Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Bisakah bermedia sosial tanpa ujaran kebencian?

Bisakah bermedia sosial tanpa ujaran kebencian? Ilustrasi Media Sosial. ©2014 Merdeka.com

Merdeka.com - Tentu bermedia sosial kini penuh ketidaknyamanan karena banyaknya berbagai kasus, mulai ujaran kebencian yang meliputi rasisme, pelecehan seksual kepada kaum wanita, penindasan kaum minoritas, dan sebagainya. Namun harusnya berbagai platform jejaring sosial punya cara untuk mengembalikan media sosial menjadi tempat yang lebih nyaman untuk berbagi.

Hal ini pertama kali diupayakan oleh Facebook, Twitter, Microsoft, dan YouTube, dengan menandatangani sebuah kode etik bersama Uni Eropa. Kode etik ini berisi persetujuan untuk meninjau semua laporan ujaran kebencian di masing-masing platform, dalam waktu paling lambat 24 jam dan mencatat serta menandai posting ujaran kebencian tersebut.

Melansir Engadget, Uni Eropa hingga saaat ini terus memantau kinerja perusahaan-perusahaan tersebut sejak momen penandatanganan tersebut. Akhirnya, kemarin (22/1) pejabat Uni Eropa melaporkan bahwa ujaran kebencian sudah berkurang secara signifikan.

"Hasil hari ini dengan jelas menunjukkan bahwa platform online menganggap serius komitmen mereka untuk meninjau laporan dan menghapus ujaran kebencian yang ilegal dalam waktu 24 jam," ujar wakil presiden Komisi Eropa, Andrus Ansip.

Komisaris Uni Eropa Vera Jourova menyatakan dalam konferensi persnya, bahwa platform online kini telah bersama-sama menangani ujaran kebencian, dengan rata-rata rasio 81 persen laporan ditinjau, dan 70 persen postingannya dihapus. Hal ini dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam.

Facebook adalah yang menerima paling banyak laporan ujaran kebencian, dengan meninjau 89 persen laporannya dalam waktu 24 jam. Sementara YouTube, berhasil meninjau 80 persen dan Twitter 62 persen. YouTube dan Twitter disebut menerima tak sampai setengah dari jumlah laporan yang didapat di Facebook.

Permasalahan terbesar tentu adalah fakta di mana kode etik bukan undang-undang. Jika gagal menerapkan kode etik ini, tak ada yang harus ditanggung oleh platform online sebagai hukuman. Di sisi lain, Jerman menerapkan hal ini sebagai undang-undang. Jadi jika ada ujaran kebencian di ranah Jerman yang dibiarkan oleh para platform online tanpa dihapus dalam 24 jam, Facebook/Twitter/YouTube/media sosial lain bisa didenda hingga 50 juta Euro.

Hal ini membawa angin segar untuk bermedia sosial yang lebih nyaman dari ujaran kebencian. Jika kita rajin melaporkan orang-orang yang kerap melakukan ujaran kebencian, ujaran kebencian akan lambat laun tak menjadi budaya. Undang-undang juga perlu dibuat untuk menghukum pelaku (saat ini sudah ada) serta menghukum pembiaran oleh platform seperti Facebook, agar kebebasan berpendapat tetap terjaga.

Jadi, harapan untuk bermedia sosial tanpa ujaran kebencian itu ada.

(mdk/idc)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Lawan Ujaran Kebencian Dengan Kuatkan Literasi Digital
Lawan Ujaran Kebencian Dengan Kuatkan Literasi Digital

Selain literasi digital, Khofifah mengatakan upaya yang bisa ditempuh dalam rangka melawan ujaran kebencian adalah melakukan filter.

Baca Selengkapnya
Diskriminasi adalah Perlakuan Berbeda yang Merugikan Golongan Tertentu, Ini Penyebab dan Dampaknya
Diskriminasi adalah Perlakuan Berbeda yang Merugikan Golongan Tertentu, Ini Penyebab dan Dampaknya

Diskriminasi sosial adalah suatu sikap membedakan secara sengaja terhadap orang atau golongan yang berhubungan latar belakang tertentu.

Baca Selengkapnya
Polisi Wanti-Wanti Konten Kreator soal UU ITE Buntut Galih Loss Ditangkap, Ini Isinya
Polisi Wanti-Wanti Konten Kreator soal UU ITE Buntut Galih Loss Ditangkap, Ini Isinya

Galih Loss ditangkap polisi karena konten bermuatan penistaan agama

Baca Selengkapnya
Jadikan Perbedaan Kekuatan Cegah Masuknya Paham Radikal Intoleran
Jadikan Perbedaan Kekuatan Cegah Masuknya Paham Radikal Intoleran

Masyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.

Baca Selengkapnya
5 Tips Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tekanan Media Sosial, Nomor 2 Sering Diabaikan
5 Tips Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tekanan Media Sosial, Nomor 2 Sering Diabaikan

Di balik keseruannya, ternyata ada bumerang yang mempengaruhi kesehatan mental.

Baca Selengkapnya
Perkuat Literasi Digital, Cara Cegah Hoaks dan SARA Jelang Pemilu
Perkuat Literasi Digital, Cara Cegah Hoaks dan SARA Jelang Pemilu

Hoaks dapat memecah belah persatuan bangsa, mengganggu stabilitas politik.

Baca Selengkapnya
Pengertian Diskriminasi Sosial, Penyebab, dan Contohnya yang Perlu Diketahui
Pengertian Diskriminasi Sosial, Penyebab, dan Contohnya yang Perlu Diketahui

Diskriminasi adalah masalah sosial yang dapat memicu perpecahan.

Baca Selengkapnya
Pentingnya Tata Krama di Media Sosial untuk Membangun Generasi Muda Bijak Berdigital
Pentingnya Tata Krama di Media Sosial untuk Membangun Generasi Muda Bijak Berdigital

Perilaku yang beradab, tidak hanya wajib dilakukan di dunia nyata, tapi diperlukan untuk membangun generasi penerus yang bijak berdigital.

Baca Selengkapnya
Jokowi: Ada yang Bilang Saya Plonga Plongo, Firaun, Tolol, Ya Tidak Apa-Apa
Jokowi: Ada yang Bilang Saya Plonga Plongo, Firaun, Tolol, Ya Tidak Apa-Apa

Secara pribadi, Jokowi mengaku tak masalah dihina dan diejek.

Baca Selengkapnya
Sepekan Jelang Pencoblosan, Kampanye Hitam Pilkada Sumsel Masih Marak di Medsos
Sepekan Jelang Pencoblosan, Kampanye Hitam Pilkada Sumsel Masih Marak di Medsos

Fenomena ini dikhawatirkan akan berdampak buruk pada kualitas proses demokrasi hingga berpotensi menimbulkan konflik antar pendukung calon kepala daerah.

Baca Selengkapnya