Pro Kontra Wacana Hidupkan Lagi Garis Besar Haluan Negara
Merdeka.com - Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) berencana melakukan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Termasuk di dalamnya ingin menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Wacana amandemen ini sebenarnya sudah digulirkan sejak lama. Namun hingga kini belum juga direalisasikan oleh MPR.
Pada periode MPR 2014-2019 sudah dibentuk panitia Ad Hoc terkait amandemen terbatas ini. Tetapi wacana itu belum juga terlaksana hingga akhirnya pada masa jabatan MPR 2014-2019 hanya bisa memberikan rekomendasi amandemen terbatas UUD 1945 untuk periode selanjutnya.
-
Bagaimana masa jabatan presiden diatur sebelum amandemen? Sebelum amandemen, pasal 7 UUD 1945 menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali tanpa batasan periode.
-
Kapan amandemen pertama UUD 1945 terjadi? Setelah amandemen pertama pada tahun 1999, pasal 7 UUD 1945 ditambahkan dengan ketentuan bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
-
Kapan Permendag baru berlaku? Permendag Nomor 22 Tahun 2023 dan Permendag Nomor 23 Tahun 2023 berlaku mulai 19 Juli 2023.
-
Kapan proposal dibuat? Proposal adalah rancangan kegiatan atau permintaan kepada seseorang atau suatu lembaga untuk melakukan suatu kegiatan.
-
Kapan UU MD3 masuk Prolegnas? Revisi UU MD3 memang sudah masuk Prolegnas prioritas 2023-2024 yang ditetapkan pada tahun lalu.
-
Kenapa UU MD3 belum dibahas? Meski masuk Prolegnas prioritas, namun Awiek menegaskan belum tentu seluruh undang-undang itu akan dibahas.
Isu penghidupan GBHN ini kembali mencuat saat di Kongres V PDIP di Bali. Merekomendasikan adanya amandemen terbatas dan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal itu menuai respon beragam dari sederet partai politik pemerintah maupun non pemerintah. Salah satunya adalah Partai Golkar yang meminta wacana amandemen itu dikaji ulang.
"Melakukan amandemen adalah bukan sesuatu yang tabu, namun hal yang lumrah selama itu bisa menuju kepada sesuatu yang lebih baik, namun mengingat yang mau kita amandemen adalah UUD 1945, maka tidak bisa gegabah dan terburu buru," kata Wasekjen Golkar, Maman Abdurahman.
Sama halnya dengan amandemen terbatas UUD untuk mengembalikan fungsi pimpinan MPR menjadi lembaga tertinggi negara. Maman menilai, itu perlu dibahas lebih lanjut pada periode berikutnya.
"Perlu kajian mendalam terkait hal tersebut, ngebahas UU aja perlu duduk dan kajian mendalam apalagi UUD 1945 tentunya perlu kajian lebih mendalam," ungkapnya.
Sedangkan Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding menilai, amandemen terbatas UUD 1945 terlalu berisiko. Sebab, tidak tertutup kemungkinan pembahasan amandemen itu justru melebar ke mana-mana.
"Problemnya hari ini adalah kita ini berada di wilayah politik. Amandemen ini bukan tanpa risiko, walaupun kita sepakati terbatas, tetapi itu bisa kemana saja," kata Karding.
Soal wacana menjadikan MPR lembaga tertinggi lewat amandemen terbatas, menurut Karding juga masih perlu dibahas lebih lanjut. Pembahasan tersebut, katanya, memiliki banyak implikasi.
Senada dengan Golkar dan PKB, Ketua DPR Bambang Soesatyo juga meminta agar rencana menghidupkan kembali GBHN tak dilakukan terburu-buru. Menurut dia, perlu pengkajian lebih mendalam untuk kembali menerapkan GBHN dengan melakukan amandemen UUD 1945.
"Saya berpandangan GBHN ini perlu dikaji lebih dalam lagi karena kalau dinamika ekonomi politik sekarang ini, global sangat luar biasa, berbeda dengan zaman 20-50 tahun yang lalu. Jadi apakah GBHN diperlukan atau tidak," kata Bamsoet di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (13/8).
Di sisi lain, Ketua Umum Partai Hanura sekaligus Ketua DPD Oesman Sapta Odang (OSO) tak masalah jika kembali GBHN kembali dihidupkan lewat amandemen terbatas UUD 1945. Namun, dia mengingatkan supaya pembahasan GBHN sesuai kesepakatan pihak terkait.
"Ya itu boleh-boleh saja, menghidupkan kembali GBHN, siapa bilang gak boleh, tapi tentu harus sejalan dengan pemerintah, nah nanti gimana rundingan antara lembaga politik dengan pemerintah itu harus dibicarakan," kata OSO di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8).
Sejalan dengan Hanura, Partai besutan Prabowo Subianto, yakni Partai Gerindra juga setuju dengan pengadaan kembali GBHN. Hal itu untuk kepentingan arah negara yang lebih jelas.
"Iya sepakat kita setuju, mendukung. Gitu loh tujuannya kan positif supaya arah pembangunan jelas," kata Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria saat dihubungi merdeka.com, Selasa (13/8).
Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah coba meluruskan maksud partainya yang menuai kontroversi itu. Dia menegaskan, PDIP tidak pernah mengusulkan adanya amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. PDIP, lanjutnya, hanya mengusulkan agar MPR 2019-2024 melanjutkan amandemen terbatas tersebut.
"Jadi dengan demikian Kongres PDIP ke V kemarin, yang merekomendasikan agar MPR melanjutkan rencana amandemen terbatas UUD '45 untuk menghadirkan GBHN, hanyalah meneruskan rencana yang sudah disepakati oleh pimpinan-pimpinan fraksi di MPR RI dan DPD RI. Jadi bukan maunya PDIP. Ini saya perlu luruskan," kata Basarah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/8).
Basarah menjelaskan, wacana amandemen terbatas ini sudah ada sejak lama. Namun, hingga kini belum bisa dirampungkan bahkan pada periode MPR 2014-2019.
Pengamat Politik Verri Junaedi keras menolak wacana tersebut. Terlebih, amandemen UUD '45 harus dilakukan hanya untuk menghidupkan kembali GBHN.
Verri menjelaskan, ada sejumlah isu berkembang tentang amandemen UUD '45. Tak cuma GBHN, tapi juga ingin menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara serta pemilihan presiden kembali melalui MPR.
"Itu isu yang lagi marak, saya melihat bahwa sebenarnya urgensinya enggak ada. Karena sebenarnya sistem konstitusi kita sudah mengatur saat ini. Misalnya soal GBHN, kita sudah ada UU Perencanaan Pembangunan Nasional, itu arah pembangunan sudah diatur di situ. Bagaimana konsep pembangunan lima tahun ke depan sudah ada UU-nya sendiri," jelas Verri saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa (13/8).
Selanjutnya, isu ingin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut dia, ada sejarahnya kenapa aturan tersebut direvisi. Salah satunya, agar terjadi check and balances.
"Kenapa MPR ditarik, tapi semua diposisikan setara supaya terjadi cek and balances. Eksekutif dan Legislatif setara, agar antar lembaga negara bisa saling mengontrol, saling menguatkan. Kalau kemudian MPR diposisikan lembaga tertinggi kita kembali lagi seperti sistem lampau. Terbukti model seperti itu tidak berjalan dengan baik," tambah Verri lagi.
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam momen tersebut, Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan jika pimpinan MPR tidak mengucapkan kata untuk memutuskan amandemen UUD 1945.
Baca SelengkapnyaBamsoet membantah pihaknya telah memutuskan bahwa pemilihan presiden akan dilakukan oleh MPR
Baca SelengkapnyaBamsoet meminta, agar wacana pembahasan amendemen jangan dicurigai sebagai upaya untuk menunda Pemilu 2024 atau perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca SelengkapnyaPadahal, RUU Masyarakat Adat sudah dibahas selama 15 tahun terakhir
Baca SelengkapnyaMa'ruf menginginkan ke depannya MPR tetap menjalankan fungsinya dalam sosialisasi empat pilar kebangsaan.
Baca SelengkapnyaRUU Masyarakat Adat dinilai janji Jokowi 10 tahun lalu
Baca SelengkapnyaDjarot menyinggung anggota DPR pun mau bila masa jabatannya diperpanjang dua tahun.
Baca SelengkapnyaPersetujuan itu diambil setelah pada kesempatan sebelumnya seluruh fraksi dan kelompok DPD menyampaikan pandangannya.
Baca SelengkapnyaBenny tak melihat RUU Perampasan Aset masuk daftar RUU prolegnas yang diusulkan pemerintah hari ini.
Baca SelengkapnyaMK telah memberikan koreksi terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Baca SelengkapnyaDasco menyatakan, aturan berkaku soal Pilkada tetap mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaBerkaca dari pandemi Covid-19, konstitusi di Indonesia belum mengatur soal penundaan pemilu.
Baca Selengkapnya