Tolak gugatan presidential threshold, MK dinilai seperti pengamat politik
Merdeka.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi soal ambang batas presidensial (presidential threshold) atau ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden yang ditetapkan 20 persen sampai 25 persen dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Gugatan uji materi Pasal 222 diajukan Partai Idaman, Effendi Ghazali, PBB, dan tokoh ACTA Habiburokhman.
Dalam putusan yang dibacakan Ketua MK, Arief Hidayat, MK menolak karena tidak beralasan secara hukum. "Permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 UU Pemilu adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Arief saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Kamis (11/1).
Menanggpi putusan tersebut, Direktur Perludem, Titi Anggraini menilai, MK tak yakin dengan putusannya. Logika yang dibangun MK dalam putusan itu dinilai jauh dari logika konstitusi atau UUD.
-
Mengapa Bivitri menganggap MK mengkerangkeng pencari keadilan gugatan Pilpres? Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti menilai hukum acara sengketa Pilpres 2024 terkesan mengkerangkeng agar kebenaran substansif tidak terkuak.
-
Apa isi putusan MK terkait Pilpres? MK menolak seluruh permohonan kubu 01 dan 03. Meski begitu ada tiga hakim yang memberi pendapat berbeda.
-
Siapa hakim MK yang berbeda pendapat? Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra berbeda pendatan (dissenting opinion) terhadap putusan batas usia capres-cawapres 40 tahun atau pernah menjabat kepala daerah untuk maju di Pemilu 2024.
-
Siapa yang menggugat hasil Pilpres 2024 di MK? Putusan ini dibacakan terpisah sesuai nomor registrasi perkara yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
-
Bagaimana MK memutuskan sidang sengketa Pileg? Teknisnya, perkara akan dibagi ke dalam tiga panel yang diisi oleh masing-masing hakim MK secara proporsional atau 3 hakim per panelnya.
-
Siapa yang mengomentari putusan MK? Kuasa Hukum Pasangan AMIN Bambang Widjojanto (BW) mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres 2024.
"MK seperti pengamat politik bicara presidensial rasa parlementer, lalu kemudian berbicara mengenai penyederhaan partai. MK terlihat tidak fokus berkaitan dengan argumen konstitusional yang ingin dibangun berkaitan dengan keberadaan ambang batas pencalonan presiden," jelas Titi ditemui usai sidang putusan MK.
Titi menyampaikan, dalam putusannya, MK tak menyentuh soal rasionalitas dan relevansi ambang batas pencalonan presiden terkait keberadaan Pasal 6a UUD 1945, termasuk juga penggunaan suara atau kursi dari Pemilu sebelumnya.
Logika yang paling tepat dan diterima ialah dissenting opinion (pendapat berbeda) dari dua hakim MK yang dinilai cocok dengan apa yang dimohonkan.
"Kami menghormati keputusan MK tapi kami merasa logika MK yang digunakan untuk memutus Pasal 222 yang tidak bsa kami terima secara logis dan terkesan MK memaksakan keputusan yang dibuat hari ini," jelasnya.
Sementara itu, Effendi Ghazali menyampaikan kendati permohonannya ditolak, ia mengaku bahagia karena mendengar dua dissenting opinion yang dinilai sangat jernih. Dalam putusannya, MK hanya menjadikan gugatan Partai Idaman sebagai struktur pembahasan.
"Sama sekali tidak menyinggung permohonan saya," ujarnya.
Putusan MK ini, menurutnya, sebuah batu ujian. Effendi juga berencana mengajukan kembali gugatan tersebut.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambah syarat capres dan cawapres di UU Pemilu menuai kontroversi. MK dianggap tidak konsisten.
Baca SelengkapnyaMK membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai.
Baca SelengkapnyaPerludem mengkritik keras putusan MA yang dianggap gagal menafsirkan UU
Baca SelengkapnyaTiti menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh disimpangi oleh semua pihak.
Baca SelengkapnyaDPR dan pemerintah bersama-sama harus merevisi Undang-Undang Pemilu sesuai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai seharusnya MK hanya menguji undang-undang apakah bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak.
Baca SelengkapnyaUsulan hak angket itu tidak serius dan hanya meramaikan dinamika politik tiga bulan ke depan.
Baca SelengkapnyaDengan begitu, tidak menutup kemungkinan kalau nantinya MK justru akan diolok-olok karena telah melakukan penyelewengan tugas.
Baca SelengkapnyaBawono menduga ada upaya menggulirkan isu tersebut agar menggerus elektabilitas Prabowo-Gibran
Baca SelengkapnyaKewenangan MK dalam pengujian peraturan perundang-undangan, hanya terbatas terhadap pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945.
Baca SelengkapnyaMenurut Saldi, baru pertama kali MK berubah pendirian dengan sekejap.
Baca SelengkapnyaPDI Perjuangan menilai demokrasi di Indonesia terbatas pada demokrasi prosedural.
Baca Selengkapnya