Survei LSI: Gerakan 212 buka kran peningkatan radikalisme di Indonesia
Merdeka.com - Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi menyampaikan gerakan 212 yang berhasil memenjarakan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bukan puncak radikalisme di Indonesia. Namun gerakan tersebut justru menjadi pembuka kran peningkatan gerakan radikalisme di Indonesia.
"Bukan 212 puncak radikalisme tapi membuka kran meningkatnya radikalisme tadi," kata Burhanuddin dalam rilis survei LSI di Hotel Sari Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (24/9).
LSI merilis survei tentang Tren Persepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi, dan Intoleransi. Khusus terkait intoleransi, responden berasal dari muslim dan non muslim. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan dalam survei ini di antaranya izin non muslim mengadakan kegiatan keagamaan (kepada responden muslim), izin non muslim membangun tempat ibadah, dan non muslim menjadi kepala daerah dan presiden atau wapres. Jenis pertanyaan yang sama juga diajukan kepada responden non muslim.
-
Bagaimana LSI melakukan survei? Adapun survei ini dilakukan pada awal Desember 2023, memakai metode random digit dialing (RDD) dengan teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.
-
Bagaimana Indikator Politik melakukan survei ini? Metode pengambilan data dilakukan melalui wawancara tatap muka kepada 1.200 sampel responden yang dipilih menggunakan multistage random sampling.
-
Bagaimana metode survei Litbang Kompas? Survei dilakukan Litbang Kompas pada 29 November hingga 4 Desember 2023 terhadap 1.364 responden yang dipilih secara acak. Metode penelitian yaitu dengan metode pencuplikan sistematis bertingkat di 38 provinsi di Indonesia. Sementara tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error penelitian +-2,65 persen.
-
Bagaimana survei ini dilakukan? Survei dilakukan di seluruh Indonesia melibatkan 1.262 responden secara nasional, dan 4.000 responden di Jawa.
-
Apa yang diukur dalam survei indikator? Lembaga Survei Indikator Politik merilisi hasil survei elektabilitas pasangan calon (paslon) pada Pilpres 2024.
-
Bagaimana muslim Amerika akan mempengaruhi pemilu? Oposisi dari populasi Muslim dan Arab Amerika yang cukup besar dapat menjadi ancaman bagi Electoral College presiden dalam pemilihan yang akan datang.
"Kita akan buat analisis tiga topik besar. Pertama kita tanya apakah bapak ibu itu keberatan jika non muslim melakukan kegiatan keagamaan. Yang mengatakan keberatan tahun 2018 itu 38 persen, 2017 sebanyak 36 persen, 2016 atau tujuh bulan sebelum ada demo anti Ahok itu justru 40 persen," jelasnya.
Selain itu muslim yang keberatan jika non muslim membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya mengalami peningkatan pada 2018 yaitu 52 persen. Angka ini naik 4 persen dari tahun 2017 yang hanya 48 persen.
Untuk intoleransi politik, rata-rata mengalami peningkatan. Sebagian responden muslim menolak memilih kepala daerah dari kalangan non muslim. Burhanuddin mengatakan pada tahun 2018, sebanyak 52 persen responden muslim keberatan jika ada bupati atau walikota dari kalangan non muslim. Angka ini meningkat dari 2017 yang hanya 47 persen dan pada 2016 hanya 39 persen masyarakat yang keberatan memiliki bupati atau walikota non muslim.
Pada tahun 2016, hanya 40 persen warga muslim keberatan memiliki gubernur non muslim. Sedangkan pada 2017 hanya 48 persen dan pada 2018 meningkat menjadi 52 persen. Survei lainnya pada 2018, sebanyak 59 persen warga muslim menolak memiliki presiden non muslim. Ini meningkat dari survei yang sama tahun 2017 yang hasilnya 53 persen dan pada 2016 hanya 48 persen.
"Sejak 2016 tren intoleransi non muslim jadi pejabat publik itu meningkat. Sekilas kita bisa katakan bahwa argumen 212 adalah puncak dari intoleransi itu setidaknya basis empirisnya kurang. Jangan-jangan justru sebaliknya, 212 yang meningkatkan intoleransi," jelasnya.
Burhanuddin mengatakan bisa saja responden muslim beralasan bahwa pilihannya menolak kepala daerah atau presiden maupun wapres non muslim menggunakan justifikasi kitab suci. Hanya saja Indonesia bukan negara Islam.
"Sayangnya kita bukan negara Islam. Dalam konteks demokrasi apapun latar belakang etnik dan agamanya punya hak sama jadi pejabat publik," jelasnya.
Survei dilakukan pada Agustus 2018 dengan sampel 1520 responden yang dipilih dengan metode multi stage random sampling. Berdasarkan jumlah sampel ini, diperkirakan margin of error sebesar kurang lebih 2,6 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pentolan Mujahid 212, Damai Hari Lubis mengamini survei SMRC. Menurut dia, suka atau tidak, para pro gerakan 212 mengarah ke Prabowo.
Baca SelengkapnyaUntuk Bacapres Ganjar pranowo, dia paling tinggi dikenal oleh warga Muhammadiyah.
Baca SelengkapnyaHasil itu terpotret dalam survei dilakukan Lembaga Survei Indonesia.
Baca SelengkapnyaBasis dukungan Prabowo di kalangan Ormas terbilang kuat.
Baca SelengkapnyaSurvei terbaru Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan dukungan alumni 212 akan mengalir ke kubu Prabowo Subianto.
Baca SelengkapnyaPancasila menjadi penting dibumikan khususnya bagi para generasi muda guna mencegah intoleransi
Baca SelengkapnyaSurvei ini dilakukan 28 Januari sampai 4 Februari 2024 dengan metode multistage random sampling
Baca SelengkapnyaKepala BNPT ungkap terjadi perubahan tren pola serangan terorisme di Indonesia.
Baca SelengkapnyaJangan sampai dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi radikal terorisme.
Baca SelengkapnyaDari etnis Minang, Prabowo Subianto berhasil mendapatkan dukungan tertinggi dengan total 50,5 persen. Disusul dari etnis Madura 35,5 persen.
Baca SelengkapnyaNU menjadi ormas Islam yang paling tinggi tingkat kepuasannya terhadap kinerja pemerintahan Jokowi dengan 78,4 persen.
Baca SelengkapnyaElektabilitas Prabowo-Gibran di dua survei Pilpres tembus 43,3% dan 46,7%
Baca Selengkapnya