan ketidakpastian politik, potensi timbulnya konflik, serta meragukan legitimasi pemerintahan berikutnya.
-
Mengapa masa kerja PPS Pilkada 2024 bisa diperpanjang? Namun, jika terjadi situasi khusus seperti pemungutan dan penghitungan suara ulang, Pemilu susulan atau Pemilu lanjutan, dan Pemilihan susulan atau Pemilihan lanjutan, maka masa kerja PPS bisa diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.
-
Kenapa skenario tunda pemilu jadi isu penting? Perludem memandang skenario penundaan pemilu sebagai upaya untuk mengganggu proses demokrasi di Indonesia. Mereka menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam menjaga stabilitas demokrasi dan menentang segala upaya yang dapat mengancam ketentuan demokrasi.
-
Mengapa masa kerja PPK Pilkada 2024 relatif panjang? Masa kerja PPK Pilkada 2024 yang relatif panjang ini, mencakup berbagai tahapan penting dalam pelaksanaan Pilkada.
-
Kapan Pilkada 2024 akan dilaksanakan? Pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) 2024 akan dilaksanakan serentak pada tanggal 27 November 2024.
Menurutnya, menunda Pilkada 2022 dan 2023 akan menimbulkan instabilitas politik dan keamanan. Daerah akan dipimpin pejabat sementara yang ditunjuk pemerintah dalam waktu yang cukup panjang. Sementara kewenangannya terbatas. Ditambah akan pula menghadapi persiapan Pilpres dan Pilkada di 2024 jika tetap mengacu pada undang-undang yang berlaku.
"Justru sangat bisa terjadi distabilitas politik dan keamanan karena akan ada banyak daerah yang hanya dipimpin oleh Plt. Berbeda bila Pilkada yang mestinya diselenggarakan pd 2022/2023 sudah diselenggarakan sesuai jadwalnya, maka beban Pilpres/Pileg berkurang dan sudah diurusi oleh Kepala Daerah definitif yang dipilih oleh Rakyat," jelasnya.
Hidayat Nur Wahid menyerukan seluruh fraksi di DPR serta pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Khususnya terkait normalisasi jadwal Pilkada. Salah satu menjadi bahan evaluasi adalah penyelenggaraan Pemilu 2019.
Dia juga menyoroti isu pemerintah ngotot Pilkada serentak di 2024 demi menghambat Anies Baswedan berlaga di Pilpres 2024. Harapannya hal itu bukan jadi pijakan pemerintah.
"Kalau benar ada alasan yang seperti itu, sangat disayangkan sekali, karena 'hanya' untuk menghambat Anies, ada ratusan pilkada di banyak daerah yang dikorbankan. Demi Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi yang makin matang, dan Pilkada yang berkualitas, semoga UU bisa direvisi dengan merujuk pada spirit Konstitusi, dan pengunduran Pilkada itu tidak terjadi," tutupnya.
Sebelumnya pada Pilkada 2020, dua anggota keluarga Presiden Joko Widodo turut ambil bagian. Pertama adalah Gibran Rakabuming yang maju dalam Pilwalkot Solo. Dan setelah proses pemilihan, putra sulung Jokowi itu dinyatan menang. Kemudian kedua adalah Bobby Nasution yang ikut dalam Pilwalkot Medan. Menantu Jokowi itu akhirnya mengungguli perolehan suara di Medan.
Padahal kala itu, sejumlah koalisi masyarakat sipil menolak Pilkada 2020. Menurutnya, kesimpulan rapat antara Komisi II DPR, Pemerintah, dengan Penyelenggara Pemilu untuk melanjutkan Pilkada sangat mengecewakan.
Pegiat Pemilu, Wahidah Suaib mengatakan, desakan masyarakat yang tergambar dari dua organisasi Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah untuk menunda Pilkada juga tidak digubris oleh pemerintah, DPR dan penyelenggara Pemilu.
DKPP pun, kata dia, juga telah menerima petisi lebih dari 50 elemen masyarakat Pilkada ditunda. Maka dari itu, pihaknya memberikan pernyataan sikap terkait pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi.
"Pertama mengecam keras keputusan DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu yang terus melanjutkan tahapan pilkada 2020, keputusan ini nyata melukai hati masyarakat. DPR pemerintah, dan penyelenggara pemilu seolah olah menutup mata dan telinganya terhadap suara nyata masyarakat untuk menunda Pilkada 2020," kata Wahidah dalam konferensi pers virtual bersama koalisi sipil lain, Selasa (22/9).
"Bahkan desakan dari dua organisasi Islam terbesar di Indonesia NU dan Muhammadiyah tidak diindahkan oleh DPR pemerintah dan penyelenggara pemilu," sambungnya.
Kedua, DPR pemerintah dan penyelenggara pemilu sepertinya tidak memahami masalah yang terjadi. Sehingga, dengan mudahnya menyimpulkan bahwa perlu perbaikan peraturan KPU untuk menyiapkan manajemen teknis dan tahapan pilkada 2020 di tengah pandemi Covid yang semakin membahayakan.
Padahal, persoalan regulasi dalan melaksanakan Pilkada di tengah pandemi itu diatur di Undang-Undang Pilkada. Sementara Undang-Undang Pilkada yang berlaku saat ini sama sekali tidak mengatur detail teknis dan manajemen Pilkada yang harus sesuai dengan keperluan dalam keadaan pandemi.
"Artinya tidak bisa perbaikan regulasi dilakukan pada peraturan KPU, melainkan dilakukan di level Undang-Undang Pilkada," ucap mantan Komisioner Bawaslu itu.
Ketiga, pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu sedang mempertaruhkan nyawa banyak orang dengan memaksakan Pilkada di tengah pandemi yang masih sangat mengkhawatirkan.
"Oleh sebab itu, kami mendesak sikap DPR pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk mengubah pendiriannya mengingat bahaya besar bagi kesehatan masyarakat jika Pilkada tetap dilanjutkan, sebelum skala pandemi ini terkendala di Indonesia," tuturnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Jokowi mempertanyakan urgensi dari wacana Pilkada dipercepat September.
Baca SelengkapnyaDPR RI bersama KPU, Bawaslu dan Pemerintah akan melakukan rapat dengar pendapat untuk mengantisipasi bila kotak kosong menang dalam Pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaUsulan penundaan Pemilu 2024 kali ini diutarakan Bawaslu.
Baca SelengkapnyaPercepatan waktu pelaksanaan Pilkada 2024 ini dinilai akan memicu kompleksitas masalah hukum, dan politik yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Baca SelengkapnyaKetua KPU Hasyim Asy'ari menginginkan agar pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 lebih cepat dari jadwal.
Baca SelengkapnyaTito menyebut salah satu alasan percepatan pilkada lantaran menghindari kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025.
Baca SelengkapnyaAlasan Pilkada dimajukan agar tidak terjadi kekosongan jabatan pada 1 Januari 2025.
Baca SelengkapnyaMasa jabatan Pj kepala daerah berakhir pada Desember 2024.
Baca SelengkapnyaMuncul isu skenario tunda pemilu pada awal tahun 2023.
Baca SelengkapnyaMantan Anggota Komisi II DPR, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda membocorkan, pemerintah bersama Komisi II DPR RI baru saja menyetujui percepatan jadwal Pilkada.
Baca SelengkapnyaSementara, pelantikan bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota dilakukan 10 Februari 2025.
Baca Selengkapnya"Sampai saat ini tidak ada yang namanya untuk percepatan atau pemajuan Pilkada," kata Jokowi.
Baca Selengkapnya