4 Fakta di balik kekesalan Jokowi soal ekspor RI kalah dari negara tetangga
Merdeka.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menggenjot produksi dalam negeri untuk meningkatkan ekspor agar Indonesia bisa terbebas dari jerat impor. Namun, ekspor Indonesia nyatanya saat ini masih kalah dengan negara tetangga, seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia.
Dia mencatat, ekspor Indonesia pada 2017 mencapai 145 miliar dolar AS masih kalah dengan Thailand yang mencapai 231 miliar dolar As, Malaysia 184 miliar dolar dan Vietnam yang mencapai 160 miliar dolar. Menurutnya, ada yang salah dengan kebijakan ekspor dalam negeri.
"Negara sebesar ini kalah dengan Thailand. Dengan resources dan SDM yang sangat besar, kita kalah. Ini ada yang keliru dan harus ada yang diubah," kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (31/1).
-
Kenapa Presiden Jokowi mengutamakan produk dalam negeri? Menurut Hendi, Presiden Jokowi sudah memberikan arahan agar belanja Kementerian, Lembaga dan Pemda mengutamakan Produk Dalam Negeri yakni sebesar 95 persen. Selain itu belanja Kementerian, Lembaga dan Pemda sebanyak 40 persen wajib untuk mengutamakan UMKK.
-
Bagaimana Kemendag mendorong ekspor produk Tanah Air? 'Pemerintah pusat akan terus mendorong ekspor produk Tanah Air ke luar negeri seperti ini. Inikan hasil komunikasi kerja antara produsen dalam hal ini WKI dengan Pak Susanto Lee (Direktur Distributor Kara Marketing Malaysia) dengan atase kami Pak Deden di Malaysia, yang terus bekerja untuk mencarikan pasar di Malaysia, dan kami akan berniat merambah ke pasar Brunei, Vietnam, dan beberapa negara ASEAN lainnya,' ucap Didi Sumedi.
-
Kenapa Jokowi prihatin dengan dominasi impor teknologi? Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan pentingnya transformasi Indonesia dari konsumen menjadi produsen dalam industri teknologi global. Jokowi prihatin atas dominasi impor dalam penggunaan perangkat teknologi di Indonesia, dengan nilai impor yang mencapai lebih dari Rp30 triliun.
-
Kenapa Presiden Jokowi mengajak investor Tiongkok berinvestasi di Indonesia? Mengingat sejumlah indikator ekonomi di Indonesia menunjukkan capaian positif, antara lain pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5 persen, neraca dagang yang surplus 41 bulan berturut-turut, Purchasing Manager Index (PMI) berada di level ekspansi selama 25 bulan berturut-turut, dan bonus demografi.
-
Bagaimana Jokowi mendorong investasi di IKN? Jokowi juga menegaskan pentingnya dukungan investasi saat ini untuk mewujudkan visi pembangunan Ibu Kota Nusantara.'Jadi kalau mau investasi, sekali lagi, sekarang,' tegasnya.
-
Apa yang dilakukan Kemendag untuk memperluas pasar ekspor? Kementerian Perdagangan terus memperluas pangsa ekspor produk Indonesia hingga ke Meksiko. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan menggelar pameran Expo Indonesia en Mexico (EIM) pada 3--6 Agustus 2023 di kawasan World Trade Center, Mexico City, Meksiko dan menghadirkan 51 pelaku usaha di pameran tersebut.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia dari Januari hingga Desember 2017 mengalami surplus USD 11,84 miliar. Menurutnya, surplus ini lebih tinggi dari surplus tahun 2015 sebesar USD 7,67 miliar dan 2016 yang sebesar USD 9,53 miliar.
Tercatat, nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2017 mencapai USD 168,73 miliar atau meningkat 16,22 persen dibanding periode yang sama tahun 2016. Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari-Desember 2017 berasal dari Jawa Barat dengan nilai USD 29,18 miliar (17,29 persen).
Berikut fakta di balik kekesalan Presiden Jokowi mengenai ekspor Indonesia yang masih kalah dari negara tetangga.
Pasar ekspor Indonesia terlalu monoton
Presiden Jokowi mengatakan sudah merupakan tanggung jawab Kementerian Perdagangan untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Menurutnya, ada kekeliruan yang harus dibenahi sehingga ekspor Indonesia tidak kalah dengan negara-negara tetangga yang jumlah penduduk dan sumber dayanya masih di bawah Indonesia.
Dia juga menyebut Indonesia terlalu monoton dan mengurus pasar tradisional saja dan tidak mau membuka pasar baru.
"Kita tidak lihat Pakistan yang penduduknya 270 juta dibiarkan dan tidak diurus. Bangladesh misalnya penduduknya tidak kecil, 160 juta ini pasar besar meski sudah surplus tapi angkanya terlalu kecil. Afrika tidak pernah kita tengok, bahkan ada expo di sana kita tidak ikut. Kesalahan seperti ini yang rutin dan tidak pernah diperbaiki," ungkap Presiden.
Dia mengingatkan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita untuk melakukan evaluasi dan apa yang harus dilakukan dalam meningkatkan ekspor Indonesia. Mengingat, pertumbuhan ekonomi hanya didorong oleh dua hal, yakni investasi dan ekspor.
"Setelah pembukaan (Raker) tolong Pak Menteri secara detil dievaluasi dan apa yang harus dilakukan. Jangan raker tapi tidak memunculkan sesuatu yang baru dan tidak memunculkan ide baru, gagasan baru agar kita bisa bersaing dengan negara lain," tegasnya.
Pusat promosi perdagangan RI belum terlihat kinerjanya
Presiden Jokowi meminta Kementerian Perdagangan untuk mengevaluasi mengenai ekspor ini, termasuk kinerja pusat promosi perdagangan Indonesia (Indonesia Trade Promotion Centre/ITPC). Menurutnya, selama ini ITPC tidak memberikan manfaat untuk sektor perdagangan Indonesia, sehingga dia akan menutup ITPC jika masih belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
"ITPC apa bertahun-tahun kita memiliki ITPC apa yang dilakukan? Apa mau kita terus teruskan? Kalau saya tidak. Saya lihat tidak ada manfaat ya saya tutup. Negara keluar biaya untuk itu, negara keluar duit yang tidak kecil. Banyak. Apa yang sudah dilakukan? Apa yang sudah dikerjakan? Kalah dengan negara-negara yang tadi saya sebut. Tidak mau saya kerja-kerja seperti ini," kata Jokowi.
Menurutnya, ITPC seharusnya memiliki market intelligence yang dilakukan oleh tim terlatih untuk mendapatkan informasi, digunakan untuk menyelesaikan segala perkara yang berhubungan dengan rencana dan strategi pemasaran. Sehingga bisa membawa manfaat lebih bagi sektor perdagangan Indonesia, dengan
"ITPC, Atase Perdagangan kita untuk apa, mestinya di situ ada market intelligence, di situ bisa melihat peluang-peluang di negara yang Bapak Ibu dan saudara-saudara bertugas itu apa. Dirjen juga harus bisa melihat seperti peluangnya apa, kendala-kendala di dalam negeri ini apa yang perlu dibenahi," imbuhnya.
Distribusi perdagangan RI tak efisien
Tak hanya Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui jika ekspor dalam negeri masih kalah dengan negara tetangga. Hal itu karena sektor perdagangan Indonesia masih mempunyai banyak kekurangan, salah satunya ialah dari sisi logistik.
"Apa kekurangannya di dalam negeri kita logistiknya tidak terlalu efisien. Bukan hanya tidak efisien, kalah efisien dibandingkan dengan negara lain. Ini tentu termasuk angkutan darat, laut, udara, kereta api, kemudian pergudangan, dan kegiatan bermutunya," katanya di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (31/1).
Berdasarkan data tahun 2017 rasio antara logistik dengan Produk Domestik Bruto (PDB) 24 persen. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan negara lain yang kurang dari 15 persen. Selain itu, kekurangan lainnya masalah free on board (FOB), yang artinya eksportir hanya bertanggung jawab sampai barang berada di atas kapal tapi tidak sampai ke tujuannya.
"Hal menarik lain bicara mengenai ekspor dan impor kita juga selain perkembangan kelebihan, kekurangan kita adalah ekspor kita sebagian besar FOB, hanya sampai di pelabuhan saja," jelas Menko Darmin.
Perdagangan luar negeri cenderung proteksionis
Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengatakan, dinamika perdagangan luar negeri cenderung proteksionis sehingga menjadi sulit untuk melakukan negosiasi ekspor. Selain itu, negara-negara tujuan ekspor RI tersebut mengalihkan impor mereka dari negara yang sudah bebas bea.
"Vietnam begitu agresif Malaysia begitu luar biasa dengan Thailand dan sekarang nyusul Kamboja itu mereka membuka diri. Sedangkan kita sudah hampir 10 tahun baru satu Chili, kendala ini lah yang harus kita tembus," kata Mendag Enggar di Hotel Borobudur, Rabu (31/1).
Lanjutnya, meski kalah dengan negara lain namun Kemendag tetap yakin bahwa di tahun ini bakal ada perjanjian multilateral yang bisa diselesaikan. "Selain itu kita tidak boleh egois hanya mau ekspor, tapi tidak mau impor. Kalau dagangan ada keduanya," ucapnya.
Kunci keberhasilan peningkatan ekspor adalah pada saat tandatangan perjanjian, karena kalau tidak, negara itu akan lari ke produk negara yang lebih murah. Indonesia sendiri sudah hampir 10 tahun tidak ada perjanjian perdagangan. Untuk itu Presiden Jokowi memerintahkan membuka pasar baru dengan berbagai perjanjian-perjanjian perdagangan, seperti Free Trade Agreements (FTA) agar meningkatkan ekspor Indonesia.
"Ini yang harus kita kejar, kalau bisa kita kejar di 2018 baru bisa kita nikmati di 2019. Untuk itu dengan beberapa negara, Pakistan kita akan tingkatkan jadi FTA, tapi bertahap dulu seperti Chili. Kalau tidak lama lagi," tandasnya. (mdk/azz)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Presiden Jokowi meminta pasar dalam negeri tidak di kuasai oleh produk mebel impor.
Baca SelengkapnyaJokowi menyebut, produk mebel RI ada di peringkat 17. Sementara Vietnam ada di posisi 2 dan Malaysia 12.
Baca SelengkapnyaPMI Manufaktur Indonesia pada Juli 2024 terkontraksi atau berada di zona negatif.
Baca SelengkapnyaJokowi teringat masa lalu jika hadir di kegiatan permebelan.
Baca SelengkapnyaJokowi menyebut kondisi itu sangat memprihatinkan dan menjadi pekerjaan besar untuk pemerintah.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi prihatin peran Indonesia masih minim dalam industri teknologi global.
Baca SelengkapnyaJokowi ingin RI tak mau kalah dan harus memperluas pasar produk lokalnya.
Baca SelengkapnyaPadahal, pemerintah pusat sangat sulit mengumpulkan uang dari pajak, royalti, hingga dividen untuk ditransfer ke daerah.
Baca SelengkapnyaMendengar kabar tersebut, Presiden Jokowi menyebut sangat memprihatinkan
Baca SelengkapnyaJokowi menyinggung serapan anggaran pembelian produk dalam negeri untuk pemerintah kabupaten dan kota masih kecil
Baca SelengkapnyaJokowi menyinggung tentang over-produksi di China yang memicu kekhawatiran banyak negara terkait membanjirnya produk impor murah.
Baca SelengkapnyaKejadian serupa juga terjadi pada tahun 1970 dan 1980, saat komoditas yang dimiliki banyak oleh Indonesia tidak memberikan nilai tambah bagi penerimaan negara.
Baca Selengkapnya