Media sosial dikritik, tapi tak bisa dibendung
Merdeka.com - Mantan petinggi Facebook, Chamath Palihapitiya belum lama ini mengungkapkan kegelisahannya tentang dampak negatif dari media sosial. Ia mengatakan, media sosial sejatinya telah merobek struktur hidup dalam bermasyarakat. Penggunaan fitur yang disematkan sebagai ‘kode’ interaksi seperti; like, love, maupun jempol, seakan menjadi candu bagi para penggunanya.
Menilik hasil kajian secara ilmiah yang disampaikan Chamath, media sosial telah terbukti menjadikan para penggunanya memiliki psikologis gila ‘penghargaan’ dari sesama pengguna. Candu inilah yang membuat pengguna media sosial lebih aktif mengaktualisasikan diri mereka di media sosial.
-
Bagaimana media sosial bisa berdampak negatif? Remaja yang menghabiskan waktu berlebihan di media sosial sering kali mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu aktif di platform tersebut.
-
Bagaimana adiksi smartphone mempengaruhi hubungan sosial? Yenny menekankan bahwa adiksi terhadap gawai tidak hanya memengaruhi aktivitas harian seseorang, tetapi juga dapat berdampak pada hubungan sosial dan keuangan.
-
Apa dampak dari ujaran kebencian di media sosial? Media sosial menjadi salah satu aspek yang ditekankan, karena berpotensi disalahgunakan lewat ujaran kebencian.
-
Apa dampak buruk terlalu banyak bermain media sosial terhadap kehidupan seksual? Ya, itu memang menjadi akar dari berbagai masalah. Terutama karena melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna dan terkurasi bisa membuat kita merasa tidak cukup, kurang menarik, dan cenderung mengalami stres. Semua perasaan ini dapat mengurangi keinginan kita untuk berhubungan intim.
-
Apa yang bikin stres karena media sosial? Meskipun media sosial memiliki manfaatnya, kebiasaan yang tidak sehat dalam penggunaannya dapat menyebabkan perasaan terputus, kesepian, dan stres.
-
Kenapa media sosial memicu FOMO? Media sosial merupakan salah satu penyebab utama FOMO karena platform-platform ini menampilkan kehidupan orang lain yang sering terlihat sempurna dan penuh keseruan. Ketika seseorang melihat unggahan teman atau tokoh idola yang sedang menikmati momen istimewa, perasaan takut tertinggal atau tidak cukup mengikuti tren dapat muncul. Hal ini membuat seseorang merasa seakan-akan kehidupannya kurang menarik atau kurang berharga dibanding orang lain.
“Dan ini adalah masalah global,” katanya.
Kekhawatiran dampak negatif dari era media baru komunikasi, pada dasarnya adalah hal yang lumrah. Masalahnya, setiap kemunculan perkembangan media baru berkomunikasi, ada yang terlepas dari kebiasaan dalam berperilaku sebelumnya. Permasalahan itu sebenarnya telah tercatat dalam sejarah setiap kali muncul perkembangan teknologi komunikasi dan informasi.
“Itu hal yang wajar. Karena dalam sejarah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi manusia, sesuatu teknologi pasti akan banyak mengubah struktur dan interaksi sosial,” ujar pengamat media sosial Ruli Nasrullah kepada Merdeka.com, Selasa (12/12).
Kendati begitu, Ruli sepakat dengan mantan petinggi Facebook itu yang mengatakan pengguna media sosial lebih rentan terkena dampak psikologis. Dampak psikologis ini, tak hanya membayangi masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah.
“Bahkan yang well educated juga bersoalan dalam perilaku bermedia sosial,” kata dia.
Maka itu, seiring kemajuan zaman, media sosial akan tetap menjadi medium baru dalam berkomunikasi. Artinya, keberadaaan media sosial pun tak bisa dibendung. Hanya saja, kompleksitas kekhawatiran di media sosial, semestinya juga bebarengan dengan memberikan pemahaman berperilaku di ranah siber.
Sebagaimana diketahui, siapapun itu dapat dengan mudah membuat akun media sosial. Menyembunyikan jati dirinya, menampilkan karakter sesuai dengan yang diinginkan. Bisa saja dengan identitas yang tersembunyi, melakukan ujaran-ujaran kebencian.
“Yang paling penting itu, literasi digital. Literasi digital di lingkungan keluarga, sekolah, bahkan pemerintah sendiri. Ini kan menjadi persoalan serius,” jelasnya yang juga sebagai dosen di UIN Jakarta.
Hal senada juga diutarakan oleh pengamat media sosial, Enda Nasution. Katanya, tak selalu media sosial berdampak negatif. Ada hal-hal yang membuat media sosial itu memiliki sisi positif. Seperti, pendidikan, bisnis, bahkan pengembangan diri.
“Pemilik platform harus sadar apa yang terjadi di layanannya, dan stop memberikan insentif yang mendorong orang untuk share hal-hal negatif. Penggunanya juga harus makin pinter dan juga organisasi-organisasi civil society dan pemerintah mengawasi,” ungkapnya.
(mdk/idc)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Oversharing dapat diartikan sebagai berbagi berlebihan atau terlalu banyak berbagi.
Baca SelengkapnyaPerilaku yang beradab, tidak hanya wajib dilakukan di dunia nyata, tapi diperlukan untuk membangun generasi penerus yang bijak berdigital.
Baca SelengkapnyaRuang digital harus diisi dengan konten-konten yang positif dan karya yang baik.
Baca SelengkapnyaPerilaku digital abuse dapat membahayakan setiap individu di dunia maya maupun kehidupan nyata.
Baca SelengkapnyaPerasaan kelelahan ditandai dengan menurunnya minat untuk berinteraksi di media sosial serta ketidakpuasan kala melihat kehidupan orang lain di sosial media.
Baca SelengkapnyaLG Electronics melakukan survei tentang media sosial dan algoritma.
Baca Selengkapnya