Saat DPR melindungi diri dari serangan kritik
Merdeka.com - DPR mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD atau sering disebut UU MD3. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melaporkan setiap orang yang merendahkan martabat anggota parlemen.
Aturan itu tertuang dalam pasal 122 huruf K yang berbunyi 'MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."
Jika yang menghina sebuah lembaga negara maka akan ditindaklanjuti dengan hak yang melekat pada DPR seperti memunculkan hak interpelasi, angket, dan lainnya. Bahkan, sebuah lembaga negara yang tak hadir dalam undangan rapat dengar pendapat yang diselenggarakan DPR juga merupakan bentuk penghinaan.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Aturan apa yang DPR dorong? Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendorong Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk membuat aturan yang bisa mencegah terjadinya kasus pelecehan seksual di kalangan aparatur sipil negara (ASN).
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Siapa yang DPR minta tindak tegas? Polisi diminta menindak tegas orang tua yang kedapatan mengizinkan anak di bawah umur membawa kendaraan.
-
Apa yang diapresiasi oleh DPR? Mengomentari hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni ikut mengapresiasi.
-
Apa peran Medsos menurut DPR? 'Pejabat di era saat ini harus catch up dengan isu-isu yang ada di medsos. Karena masyarakat banyak berkeluh kesah di sana. Nah dengan kewenangan yang kita miliki inilah segala keluh kesah masyarakat itu kita jawab. Kita hadirkan solusi untuk mereka. Sebab memang itulah tugas anggota DPR,' ujar Sahroni.
Disahkannya aturan ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. DPR disebut akan menjadi lembaga antikritik. "Saya mau katakan jauh lebih masuk akal kalau presiden dihina sebagai kepala negara ketimbang anggota DPR kemudian orang masuk penjara," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti saat dihubungi merdeka.com, Selasa (13/2).
Menurut Ray, aturan tersebut bertentangan dengan sikap sejumlah anggota DPR terkait kembalinya dihidupkan Pasal penghinaan presiden dan wapres diatur dalam dua pasal yakni 263 dan 264. Padahal dengan norma serupa, ujar Ray, memproses hukum pihak yang dinilai melakukan penghinaan lebih tepat berlaku terhadap presiden dan wakil presiden ketimbang DPR.
"Kan sebetulnya kepala negara yang tidak boleh dihina karena simbol negara. Nah DPR kan bukan simbol negara. Yang saya mau katakan kalau enggak boleh dikritik, dihina apa urusannya. Kalau merasa dihina terus mau melaporkan pakai nama pribadi jangan pakai nama DPR untuk memperkuat posisinya," kata Ray.
Sementara Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai esensi aturan itu bertendensi mencederai demokrasi. "Saya kira ketentuan itu sendiri sebenarnya mengangkangi hakikat MKD yang sesungguhnya dibentuk sebagai Alat Kelengkapan Dewan yang bertugas untuk menangani aduan terkait pelanggaran etik anggota. Nah dengan kewenangan MKD yang diperluas, pertanyaannya siapa MKD yang merasa punya legitimasi untuk mengurusi etika publik atau etika warga masyarakat?" ujarnya.
Lucius menyebut, selama ini, untuk menangani etika anggota saja, MKD telah gagal. "Mereka tak ubahnya stempel bagi perilaku tidak etis anggota. Bagaimana bisa dengan modal seperti itu, MKD ini malah mau mengurusi etika orang-orang lain?" cetusnya.
Dia mengkhawatirkan, wewenang ini juga rentan mencampuri tugas penegak hukum yang berwenang memproses dugaan pelanggaran etik seperti pencemaran nama baik. Dan kecenderungan DPR saat ini yang mulai antikritik bisa dengan mudah menjadikan ketentuan tidak jelas mengenai MKD ini untuk membungkam kritik publik.
"DPR yang antikritik sesungguhnya sudah tak ada gunanya. Mereka juga menegasi makna peran representasi mereka ketika ada aturan yang justru dibuat untuk menjadi tembok pemisah antara wakil rakyat dengan rakyat yang mewakili," pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Ketua DPR Bambang Soesatyo tidak mau ambil pusing. Dia menegaskan pasal 122 huruf K hanya untuk melindungi kehormatan DPR. "Jadi tetapi proteksi itu atau apa namanya Undang-Undang untuk melindungi kehormatan anggota dewan tidak bisa dipakai sembarangan," katanya di Kompleks Parlemen, Selasa (13/2).
Menurutnya marwah anggota DPR memang harus dijaga. Serta harus dilindungi kehormatannya sama seperti warga negara lainnya. "Artinya memang betul-betul kehormatannya. Maka setiap warga negara jangankan DPR, setiap warga negara punya hak untuk melindungi kehormatannya. Jadi menurut saya tidak perlu dipersoalkan," ujarnya.
Senada, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menegaskan DPR tidak antikritik. Menurutnya hanya beberapa hal saja yang nantinya bisa dijerat menggunakan pasal tersebut.
"DPR itu ya sebuah lembaga yang harus terbuka dan memang harus, apalagi terhadap kritik ya. Jadi harus tetap dikritik diberikan masukan dikoreksi kalau ada kesalahan, sama halnya dengan lembaga-lembaga lain. Nah mungkin yang terkait di sini adalah yang menyangkut masalah penghinaan atau fitnah," kata Fadli di Gedung Parlemen, Selasa (13/2).
Fadli menyadari pasal di UU MD3 ini masih berpotensi untuk digugat melalui proses judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun dia pun menyerahkan sepenuhnya pada MK jika benar nantinya ada yang mengajukan gugatan ke MK.
"Kita melihat masih ada saluran bagi pihak-pihak yang menginginkan dilakukan JR terhadap pasal-pasal tertentu, meskipun semangat dari pasal tersebut bukan berarti antikritik, tetapi persoalan kalau ada penghinaan terhadap lembaga yang memang di luar negara ada juga seperti contempt of court, contemp of parliament, itu sesuatu yang ada," ungkapnya.
"Tapi kalau kritik itu sama sekali adalah satu hak dari setiap warga negara untuk menyampaikan suatu sikap pernyataan pikiran pandangan baik lisan maupun tulisan, tindak boleh ada kriminalisasi," tukasnya.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dasco pun menyebut, dikhawatirkan revisi UU MD3 dapat menimbulkam dampak negatif.
Baca SelengkapnyaRapat yang digelar ini diketahui hanya beda sehari pascaputusan MK terkait Pilkada.
Baca SelengkapnyaAda sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
Baca SelengkapnyaPDIP membela Rieke Diah Pitaloka yang dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI setelah mengkritik kebijakan kenaikan PPN yang menjadi 12 persen.
Baca SelengkapnyaAksi yang digelar ini sehari setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, menggelar rapat panitia kerja terkait Revisi UU Pilkada, pada Rabu (21/8).
Baca SelengkapnyaMahfud menilai adanya riak-riak setelah pengesahaan RUU menjadi UU merupakan hal yang lumrah. Dia menyebut akan ada pihak yang setuju dan tidak.
Baca SelengkapnyaPengajuan usulan revisi UU MD3 saat itu disampaikan terkait dengan kewenangan keuangan DPR RI yang perlu dijabarkan lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaPembahasan dan rapat pengambilan keputusan tingkat I dilakukan secara 'senyap' pada masa reses DPR
Baca SelengkapnyaUU MD3 Masuk Prolegnas 2024, Revisi untuk Beri Jalan Golkar Ambil Jatah Ketua DPR?
Baca SelengkapnyaPenceramah kondang Dasad Latif sentil anggota DPR yang terkadang bersikap lebih hebat.
Baca SelengkapnyaMKD memutuskan Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) terbukti melanggar kode etik.
Baca SelengkapnyaDek Gam menyatakan akan komitmen menjaga marwah Legislatif.
Baca Selengkapnya