4 Sindiran Dirjen Pajak ke Jokowi dan Prabowo
Merdeka.com - Setiap tahunnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan selalu dihadapkan pada tantangan besar yakni memaksimalkan penerimaan pajak yang selama ini diakui masih sangat rendah. Ini menjadi faktor penting mengingat pajak menjadi instrumen utama penerimaan negara.
Namun, pada kenyataannya target Pajak yang ditetapkan pemerintah selalu meleset. Hal itu diakui sendiri oleh Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany . Dalam pandangannya, tidak mudah mencapai target pajak yang dipatok terlampau tinggi. "Target penerimaan kita tidak bisa tembus padahal potensinya besar sekali," ujar Dirjen Pajak, Fuad Rahmany , saat rapat bersama Banggar DPR di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/6).
Tahun ini, realisasi penerimaan negara dari sektor pajak juga diprediksi sulit dicapai. Realisasi penerimaan pajak triwulan I jadi gambaran sulitnya mencapai target pajak yang tahun ini ditetapkan di atas Rp 1.100 triliun. Realisasi penerimaan pajak triwulan I anjlok, hingga 28 April 2014 setoran ke kas negara baru terkumpul Rp 281,714 triliun. Alhasil, pencapaian pajak masih sebatas 25,38 persen. Beberapa waktu lalu, Fuad sempat menyatakan angkat tangan dengan tingginya target pajak. Untuk tahun ini, pendapatan dari pajak sudah tidak bisa diharapkan untuk menutup potensi defisit anggaran mencapai Rp 400 triliun.
-
Kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia harus di atas 7%? 'Kalau kita mau menuju Indonesia emas, pertumbuhan ekonomi kita harus di atas 7 persen. Pendapatan per kapita kita harus di atas 10 ribu dolar AS. GDP kita harus 5-6 terbesar di dunia. Oleh karena itu dibutuhkan mesin pendongkrak ekonomi,' ujar Bahlil saat Kuliah Umum di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Jawa Barat, Kamis (17/7).
-
Apa itu pajak? Pungutan Wajib KBBI mendefinisikan pajak sebagai pungutan wajib untuk penduduk kepada negara atas pendapatan, pemilikan, dan lainnya.
-
Apa target pertumbuhan ekonomi Indonesia? Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan Pemerintah menyepakati target sasaran pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 mendatang berada pada rentang 5,3 persen sampai 5,6 persen.
-
Apa yang Jokowi Apresiasi kepada Presiden JAPINDA? 'Saya mengapresiasi JAPINDA yang telah banyak membantu mempromosikan kerja sama ekonomi, mentoring perusahaan Jepang yang ingin memperluas bisnisnya di Indonesia,' ujar Jokowi di Jepang, Senin (18/12).
-
Bagaimana Jokowi harap ekonomi Pohuwato berkembang? 'Semoga dengan adanya bandara ini ekonomi di Pohuwato bisa lebih berkembang lagi, muncul titik-titik pertumbuhan ekonomi baru,' ucap Jokowi.
-
Apa itu Pajak Progresif? Sementara itu, pajak progresif adalah biaya yang harus dibayarkan jika seseorang memiliki lebih dari satu kendaraan, dimana total pajak akan bertambah seiring dengan jumlah kendaraan yang semakin banyak.
Potensi pajak Indonesia disebut-sebut sangat tinggi, namun rasio pajak masih di level 11 persen. Jika dibandingkan negara lain, masih jauh. Berdasarkan data dari Heritage Foundation yang berbasis di Washington DC, tax ratio Denmark mencapai 49 persen, Finlandia 43,6 persen, Selandia Baru 34,5 persen, Swedia 45,8 persen, Australia 30,8 persen, Norwegia 43,6 persen, Kanada 32,2 persen, Belanda 39,8 persen, Jerman 40,6 persen, Portugal 37 persen, Belgia 46,8 persen, Austria 43,4 persen, Prancis 44,6 persen, Inggris 39 persen, Jepang 28,3 persen, Amerika Serikat 26,9 persen, Malaysia 15,5 persen, Thailand 17 persen, Filipina 14,4 persen, Vietnam 13,8 persen. Indonesia masih lebih tinggi dari Kamboja yang hanya 8 persen dan Myanmar yang hanya sebesar 4,9 persen.
Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut Indonesia butuh sepuluh tahun jika ingin memiliki tingkat rasio pajak seperti Jepang yang saat ini sekitar 28 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Oleh karena itu kita perlu extra effort untuk meningkatkan rasio pajak," kata Chatib beberapa waktu lalu.
Kondisi ini tentu harus jadi perhatian calon presiden periode 2014-2019. Kedua calon presiden baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo sama-sama sempat menyinggung soal masalah pajak. Bos Pajak pun ikut angkat bicara terkait pandangan dan pernyataan calon orang nomor satu di Indonesia.
Dirjen Pajak justru menyindir keduanya. Merdeka.com mencatat sindiran-sindiran Dirjen Pajak ke Prabowo dan Jokowi. Berikut paparannya.
Tak setuju usul Jokowi pajak jadi kementerian
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany, menanggapi dingin rencana salah satu calon presiden untuk membentuk kementerian pajak atau badan khusus pajak, terpisah dari Kementerian Keuangan.
Menurut Fuad, permasalahan bukan terletak di instansinya, namun pada kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM). "Saya rasa tidak perlu menjadi kementerian," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/6).
Usulan menceraikan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan muncul dari Capres Joko Widodo. Menurut Jokowi, pendapatan dan pengeluaran negara harus berada dalam wadah yang berbeda. Sebab secara manajemen penerimaan dan pengeluaran harus terpisah. Namun, walaupun berada dalam wadah tersendiri, harus berada di bawah pengawasan presiden.
"Dan menurut saya, pajak itu memang harus menjadi badan sendiri atau kementerian sendiri di bawah presiden. Iya dong karena enggak mungkin yang namanya pendapatan penerimaan sama dengan pengeluaran dalam satu kotak kementerian," ungkap Jokowi di Balai Kota beberapa waktu lalu.
"Harusnya yang mengeluarkan sendiri yang nerima sendiri. Dalam manajemen apa pun tidak mungkin disatukan dalam satu kotak. Ini manajemen," tambahnya.
Sindir Prabowo tax ratio 16 persen cuma mimpi
Pernyataan kubu capres-cawapres Prabowo Subianto - Hatta Rajasa yang menyebutkan rasio pajak bisa menembus 16 persen jika Prabowo jadi presiden, dinilai cuma sebatas mengumbar mimpi.
Sebab, Direktur Jendral Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany menuturkan, institusi pengumpul Pajak masih memiliki kelemahan mendasar yakni kurangnya jumlah pegawai pajak.
"Saya katakan para presiden baru itu jika menetapkan target rasio pajak 15-16 persen itu mimpi," ujarnya saat rapat bersama Banggar di Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/6).
Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan peningkatan pajak dilakukan dengan mencari sumber pajak baru tanpa menaikkan tarif pajak.
"Tanpa meningkatkan tarif. Saat ini penerimaan pajak sangat sangat rendah. Menurut Bank Dunia, rasio pendapatan pajak Indonesia 11,7 persen dari GDP. Thailand juga yang negara korup bisa 17 persen (rasio pajak)," tegasnya di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (2/6).
Dalam hitungan Hashim, jika Indonesia bisa meningkatkan rasio pajak menjadi 17 persen, maka pendapatan negara akan bertambah Rp 450 triliun. "Kita akan menghimpun efisiensi pajak. Dalam rencana kita akan buat Kementerian Penerimaan Negara salah satu hal kita kaji," tuturnya.
Pajak tak menarik diperdebatkan
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany merasa debat calon presiden digelar Komisi Pemilihan Umum akhir pekan lalu tidak menyinggung beberapa persoalan krusial di bidang perekonomian.
Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo banyak membahas belanja negara, tapi tak menyinggung sedikitpun sektor penerimaan negara yang 75 persen berasal dari uang pajak.
"Harusnya itu menjadi topik pembicaraan, tapi dalam tanya jawab juga tidak ada, tidak ada yang bertanya," ujarnya di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (17/6).
Lemahnya pembahasan mengenai pajak ini, kemungkinan karena dianggap persoalan teknis. Sehingga dikhawatirkan kurang menarik bagi para pemilih yang menyaksikan debat dari layar kaca. "Banyak yang berpikir pajak ini masih masalah teknis," Fuad menambahkan.
Program bagus, sumber dana darimana?
Dirjen Pajak Fuad Rahmany angkat bicara soal janji-janji dan program kandidat presiden 2014-2019. Program-program kedua capres, kata Fuad, sebetulnya cukup baik.
Masing-masing punya rencana membangun infrastruktur, mengurangi pengangguran, serta meningkatkan sumber daya manusia melalui jaminan sosial.
Masalahnya, Prabowo dan Jokowi tidak menjelaskan dari mana sumber dana mereka menjalankan semua janji kampanye tersebut, seandainya nanti terpilih.
"Kalau enggak ada uang pajak ya gimana," kata Fuad.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Prabowo menilai, rasio pajak indoensia masih jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga, semisal Malaysia, Thailand hingga Kamboja.
Baca SelengkapnyaMenko Airlangga menargetkan Indonesia mampu menjadi negara maju pada 2045 mendatang dengan syarat gaji minimal Rp10 juta per bulan.
Baca SelengkapnyaPrabowo mengakui bagian dari tim Jokowi, yang akan melanjutkan kebijakan-kebijakannya.
Baca SelengkapnyaTarget ini bertujuan agar tingkat pendapatan perkapita juga naik.
Baca SelengkapnyaJepang bisa turun peringkat karena pelemahan mata uang dan penurunan produktifitas.
Baca SelengkapnyaPertumbuhan PDB selama 10 tahun Jokowi memperlihatkan pencapaian positif bagi ekonomi Indonesia.
Baca SelengkapnyaBerikut harta kekayaan Presiden Jokowi selama 10 tahun berkuasa.
Baca Selengkapnya"Apa kita lebih bodoh dari orang Thailand, apa kita lebih bodoh atau kita lebih malas," kata Prabowo.
Baca SelengkapnyaGibran mengaku akan membentuk lembaga khusus untuk penerimaan negara yang dikomandoi Presiden.
Baca SelengkapnyaUntuk mencapai target tersebut, Prabowo harus memperhatikan kapasitas fiskal yang dimiliki Indonesia pada saat masa transisi ke pemerintahan baru.
Baca SelengkapnyaGanjar menjelaskan strateginya untuk meningkatkan rasio pendapatan pajak.
Baca SelengkapnyaPrabowo juga sempat meminta saran kepada Erick Thohir terkait privatisasi BUMN, termasuk menjual hotel-hotel BUMN.
Baca Selengkapnya