Tolak Draf RUU, FPKS Siapkan Pasal Pidana Pelaku Kejahatan dan Penyimpangan Seksual
Merdeka.com - Fraksi PKS DPR menyelenggarakan diskusi publik membahas polemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) di Komplek DPR Senayan Jakarta Rabu (13/2). Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini mengatakan diskusi publik ini diselenggarakan untuk membedah problematik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sehingga semakin kuat, jelas, dan tepat sasaran sesuai tujuan melindungi perempuan, anak, dan generasi bangsa umumnya dari setiap bentuk kejahatan dan penyimpangan seksual.
"Kita ingin buat polemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi terang benderang. Apa yang dikritik oleh masyarakat luas, termasuk PKS, dari RUU ini bisa dijelaskan secara transparan dan bagaimana upaya rekonstruksinya sehingga darurat kejahatan dan penyimpangan seksual di negeri ini bisa kita tangani dengan pendekatan yang tepat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, moral agama dan sosio kultural masyarakat Indonesia," kata Jazuli.
Berdasarkan kajian Fraksi PKS, lanjut Jazuli, RUU dinilai salah perspektif dalam melihat akar masalah dan solusi kejahatan dan penyimpangan seksual yang terjadi di masyarakat.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Siapa yang menyoroti ketidakadilan dalam pembuatan RPMK? 'Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakadilan dalam proses pembuatan peraturan, yang seharusnya melibatkan semua pihak, termasuk kementerian/lembaga terkait, tanpa adanya unsur diskriminatif,' kata Firman, Selasa (24/9).
-
Bagaimana DPR ingin cegah pelecehan? 'KemenPAN-RB harus segera membuat aturan spesifik demi menghadirkan ruang kerja yang aman bagi para ASN. Aturan-aturan ini penting agar pelecehan yang sebelumnya seringkali dianggap lazim, bisa diberantas dan dicegah. Kita tidak mau lagi ada ruang abu-abu dalam kasus pelecehan ini,' ujar Sahroni dalam keterangan, Senin (25/3).
-
Bagaimana DPR RI ingin polisi menangani kasus pelecehan anak? Ke depan polisi juga diminta bisa lebih memprioritaskan kasus-kasus pelecehan terhadap anak. Polisi Diminta Dampingi Psikologis Anak dan Istri korban Pencabulan Oknum Petugas Damkar Polisi menangkap SN, pria yang tega melakukan dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anaknya sendiri yang berusia 5 tahun. Tidak hanya diminta menghukum berat pelaku, polisi diminta juga mendampingi psikologis korban dan ibunya. 'Setelah ini, saya minta polisi langsung berikan pendampingan psikologis terhadap korban serta ibu korban. Juga pastikan agar pelaku menerima hukuman berat yang setimpal. Lihat pelaku murni sebagai seorang pelaku kejahatan, bukan sebagai seorang ayah korban. Karena tidak ada ayah yang tega melakukan itu kepada anaknya,' ujar Sahroni dalam keterangan, Kamis (4/4). Di sisi lain, Sahroni juga memberi beberapa catatan kepada pihak kepolisian, khususnya terkait lama waktu pengungkapan kasus. Ke depan Sahroni ingin polisi bisa lebih memprioritaskan kasus-kasus pelecehan terhadap anak.'Dari yang saya lihat, rentang pelaporan hingga pengungkapan masih memakan waktu yang cukup lama, ini harus menjadi catatan tersendiri bagi kepolisian. Ke depan harus bisa lebih dimaksimalkan lagi, diprioritaskan untuk kasus-kasus keji seperti ini. Karena korban tidak akan merasa aman selama pelaku masih berkeliaran,' tambah Sahroni.
-
Bagaimana cara mengatasi penyimpangan sosial? Penyimpangan sosial bisa terjadi akibat proses sosialisasi yang tidak berhasil dalam masyarakat. Kondisi tersebut yang menjadikan seseorang tidak mampu memahami nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
-
Siapa pelaku pemerkosaan? 'Kejadian ini berawal dari kejadian longsor di daerah Padalarang Bandung Barat. Kebetulan keluarga korban ini rumahnya terdampak sehingga mereka mengungsi ke kerabatnya (AR) untuk sementara,' ucap Kapolres Cimahi, AKBP Tri Suhartanto, Selasa (3/9).
"RUU ini salah perspektif sehingga menghasilkan miskonsepsi pengaturan dan tidak sejalan dengan situasi dan kondisi serta nilai-nilai sosial kultural masyarakat Indonesia yang beragama dan berbudaya luhur. Akibatnya pasal-pasal kekerasan seksual melebar ke mana-mana, sementara persoalan pokok atau akar masalahnya malah tidak diatur," tandas Jazuli.
Anggota Komisi I ini mencontohkan sejumlah miskonsepsi akibat kesalahan perspektif RUU P-KS, penyebutan istilah 'hasrat seksual' sebagai bagian yang dilindungi dari ancaman bisa dimaknai mencakup disorientasi seksual seperti LGBT padahal kultur masyarakat menolak LGBT. Istilah 'ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender' menurut Jazuli adalah perspektif feminis liberal yang tidak membedakan hubungan di luar perkawinan maupun di dalam perkawinan yang dalam kultur kita sangat sakral.
"Demikian halnya pengaturan larangan pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan perkawinan, mengindikasikan pergeseran fokus dari tindak kejahatan seksual. Lalu pengaturan pemaksaan aborsi dan pemaksaan pelacuran secara implisit justru bisa dimaknai pelegalan aborsi dan pelacuran. Miskonsepsi seperti ini yang tegas kita tolak," ujar Jazuli.
Atas dasar kajian tersebut, Fraksi PKS mengusulkan perubahan judul RUU menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual yang berperspektif Pancasila khususnya yang berangkat dari nilai Ketuhanan Yang Maha Esa atau nilai moral agama.
"Pengaturannya jelas, tegas, dan tidak ambigu yaitu melarang semua bentuk kejahatan dan penyimpangan seksual. Melarang dan menghukum semua praktik perzinaan, pelacuran, perkosaan, dan perilaku seks menyimpang LGBT yang jelas dilarang oleh agama manapun di Indonesia ini," pungkas Jazuli.
Hadir sebagai narasumber diskusi publik Fraksi PKS ini adalah Iqbal Romzi (Anggota Panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR RI, Dinar Dewi Kania (Peneliti INSISTS), Topo Santoso (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan Imam Nakhai (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2014-2019)
Sebelumnya, Fraksi PKS menjadi satu-satunya partai di DPR yang secara tegas menolak draf RUU ini karena menilai pengaturannya tidak tegas, tidak jelas dan ambigu. Di antara kekhawatiran yang mengemuka RUU ini justru mendorong sikap permisif terhadap sejumlah kejahatan dan penyimpangan seksual.
Wakil Ketua Fraksi PKS Ledia Hanifa Amalia mengatakan, munculnya pro dan kontra terhadap RUU P-KS adalah hal wajar di tengah masyarakat karena masing-masing memiliki argumentasi.
"Yang perlu disepakati adalah bahwa kejahatan seksual harus dicegah melalui tindakan yang dapat diantisipasi supaya tidak terjadi, terlebih secara masif. Kemudian pelaku kejahatan seksual harus mendapat hukuman," ungkap Ledia.
Hanya saja, Fraksi PKS telah beberapa kali menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap beberapa hal dalam RUU hingga dalam Rapat Paripurna, namun tidak masuk dalam catatan RUU. Inilah yang mendorong Fraksi PKS akhirnya menolak draf RUU ini.
"Pertama, Fraksi PKS telah mengusulkan pergantian nomenklatur. Kami tidak sepakat dengan penggunaan istilah 'kekerasan seksual', dan mengusulkan diganti namanya menjadi 'kejahatan seksual'. Hal ini agar memiliki memiliki derajat yang lebih tegas, sehingga deliknya bisa dirumuskan dengan tegas, serta pembuktiannya pun dapat jadi lebih mudah dan jelas. Ini pun sejalan dengan kriteria 'darurat kejahatan seksual' yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Inpres dan sesuai juga dengan UU Perlindungan anak," katanya.
Kedua, terhadap masalah kejahatan seksual, Fraksi PKS sejak awal memang melihat ada yang masih ambigu, termasuk dalam hal unsur hasrat seksual. Hal ini berpengaruh pada perilaku seksual yang menyimpang karena di sini yang digunakan adalah istilah 'relasi kuasa' yang bisa disalahpahami sebagai 'relasi suami-istri'.
Ketiga, soal peran pemerintah, Fraksi PKS telah mengusulkan bahwa semestinya ada langkah-langkah preventif dalam upaya pencegahan kejahatan seksual. Dan dalam banyak temuan, kejahatan seksual itu dipicu oleh pornografi, peredaran narkoba dan psikotropika, serta minuman keras. Ini harusnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya pencegahan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
Dan keempat, lanjut Ledia, PKS juga mengusulkan dengan menambahkan nilai-nilai 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam asas pertama dalam RUU ini. Kami melihat pendekatan dalam ketaatan agama sebagai cara pencegahan terhadap kejahatan seksual. Hal ini merupakan langkah yang tidak merendahkan martabat seseorang serta berkontribusi bagi perlindungan perempuan, anak, dan keluarga.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Hal itu dikatakan Masinton menanggapi pembahasan RUU Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang berlangsung kilat.
Baca SelengkapnyaPKS menilai RUU Kesehatan justru menghilangkan mandatory spanding untuk kesehatan yang ada di UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Baca SelengkapnyaKementerian Kesehatan (Kemenkes) menjawab anggapan pemberian kontrasepsi bagi remaja membuka peluang seks bebas bagi pelajar.
Baca SelengkapnyaFraksi PKS DPR memandang OJK hanya asal mengutip UU P2SK
Baca SelengkapnyaYenny Wahid turut menolak RUU Pilkada. Dia memprotes sikap DPR merevisi UU Pilkada lewat sebuah postingan di akun Instagram @yennywahid.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai, pembahasan RUU Pilkada mengabaikan suara masyarakat.
Baca SelengkapnyaMenurut Budi, penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar yang diatur PP Kesehatan itu akan ditindaklanjuti.
Baca SelengkapnyaBaleg DPR RI menggelar rapat kerja dengan pemerintah untuk membahas tentang revisi UU Pilkada.
Baca SelengkapnyaFraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD DKI Jakarta meminta Pemprov DKI Jakarta tidak menyebarkan alat kontrasepsi ke pelajar.
Baca SelengkapnyaKoalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Setop Revisi UU Polri, Ini Alasannya
Baca SelengkapnyaRevisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani menyebut DPR RI Periode 2019-2024 telah mengesahkan 225 RUU menjadi undang-undang.
Baca Selengkapnya