MRT Tak Ada Sinyal, Perang Tarif Operator Seluler Penyebabnya
Merdeka.com - Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta sudah akan beroperasi secara komersial per 1 April 2019. Namun masih ada beberapa kendala yang muncul dari pengguna MRT.
Salah satunya adalah sinyal yang hilang saat mereka memasuki rute bawah tanah.
Hal tersebut disebabkan oleh para operator yang masih belum memutuskan untuk memasang jaringannya di jalur bawah tanah MRT.
-
Mengapa MRT dibangun? Selain saluran air, kabel, gas dan PAM, transportasi massal juga melintas di bawah tanah Jakarta. Terdapat enam kilometer jalur Mass Rapid Transit (MRT) di bawah tanah Jakarta. Tahukah Anda jika MRT sebenarnya sudah dirintis sejak era Orde Baru, yakni tahun 1985. Bagaimana perjalanan panjang dibangunnya MRT?
-
Apa penyebabnya? Selingkuh adalah pilihan yang diambil oleh individu tersebut, dan tidak ada yang bisa dilakukan oleh pasangan untuk mengendalikan perilaku ini. Oleh karena itu, selama seseorang belum benar-benar memahami alasan di balik tindakannya, perubahan akan sulit untuk dicapai.
-
Bagaimana Pemprov DKI menutup kerugian MRT? 'Akhirnya ketemu ditutup dari ERP atau electronic road pricing. Ketemu, ya sudah, diputuskan dan saya putuskan. Dan itu keputusan politik, bahwa APBN atau APBD sekarang masih suntik Rp800 miliar itu adalah memang adalah kewajiban. Karena itu pelayanan, bukan perusahaan untung dan rugi,' kata Jokowi.
-
Kenapa pelayanan di Stasiun Tawang dialihkan? Sementara itu, dampak banjir yang belum surut di Stasiun Tawang pelayanan keberangkatan awal kereta dari Stasiun Semarang Tawang Bank Jateng dialihkan ke Stasiun Semarang Poncol sesuai dengan jadwal yang tertera pada tiket.
-
Siapa yang menyatakan ERP solusi kerugian MRT? Jokowi Sebut ERP Bisa Jadi Solusi Tutupi Kerugian MRT, Ini Respons Pemprov DKI Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Syafrin Liputo menanggapi pernyataan Presiden Jokowi menyebut electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar bisa menutup kerugian pembangunan dan operasional MRT.
-
Kenapa MPLS bisa bikin gugup? MPLS juga dapat menimbulkan rasa cemas dan gugup bagi sebagian siswa karena bisa menjadi tantangan tersendiri.
Banyaknya operator yang enggan membangun jaringan telekomunikasi juga menjadi sorotan Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), melansir laporan dari Tekno Liputan6.com.
Menurut Enny, seharusnya seluruh masyarakat dan dunia usaha mendukung program strategis nasional termasuk keberadaan layanan MRT di Jakarta.
Enny menilai, MRT merupakan program strategis nasional dan pionir di bidang transportasi masal modern. Sudah seharusnya perusahaan telekomunikasi mau berkontribusi di program pemerintah ini, dengan membangun jaringan telekomunikasi di sepanjang jalur MRT.
"Pemerintah tentunya membutuhkan kontribusi serta dukungan semua pihak termasuk perusahaan telekomunikasi. Seharusnya perusahaan telekomunikasi mau membangun jaringan telekomunikasi di MRT. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan kenyamanan dalam berkomunikasi dan tertarik untuk menggunakan layanan umum seperti MRT," ujar Enny.
Menurutnya, seharusnya PT MRT Indonesia dan Tower Bersama dapat transparan kepada publik berapa sebenarnya biaya yang dikenakan untuk setiap operator.
Berdasarkan kalkulasi, seharusnya dengan banyak operator yang tertarik membangun jaringan sepanjang jalur MRT, komponen biaya yang ditanggung oleh masing-masing operator justru akan berkurang. Sebab, biaya pembangunan jaringan telekomunikasi di MRT ditanggung renteng oleh seluruh operator.
"Jika memang harga sudah transparan disampaikan oleh PT MRT dan Tower Bersama namun masih ada operator yang tak sanggup membayar, maka operator tersebut tak boleh komplain. Apa lagi menuduh jika ada monopoli oleh salah satu operator. Selain itu pelanggan yang tak mendapatkan layanan telekomunikasi di MRT juga tidak boleh komplain ke pemerintah. Tetapi komplain ke operator mereka yang tak mau investasi di jalur MRT," jelas Enny.
Enny memberikan contoh, di mana tahun yang lalu ada operator yang tak mau membangun di daerah.
Mereka tak mau membangun, lantaran daerah tersebut tak menguntungkan. Mereka hanya mengejar pembangunan di daerah yang menguntungkan saja.
Namun setelah daerah tersebut berkembang dan menguntungkan dari segi bisnis, operator yang tadinya enggan untuk membangun justru malah getol meminta sharing.
"Kelakuan ini sangat aneh. Mereka tidak untuk sharing investasi ketika awal-awal pembangunan. Namun, kini setelah daerah tersebut tumbuh mereka meminta sharing. Itu tidak adil," tukasnya.
Enny mengakui, operator sebagai badan usaha selalu memikirkan soal benefit dan cost. Berbeda dengan Telkom dan Telkomsel yang diminta selalu hadir untuk mewakili negara.
Mereka memang harus terus berinvestasi meski dalam jangka pendek belum menguntungkan. Sementara, operator lain hanya investasi di daerah yang menguntungkan saja.
"Perbedaan ini membuat Telkom dan Telkomsel tidak bisa melakukan perang tarif. Namun operator lain tidak demikian. Dengan enggannya mereka investasi di tempat yang tidak menguntungkan, opportunity operator lain untuk menggunakan tools perang tarif akan semakin besar. Daripada mereka investasi, mending dipakai untuk akusisi pelanggan dengan perang tarif. Ini sangat tidak fair," papar Enny.
Disampaikan Enny, sebenarnya kompetisi itu bagus. Karena akan menguntungkan konsumen dan mendorong efisiensi serta optimalisasi.
Namun, perang tarif yang saat ini terjadi di industri telekomunikasi nasional sudah kebablasan. Karena sudah menimbulkan ketidakadilan yang bisa berujung pada kerugian besar bagi masyarakat dan negara.
Saat ini, kerugiannya malah sudah tampak, yakni tidak adanya pemerataan layanan telekomunikasi. Saat ini operator yang mampu dan mau investasi serta mendukung program pemerintah hanya BUMN telekomunikasi saja.
Mereka mau investasi di daerah terpencil dan tidak menguntungkan, seperti halnya investasi yang tak menguntungkan di jalur MRT.
"Perang tarif yang saat ini terjadi sudah menimbulkan kerugian sosial. Karena operator tak mampu mendukung program pemerintah dalam pemerataan layanan dan jaringan telekomunikasi. Bahkan operator tak mampu lagi mendukung secara optimal program strategis nasional seperti menyediakan layanan telekomunikasi di jalur MRT," tegas Enny.
Enny sendiri menyarankan agar Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk segera menjinakkan perang tarif di industri telekomunikasi.
Dengan ini, deretan operator telekomunkasi memiliki kemampuan untuk mendukung salah satu program strategis nasional.
Sumber: Tekno Liputan6.comReporter: Jeko I.R
(mdk/idc)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kondisi operator seluler di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Baca SelengkapnyaPemerintah terlalu memberatkan keuangan perusahaan telekomunikasi dengan biaya penggunaan frekuensi yang semakin naik.
Baca SelengkapnyaAda banyak tugas menanti Menkominfo pilihan Presiden Prabowo, salah satunya di sektor telekomunikasi.
Baca SelengkapnyaLayanan Over The Top (OTT) seperti Google dan Meta, masih menjadi permasalahan hingga hari ini.
Baca SelengkapnyaPresiden Direktur Smartfren justru menanyakan balik statement pemerintah soal BTS tak lagi dipakai setelah ada Starlink.
Baca SelengkapnyaRespons pengusaha internet mendengar statment pejabat pemerintah soal harga murah Starlink.
Baca SelengkapnyaIndustri halo-halo sedang tidak baik-baik saja. Pemerintah harus hadir dengan terobosan regulasi.
Baca SelengkapnyaDua Kereta Rel Listrik (KRL) commuter line arah Stasiun Manggarai dan Jakarta Kota tertahan di Stasiun Pasar Minggu lebih dari 30 menit.
Baca SelengkapnyaKesulitan keuangan yang menerpa maskapai tersebut setelah CEO perusahaan Rayner Teo mengajukan pengunduran dirinya minggu lalu.
Baca SelengkapnyaKesulitan keuangan yang menerpa MYAirline terjadi setelah CEO maskapai tersebut Rayner Teo mengajukan pengunduran dirinya minggu lalu.
Baca SelengkapnyaSejumlah perjalanan kereta dialihkan seperti tujuan Rangkasbitung hanya sampai Sudimara.
Baca SelengkapnyaOperator seluler khawatir jika tidak ada ketidakadilan dalam berbisnis saat satelit Starlink Elon Musk masuk Indonesia.
Baca Selengkapnya