Survei: Masyarakat yang Takut Membahas Politik Meningkat
Merdeka.com - Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyampaikan hasil surveinya tentang ketakutan masyarakat membicarakan masalah politik di ranah publik.
Peneliti SMRC, Saidiman Ahmad mengatakan tren ketakutan masyarakat membahas masalah politik meningkat dibanding hasil survei sebelumnya.
Pada survei yang dilakukan dalam rentang 28 Februari-2 Maret 2021, responden yang mengaku takut membicarakan masalah politik sebesar 39 persen.
-
Apa yang membuat orang takut? Melihat layar kapal viking di kejauhan saja sudah membuat orang-orang ketakutan.
-
Kenapa warga di Sukamulya merasa takut? Diungkap Maska, jika warga sekitar saat ini mengalami kondisi ketakutan karena topografi tanah di sana yang merupakan perbukitan. Mereka khawatir jika bukit yang ada di Kampung Tengah akan longsor.
-
Kenapa DPR khawatir dengan tindakan polisi? 'Ini berbahaya sekali kalau benar terjadi. Jangan sampai ada jajaran di bawah melakukan intimidasi terhadap siapa pun, apalagi ada kaitannya dengan konteks kepemiluan.'
-
Apa yang membuat orang takut berlebihan? Rasa takut adalah respons alami manusia terhadap situasi yang dianggap berbahaya atau mengancam. Namun, ketika takut menjadi berlebihan dan mengganggu kehidupan sehari-hari, itu bisa menjadi masalah serius yang membutuhkan penanganan.
-
Kenapa banyak orang takut berdebat? Maka dari itu, beberapa orang enggan untuk mempelajari dan mahir dalam debat karena dirasa sulit. Dalam berdebat juga butuh keberanian yang besar.
-
Siapa saja yang berisiko? Salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami sindrom ini adalah individu dengan jenis penyakit Parkinson yang dikenal sebagai sindrom corticobasal (CBS), di mana sekitar 30% dari mereka dapat mengalami AHS.
Penyebab responden takut membahas masalah politik khawatir bakal ditangkap oleh polisi, takut karena ikut organisasi, dan karena faktor agama.
"Penilaian tentang adanya ketakutan masyarakat dalam bicara masalah politik, penangkapan organisasi dan menjalankan agama, mengalami peningkatan dibanding temuan survei sebelumnya," ucap Saidiman, Selasa (6/4).
Pada Juli 2009, responden yang merasa takut untuk mengatakan masalah politik sebesar 23 persen. Tren ini kemudian naik menjadi 32 persen pada April 2014. Juli 2014, tren kembali turun menjadi 24 persen.
Rasa takut kembali meningkat pada Mei 2019 menjadi 38 persen dan Maret 2021 menjadi 39 persen. "Kalau kita lihat secara umum sejak 2009, itu tren angkanya yang merasa selalu atau sering takut terhadap penangkapan sewenang-wenang aparat hukum mengalami kenaikan," ujarnya.
Survei yang dilakukan SMRC dilakukan dalam rentang 28 Februari-8 Maret 2021. Populasi responden dalam survei, yaitu mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah. Dari 1220 responden yang dipilih secara acak oleh SMRC, hanya 1.064 atau 87% responden dapat diwawacara secara valid.
Survei ini memiliki tingkat kekeliruan kurang lebih 3,07 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Persoalan politik uang menempati posisi pertama di angka 37,2 persen.
Baca SelengkapnyaSurvei dilakukan pada 4-11 Januari 2024 terhadap 1.220 responden. Survei dilakukan melalui teknik wawancara tatap muka
Baca SelengkapnyaAnies Baswedan mengungkap masih ada masalah kebebasan berekspresi di Indonesia hari ini.
Baca SelengkapnyaSituasi panas yang terjadi di ruang publik berpotensi disusupi agenda politik tertentu
Baca SelengkapnyaSejumlah pihak diingatkan tidak memainkan politisasi agama hanya untuk meraih kemenangan
Baca SelengkapnyaPenurunan tingkat kepercayaan ini menjadi pekerjaan rumah untuk pemerintahan Prabowo Gibran mendatang
Baca SelengkapnyaLembaga survei Indopol Survey and Consulting memutuskan tidak merilis hasil survei untuk periode Januari 2024.
Baca SelengkapnyaAnies menilai, banyak aturan saat ini yang membuat masyarakat takut untuk menyampaikan pendapat atau kritik kepada pemerintah.
Baca SelengkapnyaPenelitian: Orang Rela Abaikan Moral Demi Kepentingan Politik
Baca SelengkapnyaAlasan paling banyak adalah karena masyarakat mengaku tidak punya waktu menonton.
Baca Selengkapnya