Untung Rugi Berebut Kuasa di Tengah Pandemi Covid-19
Merdeka.com - Pemerintah memutuskan untuk tetap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020. Penyelenggaraan pemilu kali ini akan berbeda lantaran masih dalam kondisi pandemi Covid-19.
Penyelenggaraan pemilu ini dinilai akan berhasil setelah melihat Korea Selatan yang juga melakukan pemilihan di masa pandemi. Bahkan partisipasi pemilih di Korsel meningkat menjadi 62 persen dari pemilu sebelumnya yang 58 persen.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meyakini penyelenggaraan Pilkada 2020 pada masa pandemi dapat berdampak positif terhadap pencegahan penyebaran virus Corona. Sebab isu penanganan Corona bisa menjadi isu yang diembuskan, baik oleh calon petahana maupun kandidat baru.
-
Bagaimana Pilkada 2020 dilaksanakan di tengah pandemi? Pemilihan ini dilakukan di tengah situasi pandemi COVID-19, sehingga dilaksanakan dengan berbagai protokol kesehatan untuk meminimalkan risiko penularan.
-
Kenapa Pilkada 2020 jadi penting? Pilkada Serentak 2020 menjadi salah satu momen penting dalam demokrasi Indonesia, meskipun dilaksanakan di tengah tantangan pandemi.
-
Apa itu Pilkada? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah proses demokratisasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung.
-
Apa itu Pilkada Inklusif? Pilkada yang inklusif adalah hak setiap warga negara, termasuk difabel. Ia menjelaskan bahwa difabel adalah bagian dari masyarakat yang memiliki hak yang sama.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
"Kami melihat dari segi negatif memang ada kerawanan pelaksanaan pilkada di masa pandemi. Tapi mungkin tantangan ini dapat menjadi peluang, yaitu adu gagasan dan kemudian adu kemampuan," katanya dalam rapat dengan Komisi II DPR RI, Kamis (11/6).
Selain itu, dia menambahkan, Pilkada 2020 akan diwarnai adu gagasan cerdas dan bukan saling serang isu suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Sebab, kampanye pada tahun ini akan lebih banyak memberikan program untuk mencegah virus asal Wuhan, China itu.
Lalu bagaimana nasib para peserta Pilkada pada tahun ini? Merdeka.com mencoba berbincang dengan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti mengenai untung rugi menjadi peserta Pilkada serentak 2020.
Petahana Raih Keuntungan Terbesar dari Pandemi
Aisah mengatakan, untung dan rugi Pilkada di masa pandemi ini bagi pasangan calon dipengaruhi oleh banyak faktor. Di mana secara umum pada akhirnya memberikan keuntungan besar bagi calon petahana dan calon bermodal, baik finansial maupun sosial yang kuat.
Di masa pandemi keuntungan petahana dan calon bermodal kuat jauh lebih besar lagi dari Pilkada sebelumnya. Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan petahana dan calon bermodal lebih diuntungkan.
"Pertama, mereka memiliki kemampuan lebih untuk mengakses publik. Dengan adanya pandemi saat ini, maka kampanye politik memiliki batasan atas dasar protokol kesehatan, seperti jumlah peserta kampanye dibatasi, kampanye tatap muka diminimalkan, kampanye sebisa mungkin scr digital, memaksimalkan alat peraga, dan lain-lain," katanya kepada merdeka.com, Rabu (1/7).
Kondisi tersebut, dia menambahkan, membutuhkan biaya kampanye besar untuk dapat menjangkau pemilih yang lebih luas. Ini menjadikan petahana dan calon bermodal memiliki kesempatan besar untuk mampu menjangkau pemilih lebih besar karena mampu membiayai pembelian alat peraga dan menempatkannya di banyak tempat.
"Pada aspek akses kepada pemilih ini, petahana juga diuntungkan karena posisinya sebagai kepala daerah saat ini memungkinkan mereka bertemu dengan masyarakat yang juga pemilih potensial saat Pilkada," jelas Aisah.
Faktor kedua, petahana dan calon bermodal memiliki kemampuan untuk memberikan bantuan atas dasar Covid-19 kepada masyarakat terdampak pandemi. Sehingga dapat meraih simpati pemilih lebih besar.
"Misalnya, petahana tentu kita tahu punya akses terhadap bansos dengan dana pemerintah, yang meski tidak secara langsung menjadi atas nama dirinya sebagai calon tapi tentu publik melihatnya kepala daerah sebagai pihak yang responsif membantu saat masa pandemi," ujarnya.
Kondisi tersebut membuat rentannya penyalahgunaan atau korupsi bantuan sosial. Sehingga patut menjadi perhatian besar publik terutama penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Namun, kondisi bisa berbalik merugikan bagi calon petahana jika tidak melakukan tindakan selama masa pandemi. Karena masyarakat akan memberikan penilaian lebih seksama pada petahana, terutama terkait kemampuan menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya.
"Jika dinilai kinerjanya buruk, dan bahkan diketahui memanfaatkan situasi pandemi untuk kepentingan kemenangan pemilu, maka bisa jadi mendapatkan rapor merah dari pemilih dan gagal terpilih kembali saat Pilkada," tegas Aisah.
Calon Independen Paling Dirugikan
Penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi menjadi ujian terberat bagi calon independen. Sebab tanpa ada pandemi, menjadi calon independen sudah memiliki kesulitan tersendiri dibandingkan mereka yang diusung oleh partai politik.
Aisah mengungkapkan, calon independen sudah sibuk mulai dari proses pendaftaran hingga akhir proses pemilu. Hal ini menjadi lebih besar saat Pilkada di masa pandemi saat ini.
Belum lagi pada masa pandemi ini, calon kepala daerah akan sulit melakukan kampanye tatap muka dengan masyarakat. Sehingga mereka yang maju melalui jalur independen akan kalah jaringan dengan calon dari partai politik.
"Misalnya, mereka akan lebih sulit menjangkau pemilih secara luas saat ini, terutama dengan pembatasan kampanye tatap muka, dibandingkan paslon partai yang punya dukungan struktur partai di setiap wilayah sampai tingkat desa/kelurahan, atau bahkan kampung, yang idealnya dapat diberdayakan untuk mengenalkan calon pada pemilih di lingkungan mereka," terangnya.
Tetapi, dia menegaskan, pada akhirnya kreativitas seorang calon kepala daerah tetap menjadi kunci untuk memenangkan pemilihan di masa pandemi. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat menyampaikan visi dan misi agar masyarakat memberikan pilihannya kepada calon kepala daerah.
"Muncul metode baru yang kreatif di masa pandemi, seperti kampanye digital, mail campaign yang bisa jadi alternatif dijalankan untuk pemilu selanjutnya. Keuntungan lain, bisa jadi calon menghadapi proses yang lebih memudahkan dalam beberapa tahapan Pilkada, seperti misalnya verifikasi faktual calon perseorangan melalui online," tutupnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Cak imin menilai pelaksanan Pilkada saat ini merusak tatanan demokrasi.
Baca SelengkapnyaPilkada terakhir yang diselenggarakan di Indonesia adalah Pilkada Serentak 2020, yang berlangsung pada tanggal 9 Desember 2020.
Baca SelengkapnyaPoses kandidasi yang telah terjadi dalam Pilkada 2024 dinilai sangat jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Baca SelengkapnyaOngku juga tidak mau menilai bahwa calon independen itu dikesankan sebagai boneka.
Baca SelengkapnyaMenteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengklaim pelaksanaan Pilkada 2024 mengukir sejarah baru dalam Pemilu di Indonesia.
Baca SelengkapnyaIncumbent adalah istilah yang kerap muncul saat Pilkada dan menarik dipelajari.
Baca SelengkapnyaPendaftaran calon kepala daerah melalui jalur independen mulai dibuka pada 5 Mei hingga 19 Agustus 2024.
Baca Selengkapnya"Tapi hati-hati tentang calon tunggal, itu lebih bahaya dari calon tidak tunggal," kata OSO
Baca SelengkapnyaMenko Budi menyebut ada beberapa wilayah yang harus melakukan pemungutan suara susulan
Baca SelengkapnyaMenurut Cak Imin, sejatinya pesta demokrasi dibuat senyaman dan seaman mungkin
Baca SelengkapnyaKetua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani menyinggung soal Orde Baru Reborn saat meresmikan kantor TPD Ganjar-Mahfud Jatim di Surabaya, Sabtu (4/11).
Baca SelengkapnyaAnies melanjutkan, bila harus berjuang dan mendapat tekanan kuncinya adalah dihadapi.
Baca Selengkapnya